Simbiosis Mutualisme (Terbaik ke-11 LCL)

Simbiosis Mutualisme (Terbaik ke-11 LCL)

Simbiosis Mutualisme

Oleh: Aya

Terbaik ke-11 Lomba Cermin Lokit

Pilihan Gambar: Gambar 4

#Menerjemahkan_Gambar

 

Seno beberapa kali melihat ulang list belanja yang diberikan istrinya, khawatir jika ada sesuatu yang belum sempat dia masukkan ke keranjang. Benar saja, dia belum membeli jus kemasan yang biasa diminum istrinya setiap pagi. Dengan cepat, Seno melangkah menuju lemari pendingin berisi minuman dan mengambil dua kotak jus berukuran besar. Setelah selesai, dia pergi ke meja kasir untuk menghitung belanjaan, kemudian membayar dan bergegas keluar dari minimarket tersebut.

Seno berinisiatif memberikan hari libur untuk istrinya, setelah melihat wanita itu tampak begitu kelelahan. Dia bahkan tidak sempat mengurus dirinya sendiri karena mengurus anak dan pekerjaan rumah. Jadi, hari ini dia yang akan mengurus rumah dan anak mereka, sementara Kana pergi berbelanja dan melakukan perawatan wajah yang biasa istrinya itu lakukan saat mereka belum memiliki anak.

Akan tetapi, Seno baru tahu kalau ternyata berbelanja bisa jadi kegiatan yang melelahkan. Bahu dan kakinya terasa pegal setelah mengelilingi minimarket sebanyak dua kali sambil menggendong putrinya.

“Pa–pa, pa.” Seno terkekeh pelan saat Sierra bergumam sambil mengulurkan tangan mungilnya ke wajah Sang Ayah.

“Iya, sayang, sebentar lagi kita pulang,” jawab Seno, setelah mencium pipi gembul putrinya berkali-kali. Dia melihat layar ponsel yang menunjukkan aplikasi taksi online ternama, taksi yang dia pesan akan tiba lima menit lagi.

Akhirnya, Seno memilih menenteng belanjaannya ke kursi di depan minimarket dan duduk di sana. Dia membuka bungkus camilan bayi dan memberikannya ke tangan Sierra, berharap putrinya itu tetap tenang sampai taksi datang.

Seno mulai larut dalam pemikirannya, tentang bagaimana cara istrinya melakukan banyak hal selama dia bekerja. Pasti sangat melelahkan dan merepotkan, tetapi tidak sekali pun dia dengar Kana mengeluh, wanita itu selalu menyambut kepulangannya dengan kondisi rumah rapi dan makanan yang lengkap tersaji. Dia selalu tersenyum dan memberinya banyak cinta, bahkan ketika dia tidak lagi bisa mengajaknya jalan-jalan setiap minggu atau membelikan sebuket mawar seperti saat mereka masih berpacaran.

Denting ponsel penanda pesan masuk menyadarkan Seno dari lamunannya, dia pikir itu pemberitahuan dari aplikasi taksi, ternyata pemberitahuan pesan dari Kana.

Yang, kamu yakin nggak papa sama Sierra? Aku pulang aja, ya.” Seno tersenyum lebar saat melihat pesan dari kontak yang dia beri nama ‘kesayangan’ itu, entah sudah kali ke berapa Kana mengirimkan pesan bernada sama seharian ini.

Yakin, Sierra kalem, kok, kayak Mamanya.” Seno membalas cepat dan menyisipkan emotikon tertawa dengan mulut tertutup di akhir kalimatnya.

“Itu kan sekarang, gimana kalau nanti dia cerewet. Mau minum susu, makan, atau pup? Aku nggak tenang, Yang. Takutnya kamu kewalahan.” Balasan dari Kana datang tidak kalah cepat, tampaknya wanita itu benar-benar khawatir akan keadaan suami dan putrinya.

Kamu aja bisa ngurus Sierra sendiri, masa aku sebagai papanya nggak bisa? Udah, kamu senang-senang aja di sana. Nanti aku buatin nasi goreng spesial buat makan malam. Love you.” Seno mengakhiri percakapan mereka dengan stiker hati besar berwarna merah, dia tertawa geli membayangkan wajah malu-malu Kana saat menerima pesannya. Istrinya itu memang sangat menggemaskan.

“Pak Seno, kan?” kata seorang pria paruh baya berjaket hijau tua yang menghampiri Seno tiba-tiba.

“Iya, Pak. Tolong bawa belanjaan saya, ya,” jawab Seno ketika mengenali pria itu sebagai sopir taksi yang dia pesan. Dia meminta tolong karena Sierra yang tertidur membuatnya kesulitan untuk membawa barang belanjaan sendiri.

Sambil menahan kepala putrinya agar tetap berada di posisi nyaman, Seno lagi-lagi berpikir, barangkali dia harus menyewa asisten rumah tangga untuk membantu Kana. Itu akan jadi solusi yang menguntungkan untuknya dan Kana, dengan adanya bantuan, istrinya punya cukup waktu untuk merawat diri dan dia juga akan lebih bahagia jika Kana menyambutnya pulang dengan wajah segar, tanpa lingkaran hitam di bawah kelopak mata atau rambut yang diikat seadanya.

Kalimantan Tengah, 21 September 2022

Aya, lahir dan besar dalam keluarga berdarah nelayan, tetapi merasa menemukan ‘dirinya’ saat membaca karya fiksi dan memilih menantang arus dengan menggeluti hobi menulis.

Komentar juri, Lutfi Rosidah:

Cerpen ini hangat. Saya senyum-senyum sepanjang membacanya. Sepenggal cerita tentang seorang suami yang memberi hadiah pada istrinya dan makin merasa beruntung ketika dia sadar betapa sang istri sudah banyak bekerja keras selama ini. Kisah ini menjadi satire ketika dibandingkan dengan realita dalam kehidupan masyarakat yang bertolak belakang.

Satu hal yang mencolok membuat cerpen ini harus cukup berada di urutan belasan adalah tentang pemilihan judul. Coba jika penulis bisa memilih judul yang lebih elegan, mungkin posisinya bisa lebih baik lagi.

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Leave a Reply