Sepenggal Bayangan
Oleh : Ardhya Rahma
Tania berulang kali mematut diri di depan cermin. Dia begitu asyik berputar ke kiri dan ke kanan hingga tak menyadari aku sudah berdiri di pintu kamar. Dari tempatku, dapat terlihat bayangan di cermin menunjukkan seorang perempuan awal tiga puluh tahun yang berwajah manis, memakai gaun berpotongan A line berwarna biru muda dengan bunga pink kecil. Gaun yang baru dia beli itu jelas mampu menonjolkan pinggangnya yang tetap langsing meski sudah pernah melahirkan dua orang anak. Tania terlihat sempurna di mataku.
Namun, bibir yang mengerucut, suara yang berdecak sebal, dan raut wajah kesal menunjukkan Tania tidak merasakan hal yang sama denganku. Aku sudah terlalu hafal dengan tingkahnya. Jadi aku tahu bahwa dia merasa tidak puas dengan penampilannya. Mau tak mau ulahnya itu membuatku kesal. Aku yang sudah menunggunya sejak dua puluh menit lalu, makin tidak sabar saat melihatnya tak kunjung selesai berdandan.
“Ayolah, Sayang. Kamu sudah perfecto. Apalagi yang mau diubah,” ucapku, dengan intonasi sedikit lebih tinggi dari biasanya.
“Bentar, dong, Mas. Di pesta nanti banyak teman SMA-ku yang datang. Aku malu kalau tidak tampil paripurna,” jawab Tania.
“Kan aku sudah bilang kalau kamu perfecto, artinya penampilan kamu sudah sempurna. Kalau kamu kelamaan dandan, bisa-bisa pas kita sampai di sana, acara sudah selesai.”
Pandangan kami bertemu lewat pantulan cermin, wajah Tania tetap terlihat masam, tetapi dia mulai menyadari kebenaran kata-kataku. Akhirnya, Tania mengikuti kemauanku untuk segera berangkat meski sedikit bersungut-sungut. Itu pun dia lakukan setelah mengganti setelan perhiasannya sekali lagi.
Benar saja, ketika kami sampai, ballroom tempat pernikahan Arman dan Nisa sudah penuh dengan tamu. Aku merasakan banyak pasang mata memandang kehadiran kami. Bagaimana tidak, salah satu pengusaha muda yang sedang naik daun, bersama istrinya yang seorang mantan runner up putri kecantikan tingkat provinsi sedang berjalan di tengah-tengah mereka. “Pasangan serasi tahun ini” merupakan gelar yang diberikan pada kami dan menjadi judul sebuah majalah yang pernah kubaca.
Gelar itu membuatku bangga. Tidak salah jika dulu aku mengejarnya mati-matian. Tania adalah adik kelasku di SMA. Usia kami selisih cukup jauh, delapan tahun. Itu sebabnya ketika aku mengenalnya pertama kali, aku berpikir tidak sedang mencari pacar, melainkan mencari istri. Cukup sulit menaklukkan hati Tania yang belum ingin menikah. Tetapi berkat kegigihanku, akhirnya dia luluh juga. Satu tahun setelah perkenalan, kami menikah. Sepasang anak yang lucu dan sehat yang telah dilahirkannya, membuatku makin mencintai Tania. Sayang, sifat perfeksionis istriku itu membuat kekesalanku makin bertambah setiap harinya.
Entah kenapa, jika bercermin Tania selalu saja menemukan kekurangannya. Entah pipi kurang tirus, hidung kurang mancung, alis kurang tebal atau hal lainnya. Bahkan pernah, kami sudah siap berangkat ke sebuah pesta terpaksa batal, karena dia menemukan lingkaran hitam di bawah mata yang sulit disamarkan.
Sejak itu, mulailah dia menjadi langganan salon kecantikan ternama. Awalnya aku senang melihat Tania merawat dirinya. Namun, lama kelamaan aku kesal melihatnya terobsesi. Setiap ada jenis perawatan baru, dia akan mencobanya. Bukan jumlah uang yang aku permasalahkan, toh aku sanggup membiayainya. Hanya saja obsesinya makin menggelisahkanku.
Tato alis, sulam bibir, setrika pipi, tanam benang, suntik vitamin C, liposuction dan entah apa lagi namanya. Semua perawatan yang diyakini mampu membuat kulitnya putih, bibir merah merona, alis bak semut beriring, pipi halus dan kencang, juga perut mulus tanpa selulit, sudah pernah dicobanya.
“Sudahlah, apa sih yang kamu inginkan? Kamu itu cantik. Apa pun yang ada pada dirimu, aku menyukainya. Tak perlu kamu turuti nafsumu,” ucapku.
“Itu kan kata Mas yang ingin memujiku saja, sementara bayanganku tidak berkata seperti itu. Setiap kali aku bercermin selalu saja aku melihat ada kekurangan yang bisa diperbaiki,” bantah Tania.
“Itu wajar. Setiap manusia pasti ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada manusia yang sempurna. Sebagaimana aku menerima kelebihanmu. Aku juga menerima kekuranganmu.” Aku berusaha menasihati Tania. Sayang dia tak mengindahkan ucapanku.
Meski aku selalu mengingatkan bahaya yang mengintai dari perbuatannya. Tania seolah tak peduli dan tetap saja melakukannya. Sampai akhirnya ….
“Kenapa wajahku terasa gatal sekali ya, Mas. Pipiku juga seperti melorot. Coba lihat,” keluh Tania pagi ini.
Aku melipat koran dan menoleh ke arahnya. Mengamati sejenak dan aku melihat apa yang dia keluhkan. Pipinya tampak kemerahan bukan karena blush on. Kedua pipinya juga terlihat tidak simetris seperti biasanya. Di pipi sebelah kanan tampak kulit sedikit kendor dan melorot ke arah dagu. Membuat pipi sebelah kanannya tampak menggantung. Aku pun kemudian memutuskan segera membawanya ke Rumah Sakit Ananda.
Vonis dokter spesialis kulit bagaikan palu godam untuk istriku. Dia terduduk lemas di depan dokter. Aku tahu Tania terpukul setelah mendengar dokter menyampaikan bahwa apa yang dirasakannya saat ini adalah akibat operasi dan semua perawatan yang dia lakukan dan tidak dikerjakan oleh ahlinya. Tidak semua orang bisa menjalani perawatan tersebut, butuh pemeriksaan lengkap untuk melihat karakteristik kulit. Hal ini yang sering kali tidak dilakukan di pusat perawatan kecantikan. Alhasil, bukannya menjadi bertambah cantik tetapi justru berdampak buruk pada kesehatan.
Semua sudah terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Sesal pun tiada guna. Apa yang dulu pernah sangat Tania banggakan, sekarang tak sanggup dia lihat lagi. Bukan hanya karena malu melihat wajahnya, tetapi Tania sudah tak mampu lagi menegakkan tubuh untuk bercermin. Rimpuh layaknya orang uzur, meski usia masih di pertengahan 30 tahun. Kini, cermin kesayangan istriku itu hanya mampu menampilkan sepenggal bayangan.
Surabaya, 1 September 2021
Ardhya Rahma, Penulis berdarah Jawa-Kalimantan yang mempunyai hobi membaca dan travelling.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/1a2tQRu
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata