Bada
Oleh: Isnani Tias
Ritual yang jarang aku tinggalkan setiap sore sejak datang ke pulau ini yakni, selalu memandang hamparan lautan serta menunggu matahari tenggelam dari balik jendela kamarku.
Acapkali Ibu atau siapa pun yang lewat depan kamarku dengan pintu terbuka pasti akan bertanya, “Apa kamu tidak bosan melihat lautan terus, Lee?”
Jawabanku, “Aku tak akan bosan melihat laut yang seindah ini.” Namun, itu hanyalah jawaban abal-abal saja. Faktanya, aku tengah menanti sesuatu yang muncul dari dalam laut.
Beberapa menit kemudian, apa yang kunanti akhirnya menampakkan diri. Dia bagaikan putri duyung yang muncul dari permukaan air laut untuk menghirup udara segar. Siluetnya yang terkena sinar matahari yang akan tenggelam, sungguh memesona.
Sial! Sosokku telah tertangkap olehnya. Entah sejak kapan dia mendekat ke arahku yang berdiri beberapa meter dari tempatnya, hanya dibatasi dinding bata dan susunan batu-batu penahan ombak.
“Lee, sedang apa?” tanyanya sedikit teriak seraya menyibakkan rambutnya yang basah ke belakang.
Kali ini aku tidak bisa berkelik lagi seperti biasanya. Daripada mati gaya di hadapannya, kulempar senyuman kepada gadis itu.
“Sedang menikmati indahnya sinar matahari yang akan tenggelam,” jawabku asal.
“Lee, menyelam, yuk?” ajak Bada dengan tubuhnya yang bergoyang-goyang, terkena ombak yang akan menghantam dinding pembatas.
Kali ini aku menolak ajakannya. Aku tidak mau ketiga kalinya kehilangan muka di depan gadis impianku. Kejadian itu masih tertinggal di ingatanku.
Siang itu, aku tanpa pemanasan dan perlengkapan, menyelam bersamanya. Belum sampai kedalaman seratus meter, mendadak kaki kiriku membeku. Aku menggeliat di dalam air sembari salah satu tangan memegang kaki yang kaku itu. Dengan mengandalkan kekuatan satu tangan, aku mencoba berenang menggapai permukaan air. Namun, belum sempat mencapai udara bebas, aku kehilangan napas. Di mulutku bermunculan gelembung-gelembung bening. Mata ini berusaha mencari bayangan Bada, tetapi pandanganku mulai kabur. Aku tenggelam.
Dua minggu dari peristiwa itu, sekali lagi dia mencoba mengajakku dengan tatapan yang membuatku tidak bisa menolak keinginan Bada untuk menemaninya melihat dunia bawah laut. Sebelum kami mulai melompat ke air, aku bertanya kepada Bada, “Kenapa harus aku? Bukan teman yang lainnya.”
Aku dibuat tercengang atas jawabannya. Katanya, aku berbeda dengan teman yang lain. Untuk teman yang lain, Orang tua mereka tidak mengizinkan anaknya menyelam bersama Bada, karena anak mereka tidak punya nyawa lebih dari satu. Padahal aku dan mereka sama saja, bukan penduduk asli pulau ini. Atau, mungkin Bada tahu kalau aku pandai menyimpan udara dalam perutku.
Kali ini aku menyelam memakai perlengkapan tempur: kacamata selam, tabung selang bentuk ‘J’ dan kaki katak. Aku tidak ingin mengulangi keteledoranku dulu.
Terumbu karang yang berwarna-warni serta ikan-ikan kecil berbagai jenis berlarian itu, menghiasi isi dalam laut. Siapa pun yang melihat mereka pasti akan takjub dengan keindahan bawah laut. Namun, itu tidak berlaku bagiku karena aku lebih tertarik dengan gelembung-gelembung pelangi yang muncul ketika kedua telinga Bada yang bergerak-gerak sungguh membuatku terlena. Seandainya aku dilahirkan seperti Bada yang mempunyai insang dan kaki berselaput, mungkin aku tidak perlu memakai atribut yang menempel di mata, mulut maupun kaki ini. Sangat merepotkan.
Aku terus mengekori Bada menelusuri area bawah laut. Entah dia akan membawaku ke mana. Sesekali tubuhnya telentang, menari-nari seolah dia sedang mendengarkan suara-suara ikan itu bernyanyi. Diriku dibuat tertawa olehnya. Ups! Aku lupa kalau ini bukan di darat, tetapi sudah terlambat. Selang tabung sudah terlepas dari menutupnya. Beberapa isi perutku berhasil keluar dan digantikan dengan air laut yang perlahan mulai membasahi kerongkonganku yang kering. Pikiranku mulai berkelana, apakah kali ini aku akan kehilangan nyawaku sekali lagi?
Antara sadar atau tidak, aku mendengar ada yang memanggil, “Lee, Lee!” Aku merasakan pipiku yang tirus ini ditepuk-tepuk. Aku mencoba untuk membuka mata, tetapi tidak bisa. Leherku seperti dicekik oleh tangan yang kuat. Di sela-sela itu, aku merasakan ada yang menempel di bibirku, dingin tetapi hangat. Kemudian, ia sepertinya menghisap sesuatu dalam diriku dan juga meniupkan sesuatu yang lain. Aku berharap semua terjadi ini, hanyalah bunga tidurku. Aku harus bangun, kalau ini benar-benar tidak nyata. Sekali lagi, mataku berusaha untuk membukanya secara perlahan. Masih terlihat walaupun samar-samar ada seseorang tepat di depanku yang bergegas menarikku ke atas permukaan. Ternyata ini bukan mimpi.
Lagi-lagi aku mendengar ada yang menyebut namaku, tetapi kali ini disertai tiupan lembut di telingaku. Perlahan aku mulai tersadar dan sontak, diriku terdorong ke belakang hampir terjatuh.
“Ke-kenapa kamu bisa berada di jendela kamarku? Dari mana kamu naik?” Dia kuhujani rentetan pertanyaan. Entah sejak kapan dia berdiri di luar jendela? Semoga saja Bada tidak bisa menembus isi pikiranku tadi.
Bada menunjuk ke arah bawah dengan senyuman yang sulit diartikan. Gadis itu selalu saja membuat jantungku bekerja dengan cepat.
“Hah! Kamu memanjat dinding pembatas itu?”
“Mungkin iya, mungkin tidak,” jawab Bada dengan suara mendayu-dayu.
“Kalau kau tidak mau menyelam denganku, Bada mau menyelam lagi,” lanjutnya seraya posisi menghadap ke laut.
“Hai, tunggu! Kamu mau–.”
Byuur!
Hurf!
“Dasar. Orang belum selesai bicara, main menghilang saja.” Aku menggelengkan kepala seraya memandang Bada yang lama-kelamaan mulai tertelan samudra.
Keesokkan harinya, aku dan Bada duduk di lantai kayu dermaga dengan kedua kaki kami bergelantungan hampir mengenai air laut. Baru kali ini aku mendengar keluh kesahnya sejak kepindahanku enam bulan lalu di pulau ini.
Tiba-tiba langit berubah warna menjadi kelabu, disertai angin yang berembus tak beraturan dan gelombang air laut mulai meninggi.
“Hai, kalian berdua segera pergi dan cari tempat yang tinggi. Badai besar segera datang!” teriak salah satu pedagang ikan.
Secara spontan tanganku menarik Bada dan berlari secepat mungkin. Belum sampai beberapa langkah, Bada terjatuh. Kepanikan melanda, sehingga aku lupa kalau dia tidak bisa berlari.
“Pergilah dulu, Lee,” ucapnya.
“Tapi–.” Ucapanku terhalang oleh jarinya yang mungil, ketika aku membantunya untuk berdiri dan dia membisikkan sesuatu.
“Lee, kamu lupa siapa aku?” tanya Bada sembari mata kami beradu.
“Cepat pergi!” serunya seraya mendorongku cukup keras, setelah pandangan Bada mengarah ke laut.
Aku pun dengan berat hati meninggalkan dia yang tetap berdiri dan seakan rela memberikan tubuhnya untuk dilahap oleh penguasa laut.
***
Sudah sekian lama sejak peristiwa itu, aku memberanikan diri kembali lagi menginjakkan kakiku di tempat penuh kenangan ini dengan nama seseorang yang masih terukir di hatiku. Dua puluh tahun terlewati, tetap ini banyak berubah.
“Tuan, motor boat sudah siap mengantarkan Anda berkeliling di pulau ini,” ucap pemandu yang sudah aku sewa kemarin.
Aku bergegas naik ke motor boat sebelum matahari berada di atas kepala kami. Motor boat yang aku tumpangi mulai melaju. Pandanganku mulai menyapu sepanjang jalan yang kami lalui. Mata ini terus kujaga agar tidak berkedip barang semenit pun. Aku berharap dia masih bernapas. Entah dengan insang maupun paru-paru. Motor boat tiba-tiba berhenti di area yang sudah tak asing lagi di penglihatanku.
“Tuan, di sini cocok untuk tempat menyelam dan daerahnya tidak berbahaya,” ujar pemandu tadi sambil membawakan perlengkapan menyelam.
“Oh iya, kalau Tuan beruntung, Anda akan bertemu beberapa manusia ikan yang sering membantu para nelayan sini,” lanjutnya.
Mendengar itu, hatiku mulai berbunga. “Mungkin salah satu dari manusia ikan itu ada Bada juga,” pikirku sembari seulas senyum menghiasi wajahku.
Aku pun bersiap memakai atribut yang menurutku sangat merepotkan sekali. Namun, demi keamanan diri sendiri dengan terpaksa semua itu harus menempel di badanku yang dua puluh tahun lagi menginjak setengah abad. Aku menyelam tidak sendiri, ada pemandu wisata bawah laut. Kami hendak bersiap melompat, tiba-tiba motor boat ini tersedot oleh pusaran air laut. Kami terpontang-panting. Aku hendak menggapai pegangan pagar teralis motor boat, tetapi gagal dan terlempar jauh.
Telingaku bergerak-gerak menangkap adanya suara. Seperti seseorang berteriak, tetapi entah apa yang diucapkan. Perlahan-lahan aku membuka mata. Aku menjadi tontonan orang-orang yang menurutku berpakaian aneh. Para pria hanya menutupi bagian tubuh bawahnya dengan balutan kain yang membentuk celana. Sedangkan para wanita hampir seluruh tubuhnya tertutup oleh kain yang hanya dililitkan saja.
“Aku sebenarnya sekarang ada di mana?” tanyaku dalam hati seraya menegakkan badan ke posisi duduk, lalu melepas penutup yang menutupi rambutku.
Aku mulai mengedarkan pandangan. Namun, apa yang tertangkap oleh mataku hanya sela-sela kecil karena orang-orang itu masih mengerumuniku. Mereka saling berbisik-bisik satu sama lain. Kemudian ada yang berteriak–entah apa yang diteriakkan–lalu orang-orang yang berdiri membuka jalan. Sepertinya ada yang akan datang.
“Mungkin ketua sukunya,” pikirku.
Aku melihat langkah kaki seseorang yang mulai mendekat kepadaku. Kuberanikan diri untuk mendongak.
“Lee, masih ingat kataku dulu?” tanya seseorang yang namanya masih tertanam di hatiku.
“Iya, saat itu kamu membisikkan ke telingaku ‘bahwa kamu adalah Putri Laut’ pulau itu.”
Dia tersenyum. Mata kami beradu lama. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat … entah di mana ini.
“Bada, kamu tetap cantik tidak berubah sedikit pun,” pujiku seolah kecantikannya tidak pernah luntur di makan usia.
“Kamu juga, Lee, masih tampan.” Entah ini pujian atau sindiran, karena otot-ototku mulai kendur dan rambutku sudah ada yang berwarna putih.
“Sepertinya kamu tidak percaya apa yang aku katakan, Lee? Coba kamu buka sepatumu sekarang,” ucapnya dengan nada khasnya mendayu-dayu.
Aku pun menuruti apa yang dikatakannya. Aku mulai membuka sepatu katakku satu per satu. Kedua telapak kaki ini aku pandangi lekat-lekat. Aku terpaku.
“Lee, kita sama sekarang.”(*)
Kota Lumpur, 14 Juni 2022
Isnani Tias, seorang ibu rumah tangga yang tak sengaja tercebur di dunia literasi. Tanpa diduga, penulis penyuka buah durian ini sudah mempunyai tiga novel mini cernak dalam kurun waktu setahun. Sekarang belajar nulis cerpen yang serius.
Editor: Imas Hanifah
Gambar: Pixabay