Cinta Pertamaku itu kamu
Oleh : Zakiya
Seseorang pernah berkata jika jatuh cinta itu berjuta rasa, penuh warna-warni yang membuat hati berbunga. Katanya pula ribuan kupu-kupu pun bagai berterbangan di perut yang menghadirkan getar dalam dada. Pipi pun bersemu merah acapkali beradu pandang dengannya. Entah itu benar atau hanya sekadar bualan sang pujangga, aku pun tak tahu.
Di usia yang menginjak seperempat abad, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Setiap kali bertemu sosok lelaki yang kata teman-temanku memesona, justru aku kebalikannya, semua terasa biasa dan tak ada yang istimewa.
Katakanlah aku bodoh, dungu, atau apa pun itu. Pernah ada lelaki yang datang ke rumahku. Kata Ibu, lelaki itu mapan, baik, ganteng, dan tak perlu lagi diragukan kesiapan fisik dan batinnya. Jika wanita lain mungkin akan langsung menerimanya. Namun, tidak bagiku. Aku menolaknya mentah-mentah.
Tentu banyak yang menyayangkan keputusanku. Banyak pula yang memaki dan menasihati panjang lebar yang terkadang membuatku muak. Untung saja Ibu adalah sosok yang pengertian. Bahkan sekali pun ia tak pernah menanyakan alasan penolakanku. Biarlah hanya Tuhan dan aku yang mengetahuinya. Aku tak mau repot menjelaskan. Mereka hanya mendengar tanpa mau merasa.
***
Senja mengudara. Langit biru kini tergantikan oleh jingga. Kesiur angin melambai-lambaikan rambut hitam panjangku. Kutatap maha karya Tuhan yang begitu menakjubkan ditemani secangkir espreso.
“Hai, An,” sapa Nina sembari menepuk bahuku.
“Halo, Nin,” jawabku seraya menatapnya penasaran. Wajahnya kusut dengan dahi berkerut-kerut seakan-akan banyak pikiran.
“What’s wrong? Lo kenapa, Nin?” lanjutku. Wanita itu sedari tadi hanya membisu.
Nina menghela napas panjang. “I-itu gue tadi berantem lagi sama Mas Rian,” jawabnya.
“Lagi? Katanya kemarin baru baikan?” tanyaku. Nina mengangguk dengan tatapan sendu.
Itu adalah salah satu ketakutan terbesarku ketika ingin menjalin hubungan serius. Nina, sahabatku yang berpacaran selama lima tahun saja ketika menikah sering bertengkar. Bahkan belum genap setahun usia pernikahannya mereka pernah akan bercerai. Selama dan sedalam apa pun menyelami lautan, kita tak akan tau dasarnya.
“Gue harus ngapain, An? Gue capek kaya gini terus. Berantem, baikan, berantem lagi. Masa siklus kehidupan gue cuma gitu-gitu aja?” katanya. Ia mendesah frustrasi kemudian menelungkupkan wajahnya di antara lekukan lututnya.
“Sabar, Nin. Namanya juga pernikahan pasti ada pasang surutnya. Enggak melulu manis doang. Nanti yang ada bisa-bisa diabetes,” jawabku sok filosofis.
“Lo cuma bisa ngomong doang. Enggak tau gimana rasanya jadi gue,” timpalnya yang membuat usapanku di punggungnya terhenti.
Benar juga katanya. Pengalaman percintaanku saja nol. Kenapa berlagak seakan-akan paling tau sendiri? Seharusnya aku sadar jika setiap orang memiliki kisah dan kekuatan masing-masing.
“Lalu gue harus apa, Nin?” tanyaku cemas. Sedari tadi ia tak berhenti menangis.
“Lo temenin gue aja di sini, An,” katanya yang kuangguki. Urusan menemani sudahlah biasa. Setiap kali Nina ada masalah, ia akan pergi ke tempatku.
Beberapa menit kemudian, ponsel Nina berdering. Terlihat dari ekspresinya yang berubah tegang, sepertinya ada hal penting yang harus diberitahukan oleh seseorang di seberang sana.
Baru saja aku akan menanyainya, Nina sudah beranjak. Ia hanya tersenyum manis dan anggukan sebagai pamitan.
“Ada-ada aja memang,” gumamku dengan tangan bergerak lincah mengisi buku catatan kecil yang sering kubawa.
“An?” panggil Nando yang kini duduk di sebelahku.
Dari tampilannya, agaknya Nando baru saja pulang dari kantor. Kancing atas kemejanya terbuka dengan kedua lengan yang digulung sesiku. Rambut yang biasanya tertata rapi, kini berantakan seperti jantungku yang berdebar setiap kali berada di deketnya.
Apa itu artinya aku jatuh cinta kepadanya? Ah, mana mungkin. kami sudah seperti saudara yang hampir setiap hari berbagi cerita. Tak ada yang kusembunyikan darinya kecuali gemuruh di dada yang makin kencang.
“Ada cerita apa hari ini?” tanyanya kemudian menyesap kapucino. Selera kami memang berbeda.
“Tadi Nina curhat gitulah,” jawabku.
“Gitu-gitu gimana?” Meski ia lelaki, tetapi keponya cukup tinggi. Apalagi jika menyangkut tentangku, semua akan ditanyakan hingga sejelas-jelasnya.
“Masalah perempuan, Ndo,” kilahku yang dijawabnya anggukan pasrah.
“Eh, ngomong-ngomong kenapa lo suka minum kapucino? Biasanya laki-laki kan kalau enggak espreso, ya, americano,” tanyaku. Sedari dulu aku penasaran dengan alasannya.
“Lo mah kaya gitu aja ditanyain,” selorohnya yang membuatku mencebikkan bibir.
“Cuma masalah selera aja, An. Hidup gue udah banyakan pahitnya. Masa kopi juga gitu? Sesekali mencecap yang manis kali,” jelasnya yang kuangguki.
“Kalau gue lebih suka espreso, sih. Lebih ngena aja sama hidup,” timpalku. Kami kemudian tertawa.
Saat-saat ini adalah yang paling kurindukan. Pria di sampingku adalah salah satu anugerah Tuhan yang harus kusyukuri. Kalau tak ada Nando, entah bagaimana hidupku. Terlalu ketergantungan dengannya membuatku takut jika suatu saat nanti kita akan berpisah.
“An,” panggilnya yang kujawab dehaman.
“Menurut lo, cinta itu apa?” Nando menatapku sekilas kemudian memandang langit yang mulai gelap.
“Lo salah nanya sama gue. Ngerasain cinta aja gue enggak pernah,” jawabku sebal.
“Lo, ‘kan, penulis masa enggak tau? Biasanya paling bisa bikin baper anak orang. Masa cuma definisi cinta aja enggak tau?” ujarnya yang membuatku seketika bungkam.
Serasa ditampar kencang, aku menunduk. Pikiranku bagaikan kaset rusak, memperlihatkan tulisan-tulisan manisku juga komentar pembaca secara berulang-ulang. Agaknya sudah terlalu banyak aku selama ini membohongi publik.
“Haruskah gue mengakhiri saja semua ini, Ndo?” tanyaku.
Lelaki itu menghela napas panjang. “Bukan itu maksud gue, Ana. Coba lo ikuti intruksi gue.” Aku manggut-manggut.
“Tarik napas kemudian embuskan perlahan. Tutup mata dan coba raba dada lo. Tanyain ke diri apa yang diinginkan? Gue yakin ada seseorang yang lo suka, tetapi logika lo menentang,” lanjutnya.
Aku melakukan satu per satu intruksinya.
“Dear hati, apa yang kamu inginkan?” lirihku sembari menyentuh dada. Tak disangka, jantungku kembali berdetak tak keruan. Bahkan lebih kencang.
Ketika aku makin memasrahkan diri, membuang segala beban yang menghimpit, wajah lelaki di samping tiba-tiba menguasai pikiranku. Ah, ada apa ini? Tuhan, aku tak mau jika persahabatan ini hancur.
“Kalau sudah, silakan buka mata,” perintahnya yang kuikuti. Kuusap air bening di sudut mata.
Di hadapanku bukan lagi hamparan ilalang yang melambai. Bukan juga bukit dengan pohon tinggi di kanan-kirinya. Begitu sunyi seperti hidupku.
Dua hal yang sama. Senja yang mengudara juga kamu yang berada di sisi. Meski tak lagi bisa menimpali ucapanku, tetapi setidaknya kamu bisa mendengarku.
Kutatap sendu gundukan tanah yang menyimpan jasadmu. Ada hampa di hati.
Aku terlambat menyadari perasaanku. Nando, kamu benar. Hatiku tidak pernah mati. Aku sudah merasai jatuh cinta dan kamulah cinta pertamaku.
Walaupun, takdir tak menjadikanmu cinta terakhirku.
Tak apa, karena semua yang singgah tidak selalu ditakdirkan untuk menetap bersama.
Kudus, 30 Agustus 2021
Zakiyatul Miskiyah. Ia akrab dipanggil Zakiya. Lahir dan besar di sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Muria. Gadis yang memiliki alis tebal ini hanyalah perempuan biasa lulusan sekolah menengah atas yang ingin melanjutkan pendidikan serta menggapai semua cita-citanya. Dari tulisannya ia berharap bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
Editor : Uzwah Anna
Gambar : https://pin.it/53WfTVO