Musim Semi Kelabu
Oleh : Ardhya Rahma
Aku berdiri di Bukit Zaitun dan menatap ke arah perkampungan Palestina di bawah. Dadaku sesak saat melihat luas perkampungan itu semakin menyempit akibat aneksasi terus menerus dari Israel. Mereka memang tidak pernah berhenti mengambil paksa tanah dan rumah milik warga Palestina. Hanya karena beranggapan tanah itu tanah yang dijanjikan Tuhan untuknya, Israel tega melakukan apa saja agar warga Palestina tergusur. Membunuh sekali pun tidak segan dilakukannya, seperti apa yang mereka perbuat kepada sahabatku, Catherine.
Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku sosok Catherine. Aku mengenalnya saat pertukaran pelajar. Kala itu, aku tinggal di rumahnya hampir satu tahun, juga belajar di SMA yang sama dengannya. Gadis yang bukan hanya cantik wajah, hatinya pun sama. Dia tidak pernah tega membiarkan orang lain menderita, khususnya anak-anak. Sebisa mungkin dia akan membantu mereka. Hubungan kami layaknya dua bersaudara. Tubuhku yang mungil membuatnya menganggapku sebagai adik. Kedekatan kami berlanjut, meskipun aku sudah kembali ke Indonesia. Komunikasi kami terjalin melalui Skype atau Yahoo Messenger.
Suatu hari aku melihat foto Catherine di akun Facebook miliknya. Dia mengenakan syal berwarna hijau, putih, merah, dan hitam. Sepertinya aku pernah tahu motif itu tetapi lupa di mana.
“Hi, Little Sis.” Cath menyapaku.
“Hi, Cath. What are you wearing?”
“You don’t know? Really? This is Palestine’s Flag.”
Pantas saja aku seperti pernah melihatnya. Kami pun lantas berbincang tentang konflik Palestina dan Israel. Tidak kuduga pengetahuan Catherine tentang konflik tersebut sangat lengkap. Sahabatku itu bercerita, awalnya dia heran kenapa konflik tersebut tidak kunjung usai. Makin bertambah rasa penasarannya saat melihat cukup banyak warga Amerika yang notabene bukan muslim justru membela Palestina. Sementara selama ini dia hanya tahu itu konflik antar agama. Dia pun mulai berselancar di dunia maya mencari informasi. Suatu hari dia menemukan sebuah akun yang cukup aktif memberikan informasi terkini tentang kondisi masyarakat Palestina khususnya wanita dan anak-anak.
“Hatiku hancur, Rania. Bagaimana mungkin aku selama ini melewatkan berita tentang mereka,” kata Catherine pilu.
“Lantas apa yang kamu lakukan? Apakah kamu yakin relawan itu tidak berbohong?” tanyaku.
“Aku sempat menanyakan hal sama. Dia hanya tersenyum dan balik menantangku untuk datang langsung ke Jalur Gaza. Dia bahkan memberitahu bagaimana cara bergabung dengan International Solidarity Movement (ISM) yang akan membantu memfasilitasi seandainya aku berniat menjadi relawan di Palestina.” Catherine menjelaskan dengan penuh semangat.
“Setelah mempelajari tugas relawan di sana, aku pun mendaftar dan saat ini sudah menyiapkan semua persyaratannya,” sambungnya.
“Kamu jangan bercanda, Cath. Kondisi di sana pasti berbahaya,” sergahku.
“Aku serius, Nia. Kalau semua lancar bulan depan aku berangkat ke Jalur Gaza.”
Catherine membuktikan ucapannya. Satu bulan kemudian dia berangkat. Aku sempat melihat aksinya yang heroik menyelamatkan seorang anak kecil yang ditodong senapan serdadu Zionis Israel. Semua itu tidak pernah ada di pemberitaan media mana pun. Aku menyaksikan informasi terkini kondisi Palestina dari akun relawan yang pernah diceritakannya. Dari akun relawan bernama Ashfaq, seorang lelaki keturunan Inggris-Palestina, akhirnya mataku terbuka. Terlebih saat Catherine mulai bisa berkomunikasi denganku. Email-nya rutin terkirim, sesekali disertai video yang dia ambil.
“Bagaimana mungkin aku hanya diam dan bersenang-senang sementara di belahan dunia lain orang-orang menderita. Aku mungkin gila, tapi asal kamu tahu, saat ini aku berada di tengah sebuah genosida dan aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi di depan mataku. “
Sebuah email yang membuatku menangis semalaman dan akhirnya memutuskan mengikuti jejaknya. Butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan kedua orangtuaku agar memberikan izin putrinya menjadi relawan di jalur Gaza. Saat akhirnya aku bisa berangkat, Catherine sudah tinggal delapan bulan di Jalur Gaza dan sedikit menguasai bahasa Arab.
***
Sore itu mendung sedang menggantung di tengah musim semi. Namun siapa pun bisa melihat dengan jelas delapan relawan asal Amerika Serikat dan Inggris yang bertindak sebagai perisai manusia bagi warga Palestina yang ada di sana. Mereka tergabung dalam International Solidarity Movement (ISM). Penampilan mencolok para relawan dengan jaket neon oranye bergaris-garis reflektif membuat mereka akan tetap terlihat dari jarak jauh sekali pun.
Dari tempatku berlindung bersama beberapa anak yang sedang mengaji, aku melihat Catherine berdiri di atas gundukan tanah. Syal yang dia kenakan melorot menampakkan rambut pirangnya. Dengan megafon di tangan dia berteriak-teriak ke arah Buldoser Caterpillar D9R milik Israel. Buldoser-buldoser itu kemarin telah menghancurkan beberapa rumah milik warga Palestina di kamp pengungsi Rafah, dekat dengan perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir. Saat ini mereka datang lagi ingin menghancurkan rumah kembali.
Saat ketegangan memuncak, sebuah buldoser nekat maju dan tidak peduli pada delapan orang perisai hidup itu. Mereka akhirnya terpaksa membubarkan diri, kecuali satu orang. Seorang gadis dengan jaket neon oranyenya sebagai penanda aktivis internasional tetap berdiri tegak dan berteriak dengan megafonnya. Namun, serdadu zionis itu rupanya memang sudah kehilangan hati nurani. Dia merangsek maju dan menabrak Catherine. Kendaraan berat itu sempat mundur. Tapi kemudian maju dan melindas gadis muda itu.
Aku menyaksikan hal itu dengan hati hancur. Tak lama, aku berteriak dan berlari menyusul ke arah tubuh sahabatku yang kini tidak bergerak.
“Sepertinya punggungku remuk, Rania,” bisik Catherine.
Air mataku tak terbendung lagi. Aku hanya bisa menangis dan sesekali berzikir saat menemaninya di dalam ambulans Bulan Sabit Merah yang membawanya ke rumah sakit Najar. Catherine masih hidup saat tiba di ruang gawat darurat pukul 17.05. Tak lama kemudian, saat jarum jam menunjuk ke pukul 17.20, ia dinyatakan meninggal dunia. Tubuhku luruh saat mendengar dokter menyampaikan berita kematiannya. Gadis pemberani itu pergi dalam usia muda, tiga minggu sebelum ulang tahunnya ke-24.
“Aku bermimpi buruk tentang tank-tank dan buldoser ….”
Itu percakapan kami satu minggu sebelum kejadian. Rupanya itu adalah firasat. Bukan berarti dia takut, karena Catherine adalah gadis pemberani. Sebagaimana yang tergambar dalam email saat dia menggugah hatiku untuk menyusulnya.
“Di sini aku menjadi saksi dari situasi yang kronis, genosida tersembunyi, dan aku takut. Tapi, ini harus dihentikan. Adalah hal yang baik jika kita mau menanggalkan apa pun dan mengorbankan jiwa kita untuk menghentikannya.”
Terima kasih Catherine, kamu telah mengajarkan arti berjihad yang sesungguhnya. Namamu akan selalu kukenang dalam hatiku, juga nama Atfah Azzeza. Nama yang kamu pilih setelah mengucap dua kalimah syahahat. Sebuah nama yang cocok untukmu, karena kamu memang gadis yang penyayang dan sangat berharga bagi kami.[*]
Surabaya, 31 Mei 2021
Ardhya Rahma, penulis keturunan Jawa-Kalimantan yang hobi membaca dan travelling.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/4QiJLcu
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata