Hari Esok Masih Ada (Terbaik Ke-3 TL-19)

Hari Esok Masih Ada (Terbaik Ke-3 TL-19)

Hari Esok Masih Ada

Thena Yuan

Terbaik Ke-3 TL-19

 

Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sepasang mata Mama yang menatapku dengan sedih.

“Mama?”

Mama tersenyum. Diusapnya pipiku dengan tangannya yang kedinginan.

“Kapan kita akan pulang?”

“Mungkin besok, Sayang.”

Tepat di saat yang sama, suasana ruangan itu seketika berisik lagi. Para laki-laki dewasa berjalan masuk ke dalam tempat pengungsian kami,yang mana diisi oleh ibu-ibu dan anak-anak.

Tuan-tuan yang mengenakan mantel tebal berwarna gelap itu segera meminta beberapa orang memberi sedikit ruang. Saat itu, Mama sudah menarikku agar bangun dan mengajakku bergeser ke pojok, di mana beberapa helai kain digantung entah untuk apa. Dua lelaki berbadan besar itu pun membaringkan seorang nenek yang kakinya dibalut perban dan menampilkan bercak merah.

“Mama … itu ….”

Mama langsung menarik wajahku agar menatapnya. Ibuku tersenyum.”Jangan dilihat, Sayang.Jangan dilihat.”

***

Aku tidak tahu sudah berapa hari berlalu sejak hari pertama Mama membawaku ke tempat pengungsian ini. Kata Mama, sedang ada perang di luar, sedangkan aku tidak terlalu mengerti kenapa perang bisa terjadi. Yang aku tahu, ulang tahun ketujuhku nanti akan kurayakan di sini bersama orang-orang asing. Tanpa kue, lilin, dan pai apel yang selalu Mama buatkan setiap tahun. Aku bahkan tidak tahu ke mana Papa. Mama bilang, Papa ikut bersama para orang dewasa lain untuk mengamankan gedung di luar. Tentu saja aku tidak akan menangis karena tidak bisa bertemu Papa. Soalnya aku akan segera berumur tujuh tahun, ‘kan? Tidak boleh cengeng.

“Sha … Ayeesha!”

Suara Mama membuatku menoleh setelah terlalu lama memperhatikan sepasang bayi kembar yang sedang menangis. Ibu bayi kembar itu, rambutnya seperti daun pohon mapple yang mengering, sedang menangis.Kata nenek yang kakinya terluka kemarin―ia sudah bisa duduk hari ini―kedua bayi itu kelaparan. Ibunya harus memberinya susu. Tapi, ibu itu justru berteriak marah, mengatakan kalau ia tidak punya susu untuk anak-anaknya.

Aku tidak tahu apa lagi yang mereka bicarakan karena Mama langsung menarikku menjauh.

“Jangan menguping, Ayeesha.”

“Mama, kenapa ibu itu tidak punya uang?Apa dia miskin sekali sampai tidak bisa beli susu?”

Aku duduk di atas kasur lantai yang sangat tipis, dilapisi kain merah yang sudah bau apak sebagai alas.Sudah beberapa hari kain itu tidak diganti, kadang terinjak-injak, dan itu membuat kulitku gatal.Kaos bergambar bunga plum berwarna merah muda dan celana panjang biru kesayanganku juga sudah beberapa lama tidak diganti.Kami bahkan jarang sekali mandi. Kata Mama, semua harus menghemat air semaksimal mungkin.

Mama menggeleng dan duduk di depanku. Kedua tangannya menyodorkan dua keping biskuit. “Kita semua tidak memiliki uang ataupun susu, Sayang. Nah, tadi ketika Mama dari ruangan lain, ada seorang wanita tua yang membagikan biskuit keju, dan Mama dapat dua keping. Makanlah.”

“Waaah! Terima kasih, Mama!”

Rasanya sudah lama sekali aku tidak makan kue seperti ini. Terakhir, sebelum kami pindah ke tempat pengungsian, Mama dan aku membeli beberapa croissant di toko Uncle Ben yang baik hati. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih semua itu menambahkan sebuah muffin keju untukku. Ah, apa yang terjadi dengan toko kue Uncle Ben? Apa masih buka?

“Mama, kapan kita akan pulang ke rumah?” tanyaku setelah menghabiskan dua keping biskuit itu.

Saat itu, Mama sedang memperhatikan beberapa wanita yang kini membantu menenangkan kedua bayi yang terus menangis tadi. Lalu ia menoleh ke arahku, tersenyum lebar sampai lesung di masing-masing pipinya terlihat jelas. Tangan Mama yang selalu dingin karena ia jarang memakai mantel di awal musim gugur ini, menepuk kepalaku.

“Semoga besok kita bisa pulang, ya.”

“Mrs. Marie, bisa tolong ke sini sebentar? Sepertinya kita bisa mencari beberapa selimut tambahan di lantai bawah.Katanya ada sekelompok orang yang berhasil membawa masuk barang-barang logistik dari toko-toko terdekat yang sudah rusak,” kata seorang wanita berambut kemerahan dengan tubuh yang gendut.Tangan gempalnya melambai ke arah kami.”Cepatlah!”

“Tunggu sebentar,” sahut Mama.Ia langsung menoleh ke arahku. “Tunggu di sini dan jangan berkeliaran, Ayeesha.Mama akan segera kembali.”

“Oke.”

***

Jika malam tiba, maka udara di dalam pengungsian ini akan menjadi begitu dingin. Lampu-lampu akan dimatikan, Mama bilang agar tidak ketahuan oleh penjahat yang sedang dilawan oleh tuan-tuan tentara. Mama akan memberikanku dua lapis selimut dan mantel besar, meski demikian tetap saja dinginnya akan terasa. Di sebelahku, kadang kulihat Mama tidur dengan gigi bergemeletuk. Pernah sekali aku memberikan selimutku, tetapi Mama bilang ia tidak kedinginan.

“Besok adalah hari ulang tahunmu, bukan?Mama akan mencoba berkeliling, siapa tahu akan ada yang membagikan biskuit lagi.”

Ah, aku bahkan sudah lupa soal ulang tahun.

“Apa nanti Papa akan pulang?”

Mama menatapku tanpa menjawab apa-apa. Rambutnya yang panjang dan bergelombang tampak kusut karena sudah sangat lama tidak disisir, jadi Mama memutuskan menggulung rambutnya dan diikat dengan karet. Dengan menggunakan jari-jarinya yang kurus, Mama merapikan rambut cokelatku yang mirip dengan rambutnya.

“Papa akan pulang ke sini?” tanyaku lagi.

“Nah, Ayeesha. Jika kau sangat ingin Papa kembali, bagaimana kalau kita coba berdoa?Jika perang ini selesai, mungkin Papa akan pulang.”

“Apa perangnya bisa selesa besok saja, Mama?”

Ibuku tertawa. “Oh, seandainya saja bisa, Mama berharap perang itu berhenti detik ini juga.”

“Kenapa harus ada perang, Ma?Padahal sebelumnya semua baik-baik saja?”

Selesai merapikan rambut, Mama membaringkan tubuhku di atas kasur lantai. Beberapa orang lain sudah terlelap, hanya sedikit wanita dewasa yang masih mengobrol di sudut ruangan sambil menghangatkan diri mereka dengan mengusap-usap telapak tangan atau meniupinya. Kuperhatikan lagi wajah Mama yang tersenyum. Ia mencium keningku dan mulai menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur.

“Mama, aku sudah tujuh tahun!” protesku.

Mama hanya tertawa. “Nighty nite, My Sweetheart.”

***

Sakit ….

Saat membuka mata, hal pertama yag kutemukan adalah … puing-puing?

“Ma―uhuk!”Aku terbatuk saat debu-debu dan pasir seperti masuk ke hidung dan tenggorokan.Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba semuanya hancur begini? Terakhir, sepertinya aku sempat mendengar suara ledakan yang kencang sebelum akhirnya kudengar Mama berteriak.

Detik berikutnya, kakiku terasa sakit dan … oh, tidak! Aku tidak bisa bergerak, terjepit di antara reruntuhan puing.Bagaimana mungkin aku masih hidup? Mana Mama?

“Mama!”

Sinar matahari yang sudah lama tidak terlihat membuatku silau. Tempat pengungsian kami hancur dan aku tak tahu ke mana Mama dan orang-orang yang lain. Aku ingin bergerak, tapi tidak bisa.Dari sudut pandangku di sebelah kanan, aku melihat satu tangan terjulur dari bongkahan batu.Darah menetes. Astaga … apa dia sudah mati? Oh, tidak! Harus segera mencari bantuan!

“Mama! Mama!”

Ini mengerikan. Menakutkan. Bukankah saat tidur tadi malam semua masih baik-baik saja? Mama masih bisa menyanyikanku lagu pengantar tidur. Wanita-wanita lain masih bercengkerama. Bukankah ini hari ulang tahunku dan Mama bilang akan berkeliling, siapa tahu ada yang membagikan biskuit lagi.

“Mama!”

Mama mana? Kenapa aku sendirian? Kenapa aku terjepit dan tidak bisak bergerak?

“Uhuk!”

Suaraku bahkan sulit keluar dan kepalaku semakin pusing. Aku hanya bisa melirik untuk melihat ke sekeliling. Bangunan-bangunan di sekitar pun hancur. Debu beterbangan.Dari langit, aku bisa mendengar suara pesawat yang berdesing sangat nyaring. Tunggu … apakah ini perang? Tapi, kenapa? Bukankah sebelumnya aku masih bisa main dengan teman-teman? Kenapa sekarang kota ini hancur berantakan?

Sebenarnya perang itu apa?

Kenapa harus hancur seperti ini?

“Ma-mama!”

Tolong! Mama, Papa! Tolong aku. Ini sangat mengerikan sekali! Aku takut!

“Hei! Ada yang terjepit di sini! Cepat panggil bantuan! Nak! Kau baik-baik saja?”

Ah, siapa tuan itu? Aku tak kenal.Apa aku boleh bicara kepadanya?

“Tuan … tolong.”

Kepalaku pusing, pandanganku buram, tubuhku seperti tidak bisa merasakan apa-apa di antara bebatuan ini. Selain debu-debu yang masuk ke hidung dan membuatku terbatuk sesekali. Sinar matahari yang menyilaukan. Aku tak bisa mencerna apa-apa lagi sekarang.Aku hanya ingin keluar dan mencari Mama. Oh … Mama!

“Aku akan segera menolongmu, Nak! Bersabarlah!”

Suaranya kedengaran begitu panik dan bergetar.Aku tetap tak bisa melihat jelas siapa orang itu. Namun, aku tahu ia sedang melemparkan batu-batu dan bergerak mendekatiku. Setidaknya aku lega karena aku tidak sendirian sekarang.

“Pastikan kau tetap sadar, Nak!yang kuat, oke! Kau bisa mendengar suaraku, bukan? Jangan tidur!”

“Tolong ….”

“Iya, benar! Aku akan menolongmu. Tunggu sebentar dan tetap terjaga! Kumohon tetap lihat dan dengarkan aku, oke? Ah, sial! Hei! Cepat bawa sesuatu untuk memindahkan batu besar ini! Ada anak yang terjepit di sini!”

Kenapa aku tidak boleh tidur?Dingin sekali, Tuan. Aku tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas. Semuanya berubah menjadi seperti gambar krayon yang berantakan, yang kulihat bisa bergerak-gerak. Tidak seperti lukisan krayonku di rumah.

Ah … rumah? Apa rumahku juga hancur? Toko kue Uncle Ben? Taman kota tempatku berjalan-jalan ketika sore dengan Mama? Apa semuanya hancur?

“Nak!Nak? Jangan tutup matamu! Siapa namamu? Hei, jawab aku! Kumohon tetap terjaga!”

Nama ….

Siapa namaku? Ah, Ayeesha. Benar.Itu namaku.

“Dingin sekali, Tuan ….”

“Oh, tidak!Jangan tidur dulu, Nak!”

Tapi, aku mengantuk sekali. Tubuhku berat sekali. Juga dingin sekali. Aku tidak tahan. Kenapa aku tidak boleh tidur? Siapa tahu nanti ketika terbangun, semua akan kembali seperti biasanya. Mama akan tersenyum dan menyiapkanku sereal gandum dan segelas susu segar. Aku bisa bermain. Ah, ini hari ulang tahunku. Aku bisa memakan pai apel buatan Mama yang enak.

Iya … jika ini mimpi, maka aku harus terbangun dan kembali ke kenyataan.

Aku mengantuk sekali.

“Nak! Tidak! Jangan tidur, kumohon! Tetap lihat aku! Argh! Cepatlah! Apa yang kalian lakukan? Anak ini sekarat!”

“Ini, kubawakan dongkrak! Kita harus mengeluarkannya segera!”

“Cepat ke sini! Kami butuh bantuan!”

“Nak, kau akan segera keluar! Bersabar, ya!”

Aku sabar, kok, Tuan. Jadi tolong keluarkan aku. Tapi … aku boleh tidur sebehtar, ya? Soalnya di sini dingin sekali.

“Jangan tutup matamu! Hei!”

Mama … aku ingin bertemu Mama.

“Hei, Nak! Kau bisa mendengarku! Hei!”

Aku kangen Mama.Besok … kita ke toko Uncle Ben, ya.

“Nak! Oh, Tuhan! Oh, tidak!”

Besok … kita jalan-jalan la―(*)

Depok, 17 Maret 2022

Thena Yuan, seorang ibu rumah tangga yang gemar menulis sejak lama. Aktif menulis secara online di beberapa platform digital. Jika ingin membaca karyanya yang lain, silakan mampir ke wall pribadi atau platform dengan nama pena yang sama.

Komentar juri, Reza:

Membaca cerpen dari sudut pandang seorang anak, saya berulang kali mempelajari bagaimana cara mereka menilai banyak hal, termasuk pula peperangan.

Sebuah cerpen yang melihat perang dari kacamata lugu seorang anak. Menggambarkan kekejaman perang terkadang tidak memerlukan adu debat orang dewasa, cerpen ini menggambarkan betul bagaimana kejamnya efek perang dalam dialog dan monolog khas anak kecil. Cerpen ini tidak hanya menceritakan Ayeesha yang kehilangan momentum sebagai seorang anak, tetapi juga kehilangan lain yang lebih luas.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply