Pak Sadri dan Angan-Angannya

Pak Sadri dan Angan-Angannya

Pak Sadri dan Angan-Angannya
Oleh : Zuyaa

Banyak hal yang harus saya sesuaikan di tempat ini. Banyak orang mengatakan untuk adaptasi saja perlahan. Nyatanya, semua tak semudah apa yang dikatakan. Saya selalu merasa repot jika harus membeli sesuatu dengan jarak yang cukup jauh. Pasar yang serba ada letaknya sekitar tujuh kilometer dari rumah. Saya akan pergi dan berbelanja ke sana setiap sebulan sekali, dan pulang dengan membawa dua kantung besar yang terisi penuh. Kulkas saya setidaknya bisa menampung stok keperluan sampai sebulan ke depan.

Selain itu, saya tak terbiasa dengan dinginnya pagi yang begitu menusuk. Terdengar jelas gemeletuk gigi saya setiap selesai mandi. Saya kira tujuh bulan saya di sini, semua akan normal. Namun, kenyataannya tidak.

Satu lagi hari yang melelahkan harus dilewati. Saya menyalakan motor dan melintasi jalanan yang baru sebulan lalu selesai diaspal ulang. Perlu waktu berbulan-bulan bagi ketua desa agar proyek bisa terlaksana.

Pagi itu saya sudah siap untuk berangkat dengan seragam dinas cokelat khaki. Terdapat lencana korpri di dada kiri dan di sisi kanan bertuliskan nama dan titel saya. Tak lupa, ada tertera NIP di bawahnya. Sebuah kebanggaan dapat mengenakannya. Saya berusaha keras sejak lulus kuliah agar bisa menjadi pegawai negeri sipil. Lebih tepatnya hal ini dicapai karena mengikuti apa maunya orangtua. Saya pun cukup tenang karena setidaknya dompet dan perut saya bisa terjamin. Walau saya harus mengorbankan kehidupan di kota dan membangun semuanya dari nol di sini.

“Pagi, Neng.” Lelaki berusia sekitar lima dekade memamerkan giginya kala berpapasan dengan saya. Saya tak berucap apa pun, cukup membalas berupa senyuman.

Pak Sadri membawa motor bebek yang suaranya lebih mirip seperti mesin penggiling semen. Dia mengenakan pakaian seragam yang sama dengan saya, hanya saja warnanya telah memudar. Tak banyak yang saya ketahui tentangnya, karena saya memang jarang keluar rumah. Kalau keluar pun, langsung saja untuk kepentingan sesuatu yang tak lama dan pergi ke kecamatan kota yang letaknya bisa sekitar sepuluh kilometer. Yang saya tahu dia adalah seorang guru honorer di SD yang memang satu-satunya ada di kampung ini. Kata warga sekitar, sekolah itu muridnya tidak sampai seratus orang.
Lagi-lagi semuanya dilewati seperti tak ada arti. Seperti biasa pula saya menjadi orang pertama yang hadir ke kantor kecamatan. Padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka delapan. Tak lama kedatangan saya disusul oleh paman yang  bertugas membersihkan halaman dan lantai kantor. Dia berjalan santai dengan lap tergantung di atas bahunya. Terdengar siulan khas dari bibirnya dan bunyi daun-daun kering yang disapu. Jika sudah demikian, tak lama akan ada asap mengepul di salah satu sudut halaman. Beberapa sampah plastik dan kertas-kertas yang sudah tak terpakai juga akan turut serta dilenyapkan.

Tepat pukul 08.20, para pegawai yang lain baru berdatangan. Mereka tersenyum ramah, dan saya hanya membalas sekenanya. Saya tak mau bertanya tentang keterlambatan itu. Dan sepertinya tak ada juga gurat malu yang tergambar di wajah mereka.

“Namanya anak baru pasti datang lebih dulu. Nanti lama-lama juga sama dengan kita.” Saya ingat saat hari pertama datang kemari, salah seorang pegawai senior berkelakar demikian.
Awalnya saya menahan diri untuk tak terpengaruh. Tapi setelah sepuluh bulan, tampaknya kebiasaan-kebiasaan mereka mulai menular kepada saya. Saat pertama kali terlambat, saya beralasan bahwa ada urusan sebentar di rumah. Lalu lama-lama alasan itu saya tanggalkan karena nyatanya mereka juga tak peduli. Saya pun hanya mengarang, sebab kenyataannya saya punya kebiasaan baru, memperpanjang masa di atas kasur sebelum niat untuk mandi bisa terlaksana.

***

Sabtu menjadi hari yang bisa saya gunakan untuk istirahat sepuasnya setelah lima hari bekerja. Berangkat sekitar jam delapan dan pulang pada hari hampir petang, selalu membuat badan saya sedikit remuk.

“Mang Ucup pergi ke kota, Pak,” teriak saya pada Pak Sadri yang sedari tadi menggedor pintu bengkel yang terletak tepat di seberang rumah saya.

Lelaki paruh baya itu kembali menuntun motornya. Aku yang merasa iba meminta dia agar singgah dulu, duduk di teras bersama.

“Ada air putih, Neng?”

Aku beranjak ke dapur, membawakan segelas air dan tiga tahu goreng yang baru pagi tadi saya buat. Syukur saja masih ada sisanya.

“Motornya kenapa?”

“Biasa, mesinnya ngambek. Maklum saja motor lama,” Pak Sadri menyelipkan tawa sesudah kalimatnya. “Bapak baru pulang dari sekolah. Eh, pas baru melewati gapura desa malah mogok.”

“Mungkin minta ganti yang baru, Pak,” ucapku asal.

“Ah, duitnya dari mana?”

Saya terdiam sejenak. Rasa penyesalan timbul atas kalimat bodoh yang baru saja meluncur dari bibir ini.

“Jadi guru honorer itu gajinya kecil, Neng. Lima ratus ribu. Itu saja dibayar setiap tiga bulan.”

“Bisa hidup, Pak, dengan gaji segitu?”

“Tambahannya dari hasil sadap karet, Neng. Hasilnya gak lumayan, sih. Mana sekarang harga karet lagi murah. Makin susah saja kehidupan sekarang.”

Saya sering mendengar balada tenaga pendidik di negeri ini. Tanah yang katanya kaya dan makmur. Tongkat ditanam bisa menjadi pohon dan menghasilkan buah yang banyak. Tapi sayang, sosok yang disebut jantung negeri, hanya diganjar dengan gaji ratusan ribu. Harga yang rasanya tak pantas untuk kualifikasi S1 dan masa kerja puluhan tahun seperti beliau.

Saya bingung bagaimana caranya bertahan hidup dengan penghasilan seperti Pak Sadri. Gaji yang saya dapat saja ditambah dengan tunjangan, masih sulit disisihkan untuk ditabung. Saya banyak putar otak agar semua barang dan bahan pokok bisa tercukupi dengan baik. Belum lagi setiap bulan saya harus membayar uang sewa rumah sebesar dua ratus ribu dan mengirim uang kepada Ibu yang sedang perlu suntikan dana untuk merawat Ayah yang sudah hampir setahun ini hanya bisa berbaring di atas kasur. Popok dewasa menjadi barang primer di rumah kami. Dan itu semua memakan biaya yang tidak sedikit.

Di tengah perbincangan itu, mata saya tak sengaja menangkap pemandangan yang mengiris hati. Sepatu kulit yang dikenakan Pak Sadri sudah banyak mengelupas, warnanya pun lusuh, dan terlihat sangat usang. Ah, dada saya rasanya nyeri sekali.

“Kenapa masih bertahan jadi guru?”

“Jadi guru itu panggilan jiwa.”

“Maksudnya?”

“Saya senang melihat para murid bisa baca. Saya juga rasanya bahagia sekali kalau mendengar canda tawa mereka,” ucapnya dengan semangat berapi-api. Ada binar merona yang terpancar dari matanya dan detik itu saya tahu bahwa lelaki ini begitu tulus dalam mengemban pekerjaannya.

“Negara kita perlu lelaki seperti Bapak.”

Sekali lagi, berbicara dengan lelaki ini membuat jiwa saya tertampar. Betapa seringnya saya melihat para teman-teman di kantor mengeluh saat bertugas, apalagi jika sedang kedatangan banyak orang yang minta buatkan surat. Orang-orang itu sudah membuat mereka harus bekerja cepat, sialnya hanya meninggalkan uang ‘terima kasih’ sebesar dua puluh ribu. Bahkan kemarin ada salah seorang rekan yang menggerutu karena orang yang dilayaninya cuma meninggalkan satu lembar sepuluh ribuan.

Kebiasaan-kebiasaan buruk yang akhir-akhir ini saya lakukan tiba-tiba seperti bayangan yang berputar di atas kepala. Datang terlambat, pulang secepatnya, ketiduran saat di kantor, dan masih banyak lagi. Budaya kotor benar-benar sudah bias di dalam diri saya.

“Anak Bapak ada berapa?”

“Dua, Neng. Satu masih SMA dan satunya lagi masih kuliah di kota.” Kalimat itu lalu bersambung dengan cerita susah payahnya Pak Sadri membiayai anak sulungnya. Untuk uang kuliah mereka bisa bernapas lega karena si sulung mendapat beasiswa, hasil dari meminta surat keterangan miskin di kantor desa. Walau begitu, mereka harus banyak putar otak agar bisa mengirimkan uang beberapa lembar seratus ribuan agar si buah hati bisa mengisi perut.

“Rezeki Bapak tidak banyak. Mungkin nanti balasannya ada di rezeki anak.”

“Dia juga kuliah guru?”

“Iya, Neng,” Pak Sadri mengangguk lemah saat mengucapkannya.

Tiba-tiba dia menegakkan punggung dan menatap saya lamat-lamat. “Neng, minggu depan Bapak akan ikut tes untuk diangkat jadi pegawai. Doakan, ya, semoga lulus. Biar bisa kaya Eneng. Punya gaji dan tunjangan besar.” Saya mengangguk, dengan hati mengaminkan sedalam-dalamnya.

Kembali dada saya terasa nyeri. Program PPPK memang menjadi angin segar bagi para guru honorer yang sudah lama mengabdi pada negeri. Kesempatan emas pula untuk mereka yang berusia di atas tiga puluh lima tahun–yang tidak bisa ikut tes CPNS di tahun kemarin.

Namun salah satu ruang hati ini tiba-tiba berucap kasihan. Di masa senja begini mereka masih harus mengundi nasib dengan berhadapan dengan puluhan atau bahkan lebih dari seratus soal. Apakah memang tidak ada kebijakan yang lebih manusiawi?

“Bapak pulang, ya, Neng. Makasih untuk gorengannya.” Lelaki itu bergegas pulang karena gumpalan awan hitam sudah merata di atas langit desa.

“Hati-hati, ya, Pak.”

Lelaki itu lalu berjalan dengan menuntun motornya. Aku berpikir pasti motor itu sudah menjadi saksi bisu dari segenap perjuangan Pak Sadri demi kemajuan pendidikan dan agar asap di dapur tetap bisa mengepul.

Tepat seminggu setelah hari itu, aku kembali bertemu dengan Pak Sadri di sebuah toko beras. Pakaian hitam-putih lekat di badannya. Dia menegakkan badan dan tersenyum ramah padaku.

“Habis dari mana, Pak?”

“Dari SMK 4. Habis ikut tes, Neng.”

“Gimana hasilnya?” tanya saya antusias. Saya memang sudah tidak sabar menunggu.

“Masih belum rezeki.” Wajahnya lesu. Tak ada binar terang yang biasa saya lihat dari matanya. Seperti bayang-bayang masa depan yang dia pikir akan cerah, tapi ternyata suram. Tak tahu kapan nasib akan baik padanya dan keluarganya.
Pak Sadri mengalihkan tatapan ke arah ibu penjual. “Berapa?”

“Empat belas ribu.”

“Saya duluan, Neng.” Pak Sadri membawa kantung kecil itu menuju motornya yang terparkir di bahu jalan. Langkahnya berat. Bahunya tertunduk lesu.

Berat nian kehidupan yang dia tanggung.

“Pak!” Saya setengah berlari menghampirinya. “Ini, bawa ke rumah.” Saya meletakkan beras dengan kantung besar–yang seharusnya untuk dapur di rumah sendiri–ke atas motor Pak Sadri. Lelaki itu menatap saya nanar. Buliran bening terlihat jelas sudah menganak sungai di pelupuk matanya.

Dia mengucapkan terima kasih berulang kali, lalu beranjak meninggalkan saya yang sejenak mematung. Sepeninggal lelaki itu, air mata yang saya tahan akhirnya jatuh juga. Setidaknya, beras itu bisa untuk bertahan hidup selama sebulan ke depan.(*)

Barabai, 12 November 2021

Zuyaa, seorang guru muda yang gemar dengan dunia literasi. Hobi mengambil foto. Hasil jepretannya bisa dicek di akun ig: @zuhliyana

Editor : Uzwah Anna

Gambar : https://pin.it/7mKwFhB

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis retap di Loker Kata

Leave a Reply