Piring Nirwana

Piring Nirwana

Piring Nirwana

Oleh: Ray Eurus

 

Tudung malam telah lama digelar. Suara anak-anak yang biasanya riuh di sekitaran musala pun, sudah tak lagi terdengar. Lepas magrib lalu sudah selesailah status akhir pekan, tetapi Ramdani belum juga menunjukkan batang hidungnya di rumah. Maya, istrinya, sudah enggan menanyakan keberadaan sang suami. Perempuan awal tiga puluhan itu, sudah lelah berharap kepada suaminya untuk paham. Bahwa ia juga mengidamkan liburan di hari Minggu, setelah berjibaku hanya di dalam rumah saja. Dari buka mata sampai menutup mata, yang ia geluti hanya urusan rumah tangga dan anak-anak saja. Ia jenuh. Sayangnya, Ramdani yang berprofesi sebagai pegawai kontrak di salah satu perusahaan milik swasta itu, harus siap jika atasan-atasannya meminta ia menjadi supir sehari untuk meninjau anak-anak perusahaan di luar kota. Apalagi nyaris setiap pekan.

“Lumayan lah, Abang dipercaya untuk hal ini, Dek. Setidaknya, bisa mengambil hati atasan. Mana tahu Abang direkomendasikan menjadi pegawai tetap, habis itu naik jabatan pula.” Pernah suatu waktu Ramdani mencoba memberikan pengertian kepada Maya yang mulai uring-uringan dengan jadwal kerja sang suami.

Isuk-isuk, kau kawin ajalah sama kerjaan kau itu, Bang!” ketusnya, kala itu.

Suara klik dari pintu depan menjeda repetan Maya di dalam hati. Ia enggan beranjak dari atas kasur menyambut Ramdani. Perihal sang suami yang kerap lembur pun, menjadi alasan lelaki yang lebih tua tiga tahun dari Maya itu selalu mengantongi kunci rumah cadangan. Ramdani tak ingin membuat Maya menungguinya hampir setiap malam. Bagaimana pun, lelaki itu menyimpan rasa bersalah kepada kekasihnya tersebut.

Lamat-lamat Maya mendengar Ramdani mengucapkan salam sebelum suara klik kembali terdengar. Perempuan itu mencebik, sebelum menjawab pelan setengah berbisik. Ia mengamati suara langkah sang suami yang mulanya menjauh, lalu makin dekat ke arah kamar. Ia pun segera menutup kedua kelopak mata, pura-pura tidur saat Ramdani sudah berada di dalam kamar.

Sentuhan halus, membelai-belai punggung Maya yang tidur miring, memunggungi pintu masuk. Ia sengaja bergeming tak memberikan respons. Ia masih kesal dengan Ramdani.

“Dek, sudah tidurkah?” Ramdani berbisik di dekat telinga Maya. Ia sengaja melakukan itu, sebab khawatir membangunkan balitanya yang sudah tertidur pulas di sebelah sang istri.

Ih, pakai tanya pulak!’ Sekilas Maya menarik sebelah sudut bibirnya.

Ramdani yang bisa melihat perubahan wajah sang istri, mengulum senyum. Ia sudah tahu, bahwa Maya belum tidur.

“Sudah makankah? Abang bawa sesuatu.” Lagi, Ramdani agak membungkuk dan berbisik di dekat telinga istrinya. “Abang tunggu di dapur, ya?”

Maya yang masih berlagak seperti orang tidur, kini mulai bergerak perlahan. Ia membuka matanya setengah, sambil berkata pelan dengan suara yang diserak-serakkan, “Apa, sih?”

Ramdani yang masih berada di dalam kamar, kembali mengulum senyum melihat tingkah Maya. Ingin sekali ia menggoda dengan melontarkan pertanyaan klise, seperti: Sudah bangun?, Masih ngantukkah?, atau Aku menggangu, ya?, dan semisalnya. Akan tetapi, ia urungkan. Pikirnya, lebih baik jangan daripada semakin membuat kesal sang istri.

Sementara Maya, ia memilih berdamai dengan sebalnya. Ia penasaran oleh-oleh apa yang dibawakan sang suami untuk menyuapnya kali ini. Ia memang tidak rela jika Ramdani lebih banyak menyibukkan diri dengan kerjaannya, tetapi ia juga akan menerima kalau suaminya memberikan timbal balik yang pantas untuk menebus kealpaan sang suami di tengah-tengah keluarga kecil mereka.

Sesampainya di dapur, Ramdani mengajak Maya duduk di hadapan meja makan. Laki-laki berjanggut tipis itu, menyorongkan piring seputih susu yang berisi ikan bakar. Sementara Maya mengerutkan alisnya.

“Ini tadi dititipin Paman Inur. Habis isya tadi, Abang dicegat untuk bergabung ikut mengolah ikan ini. Menantu sidin¹ baru pulang meunjun² di Ambalat. Dapat trakulu besar … ada tadi, kan, Abang kirim potonya?”

Maya yang masih menahan diri, sekali pun tidak memberikan ekspresi berarti atas semua uraian Ramdani. Ia dilanda kesal susulan.

“Sempat  kau ya, Bang, sama orang-orang bebakaran. Tapi pulang bentar, enggak.”

Ramdani menahan napas sedetik, demi mendengar sindiran sang istri. Ia kembali menelan penjelasan untuk menjawab Maya.

“Perempuan itu, jika sudah marah janganlah dijeda. Biarkan saja dulu mereka selesai menumpahkan kekesalannya. Pandai-pandailah jadi suami. Mau kau benar, jika mereka sudah kesal … tetaplah kita lelaki ni, salah di mata mereka.” Sebuah petuah lama dari mendiang sang ayah mertua, kembali terngiang-ngiang di dalam kepala Ramdani. Pada saat itu, sempat terbersit keraguan kecil akan petuah barusan. Ia pikir, sang mertua hanya ingin memenangkan anak perempuan semata wayangnya saja. Dan pada kenyataannya, petuah tersebut diamini Ramdani di kemudian hari seperti malam ini.

“Maafkan Abang, ya, Sayang?” Ramdani menyentuh sebelah bahu Maya yang duduk pada kursi, persis di sampingnya. “Iya, harusnya tadi Abang pamit pulang dulu menjengukmu. Maaf, ya.”

Maya mendengkus lalu mendelik kepada suaminya. Ia lantas beranjak untuk mengambil piring pada rak perkakas dapur, sekaligus menjerang air untuk menyeduh kopi buat Ramdani. Kendatipun ia kesal kepada suaminya, Maya tetap berusaha melayani lelaki berlesung pipi sebelah itu.

Sembari menanti air matang, Maya memindahkan isi dari atas piring seputih susu dengan ukiran sederhana berwarna hijau dan dipercantik rangkaian kelopak bunga pada ujung ukiran di dua sisi saling berseberangan. Sempat terbit air liurnya begitu menyaksikan sambal tomat mentah dari wadah berbeda, pasangan ikan bakar dari rumah Paman Inur.

“Makanlah, Dek.”

“Nantilah. Kau mandi dulu sana, Bang. Bau asap.” Maya mengipas-ngipaskan sebelah telapak tangannya di depan hidung.

Ramdani spontan mengangkat ketiak, lalu menghidu aromanya sendiri. Sisa-sisa parfum yang disemprotkannya tadi pagi, masih menguar, tetapi benar ada aroma asap ikut melekat di pakaiannya.

“Iyalah. Lepas Abang mandi, kita makan sama-sama,” putus Ramdani, sebelum menyerahkan amplop cukup tebal kepada sang istri. Buah tangan sesungguhnya yang berhasil menerbitkan pancaran bulan separuh di wajah kuning langsat Maya.

***

“Siapakah Sirwana itu, Bang?”

Ramdani mengerutkan dahi setelah menerima pertanyaan tiba-tiba sang istri, ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi pagi ini. Ia kemudian menaikkan bahu dan menggeleng sesaat.

“Ini nah, Bang, nama yang terukir di bawah piring yang Abang bawa semalam tu.” Maya menyodorkan piring seputih susu yang baru saja ia cuci.

“Ini tulisannya Nirwana, Dek,” koreksi Ramdani. “Cuma garis pada ukiran depan huruf N itu, agak memudar,” lanjutnya kemudian.

Maya membulatkan bibir. “Terus, siapa yang bernama Nirwana di rumah Paman Inur? Kan, anaknya cuma Upik dan Saliha. Terus, Nirwana ini siapa? Kau yakin Bang, piring ini punya mereka?” berondong Maya.

“Mungkin saja nama istrinya.”

Ish, Abang. Paman dan Acil tu namanya sama-sama Nur. Makanya dipanggil Inur.”

“Ya, enggak tahulah, Dek. Mungkin aja milik kerabat mereka. Lagian, kenapa pulak kau sibuk mau tahu siapa itu Sirwana.”

“Nirwana, Bang!” Maya memajukan bibir, mendengar ejekan sang suami. “Kita harus tahu, ke mana harus mengembalikan piring ini,” pungkas Maya kemudian.

“Intinya, semalam Abang disuruh membawa piring itu oleh Paman Inur. Jadi, Abang akan kembalikan piringnya kepada beliau juga.”

“Ya, sudahlah. Sebentar lagi nasi pulut di dandang dah, siap. Titip bagi antar juga, sekalian kembalikan piring tu, pas Abang turun nanti, ya?”

Ramdani mengangguk sebelum beralih ke kamar untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Sementara Maya, memindahkan serundeng dari kuali ke dalam mangkuk. Sebentar ia akan menata serundeng tersebut di atas nasi pulut yang segera matang. Bulan Maulid, ramai orang-orang membuat nasi pulut untuk dibawa ke musala saat ada majelis, seperti nanti malam. Biasanya lagi, jika pengurus masjid di hilir mengadakan maulidan, akan semakin semaraklah buah tangan yang disediakan orang-orang kampung situ. Tak hanya sebatas nasi pulut saja, telur rebus yang dijadikan hiasan bersama bendera kecil warna-warni menjadi keniscayaan tersendiri.

***

“Akbar, ini sekalian titip untuk Umi, ya?”

Wanita yang mengenakan atasan telekung, mengangsurkan piring seputih susu berukir Nirwana pada anak bernama Akbar. Sementara bocah sembilan tahun yang baru saja membeli kerupuk di warung Paman Inur itu, mengangguk ragu kala menerima piring tersebut. Belum sempat ia memastikan kata-kata sang pemilik warung, ia diteriaki salah seorang kawannya untuk pergi melihat permainan seru di rumah kawannya yang lain. Maka, ikutlah ia mengekor sambil menenteng bungkus kerupuk dan piring Nirwana.

Sesampainya di rumah sang teman, ia sempat berpapasan dengan ibu temannya tersebut di ruang depan. “Opo itu Akbar, di tanganmu?”

Bocah yang tiba-tiba seperti tercerahkan oleh pertanyaan tersebut, seketika menyahut, “Ini buat Bulik Jumi.”

“Oh, ya udah taroh aja di sini.” Ibu temannya yang bernama Jumi itu, mengarahkan telunjuk ke atas meja ruang tamu. Sang bocah pun berlalu setelah ia meletakkan piring Nirwana yang tertutup selembar tisu, ke tempat yang ditunjuk Jumi.

Opo itu, Bu?” selidik suaminya Jumi ketika ikut bergabung di ruang tamu.

Mbuh, belum ta liat, Pak,” jawab Jumi yang saat itu sedang memainkan ponsel pintarnya. “Tadi, si Akbar yang bawa. Buat kita katanya.”

“Bala-bala. Bakwan, Bu,” ucap lelaki berkumis baplang tersebut, seraya meminta istrinya menyiapkan kopi.

“Halah, bikin bala-bala ae loh, pake dibagi.” Jumi yang sedang asyik dengan ponselnya, menggerutu. Mau tidak mau ia harus menuruti permintaan sang suami.

“Ya, syukur toh Bu. Lumayan buat nemenin aku baca koran sore-sore gini. Daripada cuma ditemani kamu yang main HP aja.”

***

Selang beberapa hari, Jumi meminta anak laki-lakinya untuk mengantarkan piring Nirwana ke rumah Maya. Ia berpesan agar anaknya segera pulang, tak singgah main bersama Akbar. Sang anak tak menjawab saat ia menyuruhnya segera pulang lepas mengantar piring berisi roti unyil, untuk kedua kalinya.

Sesampainya di rumah Maya, sang anak disambut Akbar dan dipersilakan masuk. Kedua bocah sebaya tersebut lanjut main di kamar Akbar, setelah menaruh piring Nirwana di meja dapur. Maya yang ke luar kamar sambil menggendong balitanya, bertanya-tanya siapakah orang yang datang mengetuk pintu barusan. Sayangnya, ia tak menemukan siapa pun di ruang depan. Ia lalu melanjutkan langkah ke dapur.

“Oh, dikirimin lagi dari Paman Inur,” ujarnya pada diri sendiri, sembari meraih satu roti yang kemudian ia serahkan kepada balitanya.

Sambil mengamati sang balita yang menikmati roti mini tersebut, Maya memikirkan mengenai menu baru yang sempat ia lihat di internet. Ia berniat untuk mencoba menu tersebut, lalu mengirimkannya ke Paman Inur saat mengembalikan piring.

Pada lain waktu, istri Paman Inur meminta Akbar (kembali) untuk membawa serta piring Nirwana yang berisi aneka jajanan, saat membeli sesuatu ke warung mereka. Dan lagi-lagi, Akbar akan mengantarkan piring tersebut ke rumah Bulik Jumi. Lalu, Jumi pun akan menyuruh anaknya mengembalikan piring tersebut kepada Maya. Begitu terus-menerus, tanpa ada yang tahu siapakah pemilik sebenarnya piring Nirwana ini.

Suatu hari, saat Jumi mencuci piring, ia tanpa sengaja memecahkan piring Nirwana. Ia merasa merugi, karena harus menggantinya. Akhirnya, ia pun mencari piring serupa, meskipun berbeda, di supermarket terdekat. Setelah itu, ia sendirilah yang mengantarkan ke rumah Maya, sekaligus meminta maaf atas kecerobohannya memecahkan piring Nirwana.

“Maaf, yo, Dek Maya. Aku ganti dengan yang ini. Piring jenengan enggak sengaja ta pecahin,” terang Jumi di muka pintu rumah Maya.

Maya yang tak menangkap maksud obrolan Jumi, hanya memasang wajah heran dan tetap menerima piring berisikan puding buah dari Jumi tersrbut. “Kok, repot-repot bener, Bulik?” ucap Maya berbasa basi.

Semenjak hari itu, Maya dan Jumi yang hanya saling menyapa jika berpapasan di jalan, kini menyimpan nomor kontak WhatsApp masing-masing. Sesekali kedua tetangga itu saling mengirim resep masakan dari daerah asal mereka, kemudian mereka berkirim makanan dengan piring baru tanpa ukiran Nirwana. Demikian pula kepada Paman Inur sekeluarga. Kendatipun Maya merasa jarang mendapat kiriman piring Nirwana, ia kerap mengirimkan makanan lebih dulu kepada Paman Inur dengan wadah miliknya sendiri.(*)

 

Balikpapan, pada dua puluh dua puluh satu.

 

Kosa kata:

¹ Sidin: Beliau (bahasa Banjar, Kalimantan Selatan).

² Meunjun: Memancing (bahasa Banjar, Kalimantan Selatan).

 

Ray Eurus ialah nama pena seorang IRT yang menetap di Kota Minyak. Penulis kelahiran Kota Tepian pada 35 tahun silam, baru setahun ini menggeluti dunia fiksi. Pada masa-masa sekolah, ia lebih memilih non fiksi. Ia bahkan diutus sekolahnya, SMK N 1 Samarinda, untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah yang diadakan oleh Disdikbud Kota Samarinda. Ia pun berhasil memboyong piala sebagai juara dua se-kota madya kala itu (2004). Setelah itu, ia juga sempat menjabat sebagai kepala redaksi Buletin Ash Shafiyyah, milik BOKA Ash Shafiyyah di bawah naungan Yapendis Nurul Haq Samarinda (2005-2007). Selama kuliah pun, ia lebih sering menulis esai pada buletin-buletin dakwah organisasi Islam di kotanya.

 

Editor: Inu Yana

 

 

 

Leave a Reply