Ibu yang Hanya Bisa Marah

Ibu yang Hanya Bisa Marah

Ibu yang Hanya Bisa Marah
Oleh : Fitri Hana

 

Hujan deras di luar kafe membuat pengunjung enggan beranjak pulang. Begitu juga dengan Jo. Dia semakin erat menggenggam tangan kiriku yang kuletakkan di atas meja.

“Untung aku tadi bawa motor, jadi kita bisa berlama-lama duduk di sini,” ucapnya sambil tersenyum, menampakkan lesung pipi yang membuatnya semakin terlihat manis.

“Hujan begini malah membuatku ingat pendakian terakhir kita, Jo.” Aku menyesap cokelat yang sudah tidak panas lagi.

“Di Merbabu itu, lima tahun lalu?” tanya Jo tanpa mengalihkan pandangan dari wajahku. Aku suka caranya melihatku. Matanya yang hanya tertuju kepadaku seolah mengirim isyarat kalau akulah pusat perhatiannya.

“Iya. Kamu ingat, kita sampai di pos paling bawah dalam guyuran hujan lebat?”

“Ya, kamu harus ditandu untuk turun. Aku termasuk yang menandumu, Nai. Jangan lupakan itu.” Jo memiringkan kepalanya, menatapku dalam-dalam, seolah mengintimidasi.

“Iya, Jo, iya, aku ingat itu.” Suasana hatiku yang mendung berubah seketika. Aku tersenyum melihat Jo bertingkah demikian.

“Kenapa memangnya, Nai?”

Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, “Aroma hutan yang basah tertinggal di benakku, Jo. Membuatku mengingat rasa sakitnya.”

“Gimana, sih? Cerita sini, Nai.” Jo meletakkan telapak tangan kirinya di atas tangan kiriku. Punggung tangan kiriku ia usap-usap dengan jemarinya perlahan.

“Pendakian pertama yang diwarnai insiden jatuh itu mengingatkanku kepada Ibu, Jo.” Aku menerawang ke seberang, melihat tempias hujan yang mengenai jendela kafe meninggalkan pola-pola pada kacanya, “Ibuku bukan seperti ibu kebanyakan. Dia tidak akan merawat anaknya yang sakit dengan penuh perhatian dan cinta. Ibu tidak demikian.” Aku kembali menghela napas, bercerita tentang Ibu rasanya sesak sekali. “Saat Nia mengantarku pulang waktu itu, Ibu sudah menghujaniku dengan omelan. Melihatku masuk dipapah Nia, Ibu juga tidak bertanya kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi? Tidak, Jo!” ucapku nyaris berteriak. Memori itu membuat dadaku kembali bergolak. Aku ingin marah kepada Ibu.

Jo kembali mengusap punggung tanganku. Usapannya meluruhkan panas di dalam dadaku.

“Begitu Nia pergi, Ibu memarahiku terus menerus, Jo.” Aku mengulang bagian itu dengan suara bergetar, air mataku jatuh.

“Ibu seperti itu, selalu marah.” Aku berhenti untuk mengusap air mata yang rasanya malah semakin deras saja. “Ibu itu teman curhat yang baik, Jo. Tidak untukku, tetapi untuk teman-temanku Ibu akan jadi pendengar yang baik. Ibu tidak pernah mendengarkanku, Ibu tidak ada kompromi denganku, tidak akan mendengar alasan-alasanku, Jo.” Air mataku mengalir lebih deras. Jo mengulurkan tisu makan yang ia ambil dari atas meja.

Aku membersihkan ingus dan menghapus air mata yang memenuhi pipiku. “Selama dua minggu itu Ibu tidak masuk kamarku seperti biasanya, Jo. Aku harus mengambil makanan sendiri, ke kamar mandi sendiri. Apa-apa urus sendiri. Bisa bayangkan perasaanku, Jo? Sakit fisikku sembuh dalam waktu dua minggu. Hatiku tidak bisa sembuh secepat itu, Jo!” Entah kenapa aku selalu semangat bercerita kepada Jo.

“Dari kecil sampai lulus SMK, hanya sekali itu saja aku sakit, Jo. Saat itu kita masih kelas satu. Aku muak berada di rumah, Jo. Ibu tidak mau berbicara denganku. Ibu selalu saja marah. Aku pergi, marah. Aku di rumah, ada aja yang buat Ibu marah kepadaku. Aku nonton TV, marah. Aku baca novel pun, Ibu masih saja marah.”

“Sudah, Nai. Tarik napas lagi.” Jo memberi aba-aba Aku pun mengikutinya.

“Maafkan aku yang dulu belum bisa menemani hari-hari beratmu itu, Nai. Maafkan Ibu juga. Ibu tidak pernah belajar parenting seperti kebanyakan ibu di luar sana, Nai. Tugas kita sekarang menghentikan warisan pengasuhan anak itu hanya di kamu. Sudah ada aku yang akan menemanimu melawan itu semua, Nai. Gimana? Siap jadi ibu yang betul-betul ibu?” tanya Jo sambil mengedipkan sebelah matanya.

Pipiku menghangat. Jantungku berdebar kencang mendengar ucapannya barusan.

Di luar hujan sudah reda. Beberapa pengunjung beranjak dari kursi mereka.

Jo juga demikian. Ia beranjak dari kursi. Menggamit lenganku lalu berjalan menuju kasir. Melihat kue kering berbentuk ulat bulu, Jo mengambilnya untukku. “Lucu, Sayang. Kita makan di rumah nanti, ya?”

Aku mengambil kue itu lalu meminta petugas kasir untuk mengemasnya sekalian. Dan Ibu … ya, rasanya memang berat mengingatnya. Namun, dari Ibu aku belajar seperti apa harusnya nanti saat anak-anakku sakit. Terima kasih, Ibu.

Klaten, 17 September 2021

 

Fitri Hana, seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis. Mengobati lukanya, membuatnya terus sibuk.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/4NQeweX

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply