Memilih Takdir
Oleh: Veronica Za
“Di dunia ini, ada beberapa hal yang disebut takdir, sisanya adalah pilihan.” Sebaris kalimat yang selalu menjadi penyemangat di setiap hari-harimu itu, kini beralih menjadi kalimat favoritku. Di saat hatiku tak lagi dapat merasa, bibirku pun terkatup sempurna.
Bukan! Bukan karena tak percaya takdir bisa menyakitiku sebegitu parahnya, tetapi aku meyakini untuk memilih takdirku sendiri. Hati ini masih belum bisa berkompromi dengan waktu yang katanya bisa menyembuhkan luka.
Aku masih berkutat dengan laporan-laporan yang kubawa pulang dari kantor. Meski ingin, tapi aku tak bisa berdiam diri. Jika itu dilakukan, maka tak ayal akan ada patahan-patahan baru yang terulang di dalam dada. Patahan yang sama dengan waktu itu.
Suara ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunanku. Sosok wanita paruh baya yang melahirkanku masuk dengan membawa segelas kopi susu yang mengepulkan asapnya. Aroma manis dan pahitnya menguar memenuhi ruangan yang tak bisa dibilang kecil ini.
“Dre, kapan kamu akan mulai memikirkan pernikahanmu? Usiamu sudah sangat matang untuk itu. Apa perlu Ibu dan Ayah yang mencarikannya untukmu?” tanya Ibu sembari meletakkan cangkir di samping laptopku, kemudian duduk di pinggir kasur.
Demi menghormati Ibu, aku memutuskan menunda pekerjaanku tadi dan memutar kursi ke hadapannya. Wajah rentanya terlihat lelah, aku tahu itu meski Ibu tak pernah mengatakannya. Putra semata wayangnya menjadi workaholic karena seorang gadis, cukup menjadi penyebab resah hatinya.
“Nanti, Bu. Saat waktunya tiba, insya Allah Andre akan memberitahu Ibu.”
“Apa kamu masih menunggu Ayu, Nak?”
Aku bergeming, tak tahu harus menjawab apa. Bahkan, aku sendiri tak tahu alasanku menutup hati.
Ibu menghela napas pelan dan keluar dari kamar. Aku tahu ia lebih menderita. Namun apa daya, aku masih terjebak dalam kenangan masa lalu.
***
Pagi itu, tepatnya dua tahun lalu, aku masih menjadi Andre yang murah senyum dan cerewet untuk ukuran seorang pria. Bagaimana tidak? Setelah lulus dari perguruan tinggi ternama di Yogyakarta dan mulai magang di salah satu perusahaan asing, Ibu dan Ayah bersedia meminang Ayu, sahabatku sejak kecil yang kini mencuri hati.
Persiapan pernikahan dilakukan sepenuhnya oleh keluargaku setelah mendapat persetujuan Bu Lani, ibu asuh Ayu. Ya, calon istriku itu adalah seorang anak dari panti asuhan. Meski begitu, baik aku dan keluargaku tak peduli akan hal itu.
Aku yang kala itu merasa bahagia, tak pernah mengira akan merasakan perasaan sebaliknya tanpa terduga. Terlalu larut dengan suka cita yang mematikan kewaspadaan tanpa celah.
Hingga menjelang magrib, dering ponsel dari nomor tak dikenal membuatku meremang. Entah dari mana asalnya perasaan ngeri itu datang. Dengan napas yang tercekat di kerongkongan, aku menggeser warna hijau di layar. Perlahan, mendekatkannya ke telinga dengan waspada.
“Selamat sore, saya dari kepolisian mau memberitahukan bahwa wanita dengan nama Ayu Kusuma Wardani sedang dalam keadaan kritis. Bus yang ditumpanginya tiba-tiba menabrak pembatas jalan dan terbakar. Mohon walinya segera datang ke Rumah Sakit.”
Suara pria itu terdengar bagai sabetan pedang tepat di ulu hati. Bak kesetanan, aku mengambil kunci mobil dan berlari menembus jingga yang hampir ditelan pekatnya malam. Tak kusangka, kegelapan malah menyelimutiku hingga dua tahun berselang setelah kudengar kabar kematiannya.
***
Hari ini, aku lagi-lagi datang. Sekadar mengirim doa dan sebukat bunga di atas tanah yang diselimuti rumput. Bercengkerama dengan nisan dengan ukiran namamu. Ternyata masih sesakit ini, bahkan untuk sekadar mengingat rupamu saat terakhir kali di rumah sakit.
Andai bisa kutulis lagi kisah kita di masa lalu, tak akan kubiarkan kau pergi mencari ayahmu demi sebuah ijab kabul. Atau setidaknya, biarkan aku ikut meski harus merasakan panasnya api menyengat kulit, tajamnya pipa runcing menancap bahu, atau menjadi korban yang tak bisa dikenali lagi. Mungkin dengan begitu, aku tak perlu merasakan sakit yang menyiksa hingga kini.
“Biarkan aku menikmati sakit ini untuk beberapa lama lagi. Mungkin seminggu, sebulan, atau setahun. Biarkan juga doaku mengalun menyertaimu hingga saatnya nanti kita berjumpa di tempat terbaik. Aku—”
Belum lagi kulanjutkan ucapanku, suara kursi roda yang didorong keras membuatku menoleh. Entah apa yang dua orang itu takutkan hingga terburu-buru seperti itu. Tepat sebelum mereka berbelok, aku menangkap raut wajah yang sangat kukenal.
Mungkinkah …?
Tanpa menunggu untuk mencerna yang terjadi, aku berlari berharap bisa mengubah takdir. Biarkan aku kembali ke hari itu dan mengulang kembali potongan-potongan kisah dalam versiku.
Tepat di pintu gerbang, aku melihat seorang pria paruh baya melipat kursi roda dan menyimpannya di bagasi mobil. Demi apa pun yang terjadi nantinya, aku berharap firasatku benar adanya. Dengan sekali entakkan, aku membuka pintu depan mobil sebelah kiri.
Napasku masih memburu kala seraut wajah pias itu berpaling menutupi luka bakarnya. Meski sekilas, aku tahu gadis itu adalah dirimu. Gadis yang orang-orang kira sudah menyatu dengan alam. Biarkan orang menganggap aku gila, inilah aku yang percaya akan keajaiban Allah.
“Pergi!” Belum lagi tersadar dari keterkejutanku, suara sentakan itu terasa perih terdengar. Apakah ia tidak ingat padaku? Bagaimana bisa?
“Pergi, aku mohon.” Kali ini suara itu melemah di sela isak tangis. Aku sendiri masih bergeming, tak tahu harus berbuat apa.
“Pergilah, Nak Andre. Anggap makam yang tadi kamu kunjungi adalah makan Ayu. Biarkan anakku hidup tanpa menanggung rasa malu,” lirih seorang pria yang sejak tadi hanya terdiam melihat ulahku.
“Anakku? Lalu, jenazah siapa yang dimakamkan di sana?” tanyaku frontal.
Tak ada jawaban yang kudapatkan. Perlahan, pria tadi menutup pintu yang masih ditahan olehku, kemudian masuk ke dalam mobil dan meninggalkanku bersama pertanyaan besar di kepala.
***
“Sah?”
“Sah!” Sontak, semua yang hadir mengucap hamdalah dengan perasaan lega mendengar kalimat ijab kabul yang terucap dengan lancar dari mulutku. Hari ini aku resmi menjadi seorang suami seperti yang orang tuaku inginkan sejak lama. Akhirnya, aku bisa mengabulkan keinginan terbesar ibuku.
“Dre, Ibu senang kamu sekarang sudah mendapatkan istri. Jaga dia baik-baik. Cintai dia seperti saat kamu mencintai gadis itu.”
“Iya, Bu. Andre akan menjaga dan mencintainya sepenuh hati.”
Air mata Ibu mengalir diiringi senyum bahagia yang terukir di wajah tuanya. Ayah tampak mengangguk seolah menguatkanku. Hanya mereka yang mengerti apa yang kurasakan saat ini. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup.
Perlahan, Ibu beranjak menuju kamar di mana pengantin wanita berada. Seluruh tamu undangan adalah keluarga dari kedua belah pihak. Tak ada resepsi, tak ada panggung. Hanya tenda kecil bernuansa pink dengan hiasan seadanya tapi manis yang menjadi peneduh kami menyempurnakan agama.
Suara roda yang berderit membuatku menahan napas tiba-tiba. Rasa grogi menjalar hingga ke ubun-ubun. Hingga akhirnya, kursi roda itu kini berada di sampingku dan si pemiliknya mencium tanganku takzim. Kuusap pucuk kepalanya sembari berdoa tulus demi kebahagiaan kami kelak. Wajah yang tertutup hijab dan cadar putih itu menatap lekat. Aku tahu, di balik cadarnya ia tengah tersenyum.
Aku bersyukur karena memiliki orang-orang tangguh dalam hidupku. Istri yang tegar dan orang tua yang sabar. Apa jadinya hidupku tanpa mereka? Kali ini kubuktikan dengan jelas. Beberapa hal memang bisa disebut takdir, tetapi pilihan yang tersisa membantuku mengubahnya.(*)
Veronica Za, seorang ibu dua anak yang berusaha menjadi penulis dan editor yang dikenal, bukan terkenal. Mulai mengikuti kegiatan literasi sejak 2017 hingga kini merambah dunia editor dan layout naskah. Pernah mengikuti berbagai macam lomba di media sosial sebagai bentuk pelatihan diri.
Untuk mengenal lebih jauh, bisa hubungi via Ig: veronica.za.16; WA: 087784033881; Fb: Veronica Za; Email: veronica160.vk@gmail.com
Editor: Lutfi Rosidah
Sumber Gambar: https://pin.it/5YhdteR