Ceritaku

Ceritaku

Oleh: Isnani Tias

 

Klek! Klek!

Terdengar kunci kamar terbuka dari luar. Sudah kupastikan itu wanita paruh baya yang rutin tiap pagi membersihkan dan merapikan kamar tidur ini. Dia tak membiarkan satu debu pun menempel di perabotan yang ada di sini. Aku sampai hafal apa yang dibawanya ketika masuk di ruang berukuran 3×3,5 meter persegi ini. Biasanya dia akan membawa sapu lantai, sapu lidi kasur, lap basah, dan alat pel.

Pintu kamar perlahan terbuka. Nah, betul apa yang kusebutkan tadi. Dia masuk dengan peralatan perangnya. Sapu lantai dan alat pel dia sandarkan di dinding bercat biru dekat pintu, lap basah diletakkan di nakas dekat denganku. Sedangkan, sapu lidi kasur tetap dipegangnya sambil berjalan ke arah jendela kaca.

“Ah, silau! Aku tak suka,” keluh Bantal saat Ibu Rani menyibak kelambu. Ya, kami menyebut nama wanita itu Ibu Rani.

“Gayamu, Ban. Walau silau awalnya, lama-lama hangat, ‘kan?” ucap Guling sambil memejamkan mata dan merasakan sinar matahari yang mengenai tubuhnya.

“Coba kelambu itu tertutup terus, pagi sampai malam dan kembali pagi lagi. Pasti badan kita kedinginan tanpa ada penghangat. Hah, aku jadi rindu dipeluk tuanku,” lanjutnya.

Bosan, tiap hari mereka berdebat hal yang itu-itu saja. Beruntung Ibu Rani tidak diberi Tuhan kemampuan untuk mendengar obrolan kami. Jika tidak, pasti dia akan sedih teringat anak laki-laki satu-satunya yang merantau di negeri orang.

Sejak lulus SMA, tuanku diajak merantau oleh pamannya. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, dia hanya pulang tiga kali, jika tak salah ingat. Apalagi negara yang tuanku tinggali sekarang, dua tahun silam terkena virus covid. Aku menyimak obrolan Ibu Rani dengan suaminya saat berada di kamar ini sambil mengeluarkan air mata.

Ada yang kunantikan selain kepulangan penghuni kamar ini, ketika tangan yang sudah tidak muda lagi itu menepuk-nepuk dan mengibas-ngibaskan sapu lidi kasur di atas badanku, juga pada kedua temanku. Rasanya enak dan badanku tak terasa kaku lagi. Aku selalu memejamkan mata. Menikmati sapuan dan pijatannya saat merapikan pakaianku. Seperti sekarang ini.

“Aduh, duh-duh, gempa! Tubuhku bergoyang-goyang. Jadi pusing, deh! Ibu Rani pelan-pelan, dong!” teriak Bantal. “Eh, eh … kenapa bajuku dilepas? Hari ini bukan hari Minggu, ‘kan?”

Saat mendengar ucapan terakhir Bantal, aku membuka mata. Melihat apa yang terjadi dengan Bantal, aku terkejut. Bantal dipakaikan baju yang belum pernah kulihat. Pandanganku beralih pada kalender yang menempel di dinding. Benar kata Bantal, hari Minggu dua hari lagi. Jadi, bukan waktunya untuk dicuci. Ibu Rani juga tidak pernah lagi membelikan pakaian baru untuk kami.

“Ini masih bagus, tak perlu diganti. Dicuci saja buat menghilangkan debu. Toh, tidak ada yang tidur di kamar ini,” ucap Ibu Rani kala itu.

Kalian tahu, kami mempunyai pakaian cuma empat lembar. Warnanya ada yang putih, abu-abu, biru laut dan merah. Masing-masing bermotif batik. Baru hari ini, pakaian kami bernuansa bunga. Bagi kami itu terlihat aneh. Mau protes? Itu percuma saja, tidak ada yang bisa mendengar kami.

Setelah semua yang ada di kamar sudah terlihat bersih, rapi dan harum, Ibu Rani membawa semua peralatan tempurnya keluar. Tak lupa, sebelum menutup pintu kamar, pandangannya menyapu seluruh ruangan ini. Kali ini, senyumnya sangat lebar.

Klek! Klek!

Kamar terkunci kembali. Dia akan kemari lagi saat matahari berada di sebelah barat.

“Aku tak suka bau baju ini! Di tubuhku juga tak enak, rasanya kaku,” protes Bantal sambil menggoyang-goyangkan badannya.

Sebenarnya apa yang dikatakan Bantal ada benarnya. Aku perhatikan kain lebar bermotif bunga mawar merah yang menutupi bagian atas badan besarku ini. Rasanya memang sedikit kaku, mungkin baru sekali dicuci.

“Namanya juga masih baru keluar dari toko. Wajarlah. Kecuali, kalau keluarnya dari lemari, baru terasa lembut di badan.” Ucapan Guling membuat Bantal mengerucutkan bibirnya dan menggeser badannya. Sepertinya, Bantal tidak mau dekat-dekat dengan guling.

Mereka berdua memang jarang akur. Terkadang saling sikut dan masing-masing merasa paling dibutuhkan. Mereka belum tahu, sebenarnya akulah yang lebih sering dicari oleh manusia.

Kota Lumpur, 18 Oktober 2022

 

Isnani Tias. Seorang ibu rumah tangga yang tak sengaja terjebur di dunia literasi. Berusaha belajar menulis cerpen yang baik dan dapat dinikmati oleh pembaca.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply