Malam Terakhir Bersama Bapak
Oleh: Jemynarsyh
“Bang, siapa wanita itu? Selingkuhan kamu?” tanya Maryam seraya melempar beberapa foto ke arah suaminya.
“Bang, Jawab!”
“Bang!”
Prang!!
Pecahan beling berserakan di lantai. Gelas tak berdosa itu menjadi sasaran amukan Maryam. Napasnya tersengal dan kian kesal kala melihat Syam yang masih terdiam tak membela diri seperti yang lalu-lalu.
Di tengah malam yang kian larut, Hanum membuka jendela. Tampak bintang bekerlip terang menghias cakrawala. Semilir angin berembus menguarkan bau bunga kopi, menggesekkan dedaunan juga ranting-ranting. Seperti semalam, Maryam—ibu Hanum—kembali ribut dengan Syam. Teriakannya yang tak terbalas, sebab Syam tidak pernah menimpali ucapan Maryam. Hanum berjalan perlahan mengintip dari celah gorden. Tampak Syam duduk di kursi, menghisap rokok dalam-dalam. Hanya sendiri, tak ada Maryam di sana.
Hanum ingin mendekati Syam. Tetapi, melihat raut wajahnya yang memerah menahan amarah membuatnya mengurungkan niat. Bocah sebelas tahun itu menghela napas berat, berharap gelisah berkurang. Hanum kembali berbaring, ingin segera terlelap dan semoga saja, besok pagi secercah bahagia itu hadir kembali. Tetapi … beberapa kali ia mencoba memejamkan mata tak jua kantuk itu datang. Berbaring gelisah di atas ranjang, bergulingan, sesekali terlentang, hingga tengkurap membuat seprai kian kusut, tak juga membuatnya terpejam.
Lirih terdengar derap langkah mendekat, segera ia berbalik menghadap dinding. Pura-pura tertidur sembari menerka siapakah itu? Dari bau parfum bercampur tembakau yang merebak ke segala penjuru kamar. Ia tahu orang itu adalah Syam, bapaknya. Syam ikut berbaring di sampingnya, memeluk sayang.
“Nak, apa pun yang terjadi, Bapak tetap sayang Hanum. Hanum tetap anak Bapak meski nanti kita bakal jarang ketemu,” ucap Syam.
Kata-katanya membuat Hanum tercenung, ia ingin berbalik menghadap sang ayah dan bertanya kenapa? Namun, usapan lembut di punggungnya perlahan membuat Hanum terlelap.
*
Hanum terbangun kala matahari sudah condong ke atas. Melirik ke samping, tak ada Syam di sana.
“Mungkinkah, Bapak di ruang tamu?” gumam Hanum.
Hanum beranjak dari tidurnya, dengan Langkah perlahan ia keluar kamar. Pandangannya tertuju pada dua tas yang diletakkan dekat pintu. Suasana rumah lengang, tak ada percakapan hangat atau pun teriakan Maryam seperti yang lalu.
Segera ia ke garasi melihat motor Syam apakah masih ada. Ternyata kosong. Hanya ada sepeda pink pemberian Syam dua tahun yang lalu.
“Hanum!” Maryam memanggil sang anak yang belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Iya!” teriak Hanum, bergegas menghampiri sang ibu.
Maryam sedang menyiapkan sarapan pagi. Dua lontong telah tersedia di piring masing-masing.
“Duduk, Han, kita sarapan dulu,” titah Maryam, tangannya masih sibuk menuang air ke dalam gelas.
Dengan patuh Hanum menuruti perintah Maryam. Tanpa membersihkan diri terlebih dulu, ia menyuap beberapa lontong.
“Nanti siang kita ke rumah Bibi, ya. Setelah makan, segera bersiap. Pakaian kamu sudah dalam tas,” ucap Maryam menjelaskan.
“Bibi ada acara?” tanya Hanum menatap Maryam yang juga memandanginya lekat.
“Tidak ada. Untuk sementara waktu kita akan tinggal di sana, tak apa, kan?” tanya Maryam.
Hanum mengernyitkan dahinya. Mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. “Kenapa? Bagaimana dengan Bapak, Bu?” tanya Hanum menuntut penjelasan.
Maryam terdiam. Mengalihkan pandangan ke sekitar, menghela napas, lalu menatap lekat Hanum. “Bapak, tinggal dulu, ya, Han … masih banyak pekerjaan.”
“Jadi, nanti Bapak akan nyusul ke tempat Bibi, kan, Bu?”
“Insya Allah.”
Perasaan yang tadi sempat dirundung sedih perlahan hilang. Tinggal bersama Bibi tak mengapa asal bersama Ibu. Toh, nanti juga Bapak akan menyusul, pikir Hanum.
Dengan hati riang Hanum bersiap, sesekali bersenandung. Jarak tempuh sekitar dua jam untuk tiba di rumah bibi.
Menjelang Ashar mereka tiba. Disambut dengan baik dan dijamu makanan enak. Cokelat, kue bolu bersanding rapi di atas meja. Membuat mata Hanum berbinar tak sabar untuk segera mencicipi.
*
Beberapa hari tinggal di sana membuatnya nyaman, tetapi sikap Lea, anak bibinya itu, membuat rasa gelisah dan cemas. Terkadang baik dan ada kalanya galak.
“Han, kita petik jambu, yuk!” ajak Lea antusias.
“Ayo!” balas Hanum.
Mereka berjalan, sesekali berlari menuju pekarangan belakang. Selain berjajar pohon kopi di sebelah kiri, ada juga rambutan di sisi kanan. Pohon-pohon yang rindang membuat hawa sejuk di kala pagi.
“Hanum yang manjat, ya, Lea ngumpulin jambunya. Nanti bagi dua,” titah Lea.
Hanum hanya mengangguk dan bergegas memanjat pohon.
Satu dua jambu berjatuhan. Gigitan serangga tak dihiraukannya sebab tergiur akan enaknya makan jambu dengan garam, cabai, dan kecap. Hanum meneguk ludah membayangkannya. Merasa sudah dapat banyak ia menyudahi memetik jambu.
Hanum sudah turun dari pohon, dahinya mengerut kala melihat Lea sedang berjongkok mengerumuni jambu sambil memakannya.
“Eh, sudah turun?” tanya Lea. Kemudian dengan sigap membagi jambu.
“Ini tiga untuk kamu,” ucap Lea memberikan tiga biji jambu pada Hanum.
“Kok, tiga? Kan, Hanum petiknya banyak!” pekiknya menghitung jambu-jambu di tangan Lea, “Kamu lima, Hanum tiga. Itu juga ada satu sudah di makan. Gak bisa gitu!”
“Kenapa memangnya? Kan, Lea yang ngumpulin. Pohon jambu juga punya Lea, jadi terserah Lea. Awas kamu kalau ngadu!” desisnya meninggalkan Hanum sambil berlari-lari kecil.
Hanum dengan gontai berjalan kembali ke rumah. Dilihatnya Maryam berpakaian rapi duduk di sofa berbincang dengan bibinya
“Hanum, sini, Nak!” ucap Maryam.
Hanum mendekat duduk di samping Maryam. Ibunya itu tersenyum menatapnya, diusap kepalanya. Mereka berpandangan dengan lekat.
“Hanum, Ibu harus ke kota selama tiga hari. Hanum sama Bibi, ya? ”
Bocah yang tangannya penuh jambu itu terdiam, perasaannya mulai tak tenang. Diliriknya Bibi yang duduk di hadapan menatapnya seraya tersenyum, sedang Lea hanya diam.
Hanum menggeleng. pandangannya mulai buram. Dengan menahan tangis ia memohon untuk jangan ditinggal. “Ikut, ya, Bu,” pintanya memelas berharap Maryam akan mengizinkan. Namun, ibunya menggeleng tegas, tak ingin dibantah.
***
“Habis makan piringnya dicuci, ya, Lea, Hanum,” titah bibi.
Mereka serentak mengangguk. Kini tinggal mereka berdua di ruang makan. Lea yang awalnya membantu bersih-bersih, sekarang tidak lagi. Setelah memastikan tak ada orang lain. Lea mendekati Hanum yang sedang mengumpulkan piring kotor.
“Bersihkan seperti biasa, awas kamu kalau sampai laporan!” ancamnya, berlalu meninggalkan ruang makan.
Hanum memandang lekat punggung Lea yang kian menjauh. Mengepalkan tangan kuat-kuat menyalurkan rasa kesal. Tentu ingin sekali ia membalasnya, mendorong Lea hingga terjatuh, atau membuang buku sekolahnya. Sayang, Hanum tak berani melakukan apa yang ada di benaknya. Orang tua Hanum tak pernah mengajarkan kekerasan.
Hanum mengangkat piring-piring kotor dengan terisak, air matanya menetes mengaliri dua pipi gembil yang mulus itu. Pandangan matanya kian mengabur. Isak lirih sayup-sayup mulai terdengar. ‘Ibu, cepat datang, aku ingin pulang.’ (*)
Palangka Raya, 15 Desember 2022.
Jemynarsyh, gadis kelahiran Kalimantan pencinta kopi dan cerita happy ending.
Editor: Inu Yana
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/YvEjG7niYcG6Yoy68