Rumah Busuk dan Manifesto Kosong (Terbaik ke-4)

Rumah Busuk dan Manifesto Kosong (Terbaik ke-4)

Rumah Busuk dan Manifesto Kosong

Oleh: Vianda Alshafaq

Terbaik ke-4 lomba Melanjutkan Cerita

 

Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu. Begitu tulis Pengarang saat akan memulai kisah yang mungkin akan kau baca suatu hari nanti. Hari itu Pengarang mengubahku menjadi seekor cicak yang mengendap-endap di sela-sela tiang kayu Rumah Busuk yang telah reyot. Seperti namanya, Rumah Busuk betul-betul busuk. Bau sampah membusuk memenuhi udara, dan air keruh menggenangi beberapa sisi, membuat setiap langkahku terasa menjijikkan.

Tak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti perintah Pengarang—setidaknya selama ini begitu. Setiap takdir dan kejadian dalam hidupku betul-betul dikarang oleh Pengarang. Seperti perubahanku menjadi seekor cicak, itu juga karangan Pengarang. Ketika dia sudah mengetik begitu, maka mendadak aku berubah menjadi cicak dan meninggalkan Ratna, kekasihku. Padahal waktu itu kami sedang berpelukan, tetapi Pengarang malah melemparku ke Rumah Busuk. 

Kembali ke kejadian lima tahun lalu, waktu itu aku akan berpartisipasi dalam pemilihan presiden Rumah Busuk—ini juga karangan Pengarang. Aku berkampanye sebagaimana mestinya. Dalam kampanye itu, aku mendekati dan membagikan remah-remah roti kepada sekawanan lalat, yang saat itu menjabat sebagai Dewan Perwakilan Serangga, agar mereka berjanji menyokongku menjadi presiden. Tentu saja, itu bukanlah sesuatu hal yang bisa kudapatkan secara cuma-cuma. Paling tidak, aku harus menjadikan mereka menteriku jika aku menang. Mereka juga membantuku mendapatkan suara rakyat Rumah Busuk dengan cara apa saja. Misalnya, membantuku mendanai hampir separuh dari kegiatan kampanye.

Di suatu kampanye yang didanai oleh sekawanan lalat, aku mengadakan pidato perihal visi misiku jika terpilih menjadi presiden. “Kita akan membuat negara ini kaya dan makmur! Setiap serangga akan mendapat bagian yang adil dan rezeki yang melimpah di sini!” kataku dengan suara lantang, persis seperti seorang orator sungguhan—kebetulan Pengarang pernah menjadikanku sebagai orator di ceritanya yang lain. Aku juga memperkenalkan Program Investasi Sarang Baru, sebagai bentuk kepedulianku pada pembangunan negara Rumah Busuk. Aku berjanji akan membantu mereka mendanai perbaikan sarang atau pembuatan sarang mereka yang baru saat aku menjadi presiden, meski sebetulnya aku belum memiliki rencana konkret untuk memperoleh dana dan bagaimana pelaksanaannya. Mungkin aku bisa menaikkan pajak atau apalah, akan aku pikirkan nanti—atau lebih tepatnya, akan aku serahkan semuanya kepada Pengarang. Satu-satunya hal yang perlu kupikirkan sekarang adalah bagaimana cara memperoleh suara rakyat Rumah Busuk dan meyakinkan Dewan Perwakilan Serangga untuk benar-benar mendukungku dalam pemilihan ini. 

Sebulan setelah orasi, pemilihan benar-benar dilaksanakan. Serangga-serangga berjajar mengantre di masing-masing tempat pemilihan suara, tempat mereka terdaftar sebagai anggota pemilih tetap. Mereka berbaris seolah-olah mereka sedang mengantre pembagian sampah yang kudistribusikan saat kampanye. Dan, hari itu juga, saat penghitungan suara selesai dilakukan—menurut undang-undang serangga, proses penghitungan suara harus selesai di hari yang sama dengan hari pemilihan—aku ditetapkan sebagai presiden terpilih dan bakal dilantik beberapa bulan ke depan. 

*** 

Pengarang berhenti mengarang di segmen itu. Ia kemudian beranjak dari kursi, berjalan menuju pintu rumah, dan meninggalkan layar laptop yang masih menampilkan sederet kalimat tentang kisahku di Rumah Busuk. Aku memutuskan untuk keluar dari laptop—seperti biasa saat pengarang berhenti menulis, dan tentu saja aku kembali ke wujud asliku, seorang manusia mini setinggi sepuluh senti—dan duduk di mejanya sembari menunggu ia kembali. Tak berapa lama, Pengarang kembali ke dalam rumah beserta beberapa orang pria yang menggunakan baju batik dan kemeja kotak-kotak. Mereka berbincang di ruang tamu yang masih bisa kulihat dari sini, kebetulan ruangan ini tak jauh dari ruang tamu. 

Mereka berbincang, Pengarang juga meminta pelayannya menyuguhkan beberapa minuman dan makanan. Seperti yang kukatakan sebelumnya, ruangan ini tak jauh dari ruang tamu, sebab itulah aku dapat mendengar pembicaraan mereka. 

“Jadi, kau yakin akan menang?” tanya seorang pria lima puluhan pada Pengarang.

“Tentu saja, dengan bantuan Bapak-Bapak sekalian.”

“Tapi kau tahu, tak ada yang gratis di dunia ini, kan?”

“Tentu, saya butuh beberapa ‘teman’ di kursi menteri saat menjabat. Lagi pula, banyak ‘proyek bersama’ yang perlu kita urus sambil makan malam.”

Mereka semua tertawa bahagia, entah mengapa, aku tidak mengerti. 

Kunjungan itu tak lama, mungkin hanya satu jam. Setelah mereka pergi, Pengarang kembali ke sini, dan duduk di kursinya.  Kami memang biasa berbincang saat ia berhenti menulis. Seperti kali ini, aku ingin tahu sekali mengapa dia memilih tema ini untuk tulisannya. Biasanya ia hanya menulis drama kriminal, romansa, atau sesekali fiksi sejarah. Tapi, politik? Ah, dia belum pernah melakukannya sebelum ini. 

Pengarang tidak menjawab pertanyaanku. Ia hanya diam, dan memejamkan mata. Bahkan setelah kuulang bertanya sekali lagi, ia tetap tak menjawab. Oleh sebab itu, aku mencoba bertanya tentang hal lain saja untuk memecah keheningan di ruangan ini.

“Bagaimana kau akan membuat rencana pelaksanaan program investasi itu?”

“Tidak tahu. Mungkin tidak ada pelaksanaan, hanya janji,” jawabnya santai.

Aku terperangah, tidak percaya. Sebelumnya ia tak pernah menulis sesuatu yang tak bisa dia selesaikan. Ia selalu punya rencana untuk mengakhiri cerita dengan baik, sekalipun itu mengharuskan aku mati. Tapi kali ini? “Ah, sialan! Sepertinya kau akan membuatku menerima cacian dan sumpah serapah dari rakyat Rumah Busuk.”

Pengarang hanya tersenyum tipis. “Terkadang janji kosong adalah cerita terbaik,” katanya sambil mematikan laptop dan membuatku enyah dari hadapannya. [*]

Agam, 28 Juni 2024

Vianda Alshafaq, calon pengarang yang sedang belajar mengarang.

Komentar juri, Erlyna:

Fiksi menjadi salah pilihan bagaimana orang-orang mengkritisi kehidupan nyata yang beraneka ragam, termasuk dunia politik dan segala hal yang berhubungan dengannya. 

Ditulis dengan alur menyerupai seorang pengarang menulis, cerita ini memberi gambaran nyata betapa bobroknya dunia politik yang digambarkan dengan tokoh serangga dan “Rumah Busuk” sebagai setting-nya. Sang Pengarang yang merupakan seorang politisi korup, menggambarkan dirinya dengan terang-terangan dan bagaimana cara ia berpikir serta mengatasi masalah. Dengan gaya bahasa satir yang kental, cerita ini seolah-olah menyuarakan kebenaran atas hal-hal yang selama ini tersembunyi dari ranah publik. Meski setelah membacanya kesan yang dihasilkan masih terasa mengambang karena terasa selesai begitu saja, cerita ini ditulis dengan teknik yang sangat bagus. Good Job!

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply