Ada Surga di Telapak Kaki Itu
Oleh: Aryati
Seorang pemuda berparas tampan mengajari kami alif, ba, ta, hingga hamzah, ya. Setiap sore, usai kami melaksanakan salat Asar berjemaah di surau yang letaknya sekitar lima meter di sebelah kiri depan rumahku, pemuda yang merupakan lulusan pondok pesantren di luar pulau itu melafalkan huruf-huruf hijaiyah dan kami pun ikut mengulanginya beberapa kali. Dia juga selalu mengajari kami tata cara salat dan mengumandangkan azan.
“Yang pertama kali harus kita hormati itu ibu, ibu, dan ibu!”
Ucapan pemuda itu terngiang-ngiang terus dalam kepalaku. Karena itu, aku lakukan segala sesuatu yang bisa meringankan pekerjaan Ibu. Mulai dari membereskan rumah, menjaga dan menemani Wilis, adikku, yang setiap malam selalu Ibu tinggalkan entah ke mana.
Semakin lama, semakin banyak anak-anak seusiaku yang mulai mengikuti kebiasaanku belajar dengan Mas Hanafi. Awalnya hanya aku dan kedua teman sekolahku yang pergi ke surau. Tapi begitu aku mulai mengumandangkan azan dua pekan yang lalu, anak-anak lain mulai berdatangan. Sebelumnya anak-anak di sini hanya bermain dan membantu orangtua mereka di ladang. Dan kebanyakan dari mereka hanya bersekolah hingga tingkat menengah pertama. Selain para orangtua yang tak memiliki pengalaman, mereka lebih memikirkan urusan perut, ketimbang isi kepala anak-anaknya.
Pun dengan kedua orangtuaku, keduanya sibuk dengan pekerjaan sendiri-sendiri. Seluruh hari Bapak habiskan di ladang. Sedang Ibu … ah! Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku mencicipi masakannya. Yang kuingat hanya satu, Ibu tak pernah menanyakan apa pun padaku, kecuali jika Adik menangis meminta sesuatu, pasti aku yang disalahkan.
“Begitu saja gak becus! Apa saja kerjamu? Ikut-ikutan si ‘alim’ itu?” ucap Ibu sambil melotot ke arahku. “Kamu gak akan jadi kaya kalau ikut-ikutan dia.”
Setelah itu terdengar entakan keras dari pintu kamar dan Ibu menghilang dari balik gorden merah jambu yang penuh dengan bintik-bintik hitam. Aku pun kembali mendekati Wilis, mencoba menghibur dengan mengajaknya bermain di halaman.
Semalam kulihat Bapak pergi ke warung Kang Tardi. Ini kali pertama beliau ke sana, biasanya tak pernah. Mungkin untuk menghilangkan jenuh usai bekerja seharian di ladang, pikirku. Di tempat itu banyak pemuda seumuran Mas Hanafi yang biasa duduk-duduk sambil menikmati asap-asap tembakau yang perlahan masuk ke dalam paru-parunya dan segelas kopi beserta macam-macam gorengan. Kang Tardi orangnya ramah sehingga banyak yang senang berkunjung. Selain itu, harganya terbilang murah.
***
“Ibu belum balik?”
Lelaki dengan mata merah akibat semalaman mungkin tak tidur itu hendak beranjak ke kamar. Tapi setelah kujawab bahwa Ibu belum pulang, ia segera menuju belakang, menyalakan api dan mulai memasak air. Aku lanjut ke belakang, membersihkan dan menyucikan diri. Sebelum terdengar suara merdu Mas Hanafi mengumandangkan azan, aku telah berada di surau.
Usai melaksanakan salat aku kembali membantu Bapak di belakang. “Ini, Pak,” ucapku sambil menyodorkan wadah nasi yang terbuat dari bambu, ketika Bapak mengangkat panci dari atas tungku dengan api yang mulai mengecil.
Bapak membuka tutup panci. Seketika aroma nasi hangat menguar menggelitik perutku. Kepulan asap putih menari-nari di depan wajah lelaki itu. Kepulan asap itu mengingatkanku akan kejadian beberapa waktu lalu. Aku sedang mengumpulkan sampah di belakang sekolah dan Seno–teman sebangkuku—membantu membakarnya. Seno bercerita sambil berkali-kali menggerutu, karena kesulitan menyalakan korek api. Hingga akhirnya, asap hitam mulai menghalangi pandanganku ke wajahnya. Dan setelah mundur beberapa langkah, Seno mulai mendekatiku dan bercerita. Waktu itu, ia pernah ikut bapaknya ke warung sembako tak jauh dari warung Kang Tardi. Di sana ia melihat banyak laki-laki yang duduk-duduk sambil berbicara, menikmati kopi dan rokok. Sambil duduk dengan satu kaki diangkat ke kursi, mereka berbicara panjang lebar. Ia melihat beberapa wanita di tempat itu. Wanita-wanita itu duduk-duduk berdekatan dengan laki-laki. Ada pula yang mengobrol berdua di tempat gelap, tepat di belakang warung tersebut.
“Aku lihat ibumu. Dia keluar dari belakang warung bersama seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Tubuh mereka sangat rapat. Bahkan ibumu menempelkan kepalanya di pundak lelaki itu.” Seno berbicara terus sambil sesekali mengucek matanya. Aku tak menanggapi semua ceritanya. Ada yang menggumpal di dada dan membuat mataku memanas, membuat kedua tanganku mengepal. Aku berlari meninggalkan Seno dengan api di depannya yang mulai mengecil. Karena sepertinya api itu mulai berpindah ke tubuhku.
Sambil memindahkan butir-butir nasi berwarna kekuningan dengan centong kayu, kulihat lelaki berwajah legam itu mengusap pipinya beberapa kali. Setelah itu, ia segera menggoreng ikan asin yang baru saja kucuci, beserta irisan cabai rawit pemberian tetangga.
Ketika aku sedang memakai seragam merah putih dan juga menyiapkan baju untuk adikku, kudengar langkah kaki memasuki rumah. Aku tertegun sejenak. Ah! Kaki itu, aku penasaran ingin membuktikan ucapan Mas Hanafi. Setelah pintu tertutup, dari dalam kamar sayup-sayup kudengar ribut-ribut dari ruang belakang. Tak lama kemudian terdengar suara benda pecah. Kututup kedua telinga adikku. Bocah yang masih mengenakan handuk itu memandangku heran.
“Ibu pulang, Kak?” Aku menempelkan telunjuk kananku di bibirnya. Bocah itu semakin keheranan. Kuteruskan kembali memakaikan pakaian untuknya.
Aku ingin mendekati dan menyapa Ibu. Tapi, aku tak mau seperti yang sudah-sudah. Merajuk dan bertanya pada Ibu, tapi berakhir dengan bentakan. Sebenarnya, aku ingin lebih dekat dengan Ibu, seperti Seno yang hampir setiap pagi kulihat diantar ibunya hingga teras rumah sambil melambaikan tangan dan tersenyum saat berangkat sekolah.
“Jangan ganggu! Aku lelah, minggir!” ucapan itu terus terngiang-ngiang dalam ingatanku. Apakah benar ada surga di telapak kaki wanita yang kasar seperti ini?
Begitu aku keluar kamar suasana sepi. Kulihat pecahan beling yang berserakan di dapur. Aku membimbing adikku duduk di kursi kayu. Perlahan kusuapkan nasi berwarna sedikit kekuningan ke dalam mulut kecilnya. Lalu kusuapkan pula dalam mulutku. Rasanya tak enak, tapi aku tak mau nanti siang kelaparan, karena Ibu tak pernah memberi uang saku.. Walau pernah sekali kulihat beberapa lembar uang di dompetnya.
Sebelum berangkat sekolah, kuputuskan masuk ke kamar belakang. Kulihat wanita dengan pakaian bagus itu tidur tengkurap. Kedua tangannya memegang bantal menutupi kepala. Perlahan kudekati ranjang. Wanita itu tak bergerak sedikit pun. Kulihat telapak kakinya lebih dekat, ada noda hitam sedikit. Kuusap noda itu pelan. Kuamati lagi.
“Di mana surganya,” kataku lirih. Aku mencoba mengingat lagi ucapan Mas Hanafi.
“Kak ….”
Aku bergegas mendekati Wilis. Kami berangkat sekolah sambil bergandengan tangan. Tapi …, aku masih penasaran dengan telapak kaki itu.
Hari-hari berlalu hingga bulan berganti. Bapak masih setia bekerja di ladang, sedang Ibu masih tetap dengan kebiasaannya keluar setiap malam. Tapi sepertinya, kali ini Ibu seperti lupa jalan pulang. Hampir setengah bulan tak terdengar langkah kakinya lagi di rumah ini. Bapak pun sudah terlihat acuh dengan perilaku Ibu. Sewaktu Ibu masih pulang ke rumah, sudah tak pernah kudengar ribu-ribut lagi.
Aku baru saja pulang dari sekolah bersama Wilis. Di sebuah jalanan sepi dekat ladang kudapati tubuh wanita berpakaian warna biru tergeletak di pinggir jalan dekat ladang. Kedua kakinya penuh dengan luka, darah, dan nanah.
“Ibu !”
Usai peristiwa itu, aku selalu membersihkan telapak kakinya. [*]
Banjarnegara, 15 September 2021
Aryati, wanita penyuka ungu dan hitam. Sibuk dengan dua anak, mengajar, dan belajar menulis.
Editor: Vianda Alshafaq