The Forbidden Toilet (30 Cerpen Pilihan TL-18)

The Forbidden Toilet (30 Cerpen Pilihan TL-18)

The Forbidden Toilet

Oleh: Jenny Saputro

30 Cerpen Pilihan Tantangan Lokit 18

 

“Ya, Kept!” Dipa mengangkat ponsel, membatalkan seruputan kopi usai makan siang.

“Barusan saya share-loc. Saya tunggu di lokasi. Ada kematian mencurigakan.” Suara Kapten Gunadi di seberang.

Dua puluh menit kemudian, lantai delapan gedung milik perusahaan makanan kaleng terkemuka, PT Kencana Surya, sudah ramai ketika Detektif Dipa Prawira keluar dari lift bersama Kapten Gunadi dan tiga anak buahnya. Pukul dua siang, Andre Sasmita, direktur cabang, ditemukan tewas di ruang kerjanya yang tertutup. Tubuhnya terkulai di kursi. Semua karyawan mengaku tidak mendengar keributan apa-apa. Pada jenazah Andre juga tidak ditemukan bekas-bekas tindak kekerasan.

“Ada yang bisa menceritakan apa saja aktivitas Pak Andre pagi ini?” tanya Dipa.

“Tadi pagi kami ada rapat untuk seluruh staf,” kata Hardiman, manajer keuangan. “Dia sempat marah melihat neraca laba-rugi yang saya presentasikan. Apa boleh buat, kita tidak mungkin memaksakan keuntungan yang terus meroket, ‘kan?”

“Apa lagi yang terjadi pada rapat itu?”

“Selebihnya hanya presentasi dari berbagai bagian. Memang ini rapat bulanan untuk memastikan kinerja dan performa perusahaan selalu optimal,” sahut Jerry, kepala personalia.

“Siapa saja yang berinteraksi dengan korban pagi ini?” tanya Dipa lagi.

“Anak buahku sudah mengumpulkan tiga tersangka,” jawab Gunadi. “Pagi ini Farida, istrinya, datang dan bicara sekitar setengah jam. Biasanya dia hampir tidak pernah menemui suaminya di kantor. Setelah itu Reyhan, anaknya, juga datang sebentar menemui bapaknya. Itu juga tidak biasa. Ketiga Santi, pembantunya, yang memang rutin datang mengantarkan makan siang.”

Dipa segera mengenakan sarung tangan karet dan memeriksa tubuh sang direktur. “Sepertinya dia meninggal karena keracunan. Pembantunya yang menyiapkan makan siangnya?”

“Santi selalu datang setiap siang membawakan bekal dari rumah. Pak Andre punya kondisi lambung yang membuatnya tidak bisa makan sembarangan,” sahut Dewi, si sekretaris cantik.

Dipa meminta semua orang meninggalkan ruangan itu. Ia lalu memeriksa setiap sudut dan menemukan bungkus obat di tempat sampah. Kembali ia memanggil Dewi. “Apa kau tahu dia biasa minum obat juga?”

“Ya. Setahu saya, Santi selalu menyiapkan obat sekalian dengan makan siangnya.”

Saat itu tim forensik sudah datang dan langsung menangani jenazah. Dipa berdiri dekat pintu sambil berpikir. Ia kesal karena piring dan sisa makan siang Andre sudah dibersihkan. Ia hampir yakin kalau korban tewas keracunan. Tersangka utama adalah Santi, si pembantu, yang paling mudah memasukkan racun ke makanan bosnya. Dipa juga mempertimbangkan bahwa obat lambung itu yang meracuni Andre. Namun mengingat Andre sudah rutin meminum obat itu, tentunya tidak mungkin tiba-tiba keracunan karenanya.

Hardiman juga tidak luput dari kecurigaan Dipa. Bukan tidak mungkin ia merasa kesal karena dipermalukan saat mempresentasikan neraca yang tidak sesuai dengan keinginan Andre. Namun, terasa janggal bila alasan seperti itu menjadi motif pembunuhan.

Setelah jenazah Andre dibawa pergi, Dipa melanjutkan pemeriksaannya. Diamatinya lagi bungkus obat tadi. Matanya melebar melihat sisa serbuk berwarna putih di dalamnya. Ia menuang serbuk itu ke sebuah kantong plastik kecil dan menyerahkannya kepada tim forensik untuk diperiksa. Bungkus obat tadi untuk sementara disimpannya sendiri.

“Sudah dapat petunjuk tentang kasus ini?” tanya Gunadi.

“Aku menemukan serbuk putih dalam bungkus obat yang diminumnya. Aku masih menunggu hasil dari tim forensik.”

“Oke, kita tunggu. Ketiga tersangka sudah siap untuk diinterogasi di ruang rapat,” kata Kapten Gunadi. “Kau mau ikut mendengarkan?”

“Ya, tentu saja.”

Dalam ruangan berpendingin yang membuat Dipa sedikit menggigil, Farida duduk di satu sisi meja. Di seberangnya duduk Kapten Gunadi dan seorang asistennya.

Dipa duduk di sebelah Gunadi. Ia memperhatikan wanita di hadapannya. Wanita berusia awal empat puluhan dengan rambut ikal tergerai itu tidak terlihat sedih atas kematian suaminya. Ia sepertinya justru kesal karena dicurigai dan ditahan.

“Ibu Farida.” Gunadi memulai interogasinya. “Menurut catatan tamu, Anda datang menemui korban pukul 10.25 dan pulang pukul 10.53. Bisa tolong jelaskan tujuan Anda?”

“Ada masalah asuransi yang harus saya urus, Pak. Saya perlu tanda tangan Andre.”

“Dari informasi yang saya dapat, rumah tangga Anda kurang harmonis. Suami Anda sering melakukan kekerasan fisik. Apakah benar begitu?”

Farida mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Bekas samar lebam di samping matanya tentu cukup untuk menjawabnya.

“Berarti Anda punya motif untuk membunuh suami Anda.”

Wanita itu terkejut. “Saya memang tersiksa, Pak. Tapi saya belum gila untuk menjadi seorang pembunuh.”

Setelah itu, tersangka kedua dibawa masuk menggantikan Farida. Reyhan, seorang remaja berusia 18 tahun, duduk dengan wajah cuek, tangan tersilang di dada, punggung bersandar, dan kedua kaki diluruskan.

“Kau tidak terlihat sedih dengan kematian ayahmu,” kata Gunadi.

“Memang tidak. Dia pantas mati.”

“Jawaban yang berani bagi seseorang yang duduk di kursi tersangka.”

“Aku tidak membunuhnya. Tapi kuacungi jempol siapa pun yang melakukannya.”

“Kenapa kau begitu membencinya?”

“Dia suami dan ayah yang sangat buruk. Kasihan sekali Mama. Berkali-kali aku memintanya menceraikan Papa dan membawaku pergi dari rumah.”

“Sepertinya kau punya motif yang kuat untuk membunuhnya.”

“Aku selalu ingin melakukannya. Tapi ternyata orang lain mendahuluiku. Baguslah.”

Gunadi menoleh ke arah Dipa. Si detektif hanya mengangkat bahu.

“Untuk apa kau datang menemui ayahmu pagi ini? Menurut catatan, kau datang pukul 11.38 dan pulang pukul 11.47.”

“Aku mengambil kartu kreditku yang kemarin disita waktu dia marah-marah.”

“Kebetulan yang menarik. Kau dan ibumu datang ke sini di pagi yang sama, padahal biasanya kalian tidak pernah datang.” Kali ini asisten Kapten Gunadi ikut bicara.

“Bukan aku yang mengaturnya,” sahut Reyhan tak peduli.

Reyhan dipersilakan meninggalkan ruangan. Tak lama, Santi masuk dengan takut-takut.

“Apakah saya akan dipenjara, Pak?” tanyanya lirih.

“Kenapa kau takut dipenjara, Santi? Memangnya apa yang sudah kaulakukan?”

“Saya hanya mengantarkan makanan seperti biasa, Pak. Setiap hari seperti itu. Saya tidak melakukan apa-apa yang lain. Sumpah, Pak.”

“Apakah Andre pernah melakukan suatu hal buruk kepadamu?”

“Eh, tidak, Pak. Tidak pernah.”

Dipa menatap Santi yang terlihat gelisah. Ia menjawab terlalu cepat. Gadis itu menyembunyikan sesuatu. “Di sini aman, Santi. Kau bisa mengatakan semuanya dengan jujur. Kami tidak akan menyampaikannya kepada Bu Farida atau Reyhan.”

Gunadi menatap Dipa, yang dibalas dengan anggukan kecil.

Santi masih terlihat ragu-ragu, tetapi akhirnya ia bicara pelan, “Dia … pernah mabuk dan masuk ke kamar saya.”

“Dia memerkosamu?” tanya Gunadi langsung.

Santi mengangguk lemah.

“Kapan kejadiannya?”

“Lima bulan lalu.”

“Kau tidak pernah melaporkan hal ini ke Bu Farida atau orang lain?”

Santi menggeleng. “Saya takut, Pak.”

“Jadi kau punya motif untuk menghabisi Andre.”

“Oh, tidak, tidak, Pak! Saya tidak melakukannya! Sumpah, Pak! Tolong, jangan penjarakan saya. Saya tidak tahu apa-apa,” cerocos Santi panik.

“Kau boleh keluar. Kami akan putuskan nanti apakah kau bersalah atau tidak.”

“Saya benar-benar tidak tahu apa-apa, Pak. Saya tidak mungkin berani membunuh orang, apalagi majikan sendiri, tidak mungkin, Pak.”

“Ya, ya, baiklah. Ayo, tunggu di luar, ya.”

Dipa hanya mengulum senyum melihat keluguan Santi. Kalau ternyata dia pelakunya, aktingnya luar biasa meyakinkan.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Gunadi.

“Semua punya motif dan kesempatan,” sahut Dipa. “Memang aneh, ibu dan anak itu datang di hari yang sama dan korban terbunuh. Hampir seperti rekayasa yang disengaja.”

Saat itu Dipa ingin buang air kecil. Ia berjalan menuju toilet di seberang lift. Ia heran melihat tanda toilet sedang dalam perbaikan. Ia ingat betul saat datang dan keluar dari lift, seorang wanita berjalan dari arah toilet itu menuju kantor Andre. Ia hanya melihat sepintas dan tidak memperhatikan wajahnya. Gadis itu memakai kardigan kuning. Mengabaikan tanda perbaikan, Dipa masuk ke toilet.

Setelah kembali ke kantor, Dipa mengamati lagi bungkus obat yang tadi disimpannya. Kali ini ia memperhatikan dengan saksama. “Kapten!” serunya, “Bungkus obat ini disayat dengan silet lalu direkatkan lagi. Andre tidak menyadari dan langsung merobeknya begitu saja.”

Dipa lalu mencari pegawai wanita yang tadi dilihatnya keluar dari toilet saat baru datang. Ia melihat kardigan kuning di meja Dewi. Gadis itu mengaku batal ke toilet setelah melihat tanda perbaikan.

Setelah itu Dipa kembali memanggil Santi. Ia bertanya apakah Santi pergi ke toilet sebelum menyiapkan makan siang untuk Andre.

“Iya. Saya memanaskan makanannya dalam microwave, lalu saya tinggal ke toilet. Sudah kebiasaan,” jawab Santi malu-malu. “Ternyata sedang dalam perbaikan. Terpaksa saya turun ke lantai tujuh.”

Awalnya Dipa yakin pada bungkus obat itu hanya ada sidik jari Andre dan Santi. Ia merasa tidak perlu cepat-cepat memeriksakannya. Namun sekarang ia sadar itu adalah kunci untuk membuktikan analisisnya. Ia meminta Kapten Gunadi untuk mengatur agar pemeriksaan sidik jari pada bungkus obat itu bisa dilakukan secepatnya.

Kurang dari satu jam, hasil tes sidik jari sudah keluar. Selain milik Andre dan Santi, ada satu lagi sidik jari di sana. Sidik milik Dewi, seperti dugaan Dipa. Hasil tes serbuk putih juga sudah keluar. Serbuk itu memang suatu jenis racun yang mematikan. Dipa tersenyum puas.

Dipa memanggil Dewi. Lalu di hadapan Kapten Gunadi, ia mengemukakan analisisnya. “Dewi, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa kaulah yang telah memasukkan racun ke dalam bungkus obat dan membunuh Andre.”

“Tidak, bukan aku pelakunya,” sanggah Dewi ketakutan. Wajahnya memucat, jemarinya saling meremas panik. Ia menunjuk tiga orang tersangka yang masih menunggu di depan ruang rapat. “Sudah pasti mereka pelakunya.”

“Biar kujelaskan,” kata Dipa lagi, menoleh ke arah Gunadi. “Sudah kubuktikan sendiri toiletnya berfungsi dengan baik. Dewi tahu kebiasaan Santi ke kamar kecil saat memanaskan makan siang. Dia sengaja memasang tanda perbaikan agar Santi harus turun ke lantai bawah, memberinya lebih banyak waktu melakukan aksinya. Dia menyayat bungkus obat dan memasukkan serbuk racun, lalu merekatkannya lagi dengan lem. Pekerjaan yang sangat rapi hingga nyaris tak terlihat bekasnya. Andre yang tidak menyangka apa-apa merobek bungkus itu seperti biasa. Dia juga tidak menyadari tabletnya sudah ditaburi bubuk racun.”

Dewi menangis sesenggukan. Ia mengaku terlibat utang pribadi pada Andre. Belakangan laki-laki itu mendekatinya. Dewi tidak ingin menjual diri dan tidak tahan dipaksa, juga diancam kehilangan pekerjaan. Ditambah kemungkinan masuk penjara akibat utang yang menggunung.

“Tugasku di sini sudah selesai. Aku pulang dulu.” Dipa berpamitan kepada Kapten Gunadi dan beranjak meninggalkan tempat itu.

Wellington, 20 Oktober 2021

Jenny Seputro, lahir di Jakarta dan sekarang berdomisili di Wellington, NZ. Seorang penulis yang menyukai cerita-cerita misteri dan detektif. Telah menerbitkan sebuah novel duet, dua novel solo, dan berbagai antologi.

omentar juri, Vira:

Cerita ini diceritakan dengan alur dan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami. Penulisnya mampu menjaga misteri yang diciptakan sepanjang cerita sehingga pembaca pun diberi kesempatan untuk menerka-nerka, siapa pelaku sesungguhnya. Keren.

 

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply