Andai Aku Tidak Menarik Belakang Bajumu
Oleh: Erien
Bus kota sudah hampir penuh ketika kamu naik dan merangsek, memaksa masuk ke tengah. Tepat di hadapanku, kamu berhenti lalu berbalik menghadap jalan. Jujur saat itu, aku bersyukur karena tidak ada ruang lagi di belakangku. Semua penuh sesak dengan penumpang yang berjejalan. Sepertinya, semua ingin segera pulang agar bisa berkumpul bersama orang tercinta.
Bau keringat campur aduk sungguh memuakkan. Namun, kamu seolah-olah tidak peduli. Santai saja kamu menyiapkan gitar kecil di tangan. Seorang ibu berbadan tambun dengan dandanan menor, yang duduk tepat di sebelahmu berdiri, menoleh dengan sinis dan menggumam tidak jelas.
Satu lagu kamu nyanyikan dengan lantang. Aku tidak pernah mendengar lagu itu. Mungkin diciptakan olehmu sendiri, atau oleh seorang pengamen senior yang kemudian terkenal di kalangan kalian. Suaramu indah. Tidak ada nada fals sedikit pun. Itu menurutku, entah kalau menurut juri idol.
Tidak seperti pengamen lain, aku mencium bau wangi dari kaus lusuh yang kamu kenakan. Wajah juga bersih. Gitar kecil itu terlihat terawat, tidak seperti gitar pengamen pada umumnya. Hmmm, berdiri tepat di belakangmu membuatku penasaran. Apa kau bisa kuajak bicara?
Kamu sedang menyanyikan lagu yang kedua ketika kurasakan ada gerakan di tas selempang yang terdorong ke pinggang kanan. Perhatianku teralihkan. Aku terkejut melihat ada tangan sedang berusaha membuka resleting.
Copet!
Seketika keringat dingin muncul di dahiku. Tubuhku mulai gemetar. Tak berani kutolehkan wajah, mencari tahu sosok pencopet yang merogoh tas. Tangan kiriku berusaha menarik sisi tas agar kembali ke depan. Namun, tas itu tidak bergerak. Ia terkunci di antara pinggangku dan pinggang seorang gadis dengan earphone menempel di telinga. Rasa takut mulai merambat. Tanpa sadar, aku meraih ujung kausmu dan menarik sedikit kencang.
Tadinya, kamu cuek. Tetap menyanyikan lagu yang kali ini aku tahu. Lagu Payung Teduh. Suaramu tetap merdu. Alih-alih merasa romantis, aku makin ketakutan ketika tangan itu masih berusaha membuka resleting. Kembali kutarik-tarik belakang bajumu. Kamu menyelesaikan lagu lalu berbalik ke arahku. Mata tajammu yang kesal berubah heran melihatku gemetaran. Alismu naik turun beberapa kali seakan-akan bertanya ada apa.
Aku menggerakkan mulut tanpa bersuara. “Tolong. Ada copet ….”
Kamu memperhatikan gerak bibirku lalu kembali menatapku. Aku menggerakkan mata ke arah bawah sambil kembali menggerakkan bibir. “Itu.”
Kamu menoleh sekilas. Wajahmu tetap datar ketika dengan cepat kau menarik tasku kembali ke depan perut. Aku buru-buru mendekap tas.
“Makasih.”
Kembali tanpa suara, aku menangkupkan tangan.
“Aku yang makasih.”
Bisikanmu membuatku heran. Namun, kamu malah ke sisi depan bus, membuka topi hitam lalu berjalan sambil menyodorkan topi itu ke tiap penumpang. Kecuali padaku. Kau malah berbisik lagi. “Maaf, ya.”
Kini kita kembali bertemu di bus yang sama. Kali ini, kamu berkaus hitam dengan wangi yang masih sama. Dua lagu dengan cepat kamu nyanyikan. Tergesa sekali. Aku melihat ada gundah di matamu. Di halte berikutnya, kamu turun. Aku memutuskan untuk mengejarmu. Entah kenapa.
“Adikku habis dikeroyok orang terminal. Disangka nyopet.” Begitu cerita singkatmu ketika kita sudah berkenalan dan kamu mengingat kembali aksi menyelamatkanku.
Aku akhirnya tahu kalau kamu punya tiga adik. Ketiganya masih sekolah. Kalian yatim piatu. Di bahumulah, semua tanggung jawab terkumpul.
Kamu mengajakku main ke rumah, tak jauh dari halte. Aku setuju. Kita berjalan beriringan. Kamu bercerita tentang banyak hal. Gedung tua di seberang halte tadi, di sana pernah ada pembunuhan. Di tikungan di pojok jalan ini pernah ada kecelakaan tunggal dan ada korban nyawa. Pohon tinggi di balik tembok besar di belakang halte adalah tempat pacaran anak-anak alay kurang modal.
Aku terkikik mendengar intonasi suaramu. Meski hanya disuguhi punggung, aku seolah-olah bisa melihat wajahmu langsung. Sepertinya kamu sangat bersemangat untuk bercerita. Berbeda sekali dengan dirimu waktu di dalam bus.
Sesekali kamu berhenti lalu berjongkok. Sesuatu kamu ambil dan masukkan di kresek kecil yang tergantung pada ujung gitar.
“Ini paku, beling, besi, pokoknya apa aja yang membahayakan orang. Aku ambil, nanti dikubur di halaman rumah.” Tanpa kutanya, kamu bercerita.
Kita sampai pada rumah sederhana, masuk gang kecil di ujung jalan ini. Dua balita menyambutmu gembira, meski kemudian wajah mereka kecewa ketika tahu kau tidak membawa apa-apa. Kamu sodorkan selembar dua ribu rupiah dan menyuruh mereka membeli roti untuk dimakan. Mereka tertawa ketika kamu mengancam akan menjewer telinga jika uang itu dibelikan petasan banting yang dibungkus perlima butir berharga seribu rupiah. Keduanya berlalu dengan cepat.
Di ruang tamu, satu lagi adikmu berbaring. Matanya terpejam. Pipinya lebam dan ada bekas darah yang mengering di ujung bibir. Kamu hanya melirik, meletakkan gitar lalu melepaskan plastik di kaitan dan mengajakku kembali ke halaman.
Kita menggali tanah bersama. Setelah cukup dalam, kamu mengubur paku, pecahan beli, dan besi kecil yang tadi kaupungut.
“Kalian … besok puasa?”
Lusa, bulan puasa tiba. Kuputuskan bertanya untuk memecah sunyi yang sempat hadir beberapa menit tadi.
Kamu menggeleng. Aku mengernyit.
Kamu kembali menggeleng ketika kutanya apa kalian non muslim. Kita duduk di teras. Ada sofa yang sudah tidak karuan bentuknya. Meja kecil dari ban mobil bekas, memisahkan kita.
“Puasa setahuku mengajarkan kita merasakan lapar seperti orang miskin. Agar hati tidak mati. Aku dan adik-adik sudah tidak perlu lagi diajari tentang lapar. Tidak makan seharian sudah terbiasa bagi kami. Lalu untuk apa berpuasa?”
Ucapanmu entah kenapa membuatku sedih.
“Orang hanya tahu masih ada aku yang memenuhi kebutuhan adik-adikku. Tapi nggak tahu kalau hampir semua orang berpikiran sama. Dan itu bikin mereka enggan ngasi meski sekadar sekeping lima ratusan seharga satu wafer panjang yang bisa kubagi dua untuk adikku dan mereka akan tenang karena sibuk memisahkan lembar-lembar wafernya.”
Kuhela napas panjang.
“Doakan saja Allah mengampuniku. Doakan Allah mengampuni orang-orang yang berburuk sangka padaku karena bisaku hanya menyanyi. Doakan Allah mengampuni orang-orang yang memukuli adikku.”
Aku menoleh padamu. “Apa adikmu benar-benar mencopet?”
“Aku tidak tahu. Mungkin perut yang kosong sedari kemarin memaksanya seperti itu.”
“Tetap salah. Meski karena perut kosong.” Aku mencoba meluruskan pemahamanmu.
“Iya. Aku juga tahu. Tapi perut adikku tidak tahu.”
Aku membisu.
Matahari perlahan beristirahat, seiring azan yang entah dari mana. Kamu pamit ke belakang dan kembali dengan segelas air putih. Aku berterima kasih dan segera meminumnya.
“Aku yang berterima kasih.”
Ucapannya membuatku teringat kejadian di dalam bus.
“Jika saat itu kamu teriak, tidak menarik bajuku, mungkin aku akan kehilangan adikku.” (*)
Kotabaru, 14 September 2021
Erien. Penyuka hujan dan pelukan. Menulis yang terbaik meski belum sempurna. Mari berkenalan di akun Facebook: Maurien Razsya.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: https://id.pinterest.com/pin/715368722062591545/
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata