Hilangnya Anak-Anak Titipan
Oleh : Cokelat
Kegaduhan terjadi. Pak Doni dan Bu Indi, istrinya, mengetuk setiap pintu yang ada di bangunan petak-petak yang kami huni bersama. Total ada delapan petak bangunan yang terbagi dua, masing-masing terdiri dari empat petak yang saling berhadapan.
“Tolong, apakah kalian tidak ada yang melihat Angga dan Anggi? Tidak ada yang mendengar suara atau apapun?” Bu Indi terlihat panik. Dalam keremangan lampu-lampu teras di depan kamar petak-petak kami, dia mengedarkan pandangannya ke arah semua tetangga yang keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi.
“Rika … anak-anak selalu menunggu di tempatmu. Kau yakin tadi mereka tak mengetuk pintumu?”
Tentu saja mereka mengetuk, bukan cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali. Aku ingat, ketukan pertama saat jarum pendek pada jam yang tergantung di dinding di kamarku menunjuk ke angka tujuh, dan jarum panjangnya di antara angka satu dan dua. Saat itu, aku sedang berbaring dalam selimut. Kepalaku berdenyut hebat dan lendir di hidung membuatku susah bernapas. Pasti karena sorenya aku kehujanan dan pulang dalam keadaan basah kuyup. Perasaanku benar-benar sedang tidak enak, makanya kuputuskan untuk tidak menggubris ketukan itu.
Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar lagi. Kali ini diiringi suara lirih yang memanggil-manggil namaku dari balik pintu. “Tante Rika …. Tante, kami boleh masuk? Di sini dingin sekali. Kami lapar.” Itu suara Angga. Aku menghela napas panjang sambil memijat pelipis.
Ya Tuhan, cukup. Sudah cukup kelakuan kedua orang tua anak-anak itu. Kali ini aku tak akan menyerah. Aku tak akan lagi tersentuh oleh kepolosan anak-anak itu. Sampai kapan aku akan dimanfaatkan oleh Pak Doni dan Bu Indi? Tapi suara dari balik pintu itu ….
“Rika? Jadi benar mereka mengetuk pintu kamarmu? Dan kau membiarkan mereka di luar? Tega sekali kau, Rika!” Suaru Bu Indi menggelegar saat melihatku diam saja.
Hebat! Jadi sekarang, semua ini adalah salahku. Ke mana saja dia sampai malam begini meninggalkan dua anak yang masih kecil berada di rumah petaknya tanpa ada yang menemani? Aku melirik Bu Indi. Sekarang, perempuan yang usianya beberapa tahun di atasku itu mulai menangis.
“Tenang Bu Indi. Sebaiknya sekarang kita ramai-ramai mencari mereka. Siapa tahu anak-anak memutuskan untuk pergi keluar dan tersesat. Kalau memang mereka tak bisa kita temukan, Bapak dan Ibu harus melapor ke Kantor Polisi.” Pak Amir, yang paling tua di antara kami memberi usul.
Sementara itu Bu Amir menyentuh lembut lenganku dan berbisik, “Sabar. Maklumi saja, Bu Indi sedang kalut.” Aku hanya mengangguk pelan.
Malam itu pun menjadi malam yang panjang. Kami semua berkeliling, menyusuri setiap jalan dan lorong yang mungkin didatangi Angga dan Anggi. Beberapa warga dan Pak RT juga ikut bersama kami. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan kedua anak itu. Tak ada satu orang pun yang melihat mereka.
Sudah lewat tengah malam ketika aku akhirnya berbaring di tempat tidur setelah kurang lebih dua jam berkeliling dengan berjalan kaki. Kedua betisku serasa mau pecah. Aku tak tahu lagi kelanjutan pencarian Angga dan Anggi. Yang terakhir kudengar, Pak Doni dan beberapa orang akan melapor ke kantor polisi. Entahlah, aku terlalu lelah untuk menyimak pembicaraan mereka. Aku hanya ingin cepat kembali ke kamar dan merebahkan tubuh di atas kasur.
Pikiranku melayang kembali pada saat pertama kali menginjakkan kaki ke tempat ini beberapa bulan yang lalu. Perceraianku dengan Mas Bagas, membulatkan tekadku untuk pergi dan menyingkir ke sebuah kecamatan kecil yang masih asri dan tenang, jauh dari kebisingan kota besar. Aku membutuhkan suasana baru. Lagipula, aku sedang menggarap sebuah novel yang sudah lama ditunggu-tunggu penggemarku. Belum lagi skrip untuk sebuah cerita televisi yang belum rampung, padahal aku sudah menandatangani kontrak kerjanya.
Setelah perpisahan kami, mau tak mau aku harus pindah, begitu juga dengan Mas Bagas. Semua harta bersama kami akan dijual dan dibagi dua. Tak ada anak dalam pernikahan kami. Namun, bukan itu yang menjadi alasan Mas Bagas menceraikan aku. Buktinya, pernikahan kami mampu bertahan hingga sepuluh tahun meski tanpa kehadiran seorang anak. Kasih sayang lelaki itu pun tak pernah berubah untukku.
Menurut Mas Bagas, aku yang berubah. Semakin hari aku semakin aneh. Aku seperti asyik dengan duniaku sendiri, tak lagi peduli padanya dan orang-orang di sekitarku. Dia bilang, dia hampir tak mengenaliku lagi. Aku bukanlah Rika yang dinikahinya sepuluh tahun lalu. Dan dia menyalahkan hobi menulisku sebagai penyebab semuanya.
Suatu kali Mas Bagas memintaku saat kami sedang menikmati teh hangat di sore yang indah di halaman belakang rumah kami yang luas dan penuh dengan tanaman perdu.
“Kau terlalu hanyut dalam karakter-karakter yang kau tulis, Sayang. Kadang kau tersenyum sendiri, lalu tiba-tiba menangis. Tak jarang, matamu menatap kosong dan kau tak mendengar walau dipanggil berkali-kali. Aku mohon Rika, berhentilah menulis. Setidaknya … istirahatlah untuk beberapa waktu.”
Aku pura-pura tak mendengar permintaan lelaki gagah itu dan tetap membaca buku yang ada di pangkuanku.
Aku mengubah posisiku berbaring. Mengapa aku tak kunjung tertidur padahal seluruh tubuh terasa remuk. Udara malam ini begitu dingin. Tidak, bukan malam ini saja, kota ini memang selalu dingin di setiap malam-malamnya.
Tak ada lagi suara-suara dari luar kamar. Mungkin semua telah kembali beristirahat di rumahnya masing-masing. Rumah petakku terletak paling ujung, dekat dengan jalan. Sementara Pak Doni dan keluarganya menempati petak yang berada persis di samping kiri petakanku. Awalnya kupikir mungkin itu sebabnya Angga dan Anggi lebih akrab denganku dibanding dengan tetangga yang lain. Namun, lama-kelamaan aku sadar, tentu saja Angga dan Anggi akrab denganku sebab ibu mereka selalu menitipkan kedua anak itu padaku. Menurut Bu Amir, sebelum kepindahanku ke sini, anak-anak itu sering dititipkan padanya. Semenjak kedatanganku, mereka berdua lebih suka ke tempatku dari pada ke tempat Bu Amir.
“Aku ada janji dengan ibu-ibu di tempat kerja Mas Doni. Kami mau melakukan kunjungan ke sebuah panti asuhan di kota. Tolong temani Angga dan Anggi, ya. Tenang, mereka tak akan merepotkanmu. Anak-anak sudah pintar dan mendengar jika ditegur. Terima kasih banyak, ya.” Bu Indi mendorong kedua anaknya masuk, lalu bergegas pergi meninggalkanku yang belum mengucapkan sepatah kata pun. Saat itu baru dua hari aku pindah ke tempat ini. Kami baru sekali bertemu dan bertegur sapa, dan dia sudah mempercayakan anak-anaknya padaku. Aku benar-benar takjub pada perempuan itu.
Angga dan Anggi masih berdiri di pintu. Angga adalah seorang anak lelaki yang kutebak umurnya mungkin sekitar lima atau enam tahun, berambut keriting dan berkulit putih. Sementara yang lebih kecil, rambutnya lurus dengan kulit sedikit lebih cokelat. Seorang gadis cilik yang manis. Keduanya memiliki bentuk rahang dan mata yang sangat mirip. Sepertinya usia mereka hanya terpaut satu tahun.
“Ayo, masuk sini. Perkenalkan, namaku Rika. Panggil saja Tante Rika.” Itu adalah pertemuan pertama kami.
Awalnya, jika Bu Indi pergi di pagi atau siang hari, dia tak menitipkan anak-anaknya kepadaku dan meninggalkan mereka berdua saja di rumah petak mereka. Namun, jika perempuan itu yakin akan terlambat pulang, dia pasti menitipkan kedua anaknya. Seiring berjalannya waktu, Angga dan Anggi semakin dekat denganku. Mereka pun sering datang sendiri dan mengetuk pintu rumah jika ibu mereka sedang pergi, tak peduli siang atau malam.
Kadang, aku tak habis pikir dengan Bu Indi. Gaji Pak Doni sebagai asisten manajer di sebuah perkebunan teh terkenal yang berjarak beberapa puluh kilometer dari tempat kami, pasti cukup untuk menyewa seorang pengasuh anak. Apalagi yang kudengar, sebenarnya Bu Indi pun anak orang kaya di kota. Pak Doni dan Bu Indi bahkan memiliki sebuah rumah mewah di kota. Pantas saja dia bergaya seperti itu dan selalu sibuk dengan kehidupan sosialnya.
Memikirkan Bu Indi membuat mataku semakin berat, dan aku tak tahu lagi jam berapa aku tertidur.
Sejak malam itu, baik Pak Doni ataupun Bu Indi tak pernah menegurku. Beberapa bulan telah berlalu, dan tak ada kabar dari kedua anak mereka. Pihak berwajib seperti menemukan jalan buntu. Sama sekali tak ada petunjuk. Antara pukul tujuh hingga delapan malam, saat kejadian hilangnya Angga dan Anggi, hanya ada aku dan keluarga Pak Amir di rumah petakan ini. Tiga petak rumah sedang kosong karena tidak ada yang menyewa, sementara penghuni lain sedang tidak berada di rumah mereka. Pak Amir dan istrinya malam itu tak mendengar hal-hal yang mencurigakan.
Rumah petakan kami tak dilengkapi dengan CCTV. Mungkin semua rumah di tempat terpencil ini tak ada yang dipasangi kamera pengaman itu. Kurasa orang-orang di sini merasa tak membutuhkannya. Kata mereka, tak pernah ada kejadian aneh di tempat yang tenang ini.
Warga pun tak merasakan ada yang aneh di malam hilangnya Angga dan Anggi. Apalagi malam itu hujan turun dan hawa sangat dingin menusuk, membuat semua orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah mereka masing-masing.
Hanya seorang warga yang melihat sebuah mobil asing melintas di jalan depan rumahnya. Dia tak bisa mengingat jenis mobil apa itu, apalagi nomor pada pelat kendaraan tersebut. Lagipula, bisa saja kendaraan itu milik para penyewa villa yang sering melintas di daerah kami. Beberapa kilometer dari daerah kami, di sebuah bukit kecil, berdiri beberapa villa yang disewakan oleh pemiliknya.
Akhirnya Pak Doni dan Bu Indi pindah kembali ke kota. Menurut beberapa tetangga, Bu Indi masih mengalami syok atas hilangnya Angga dan Anggi. Kuharap perempuan itu akhirnya sadar kalau selama ini dia telah menyia-nyiakan kedua anaknya.
Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kota ketika terdengar ketukan dari arah pintu depan. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?
Jantungku nyaris berhenti berdetak dan tubuhku gemetar, ketika Angga dan Anggi berdiri tepat di depan pintu sambil tersenyum. Kedua anak itu langsung menghambur ke pelukanku. Aku terpaksa menunduk dan menyambut pelukan mereka.
Aku benar-benar terkejut dan tak menyangka kejadian ini. Sudah lebih setahun dan mereka berdua tiba-tiba muncul begitu saja.
“Ehm …. Pagi, Mbak Rika.” Ternyata ada Pak Doni yang sejak tadi berdiri di belakang Angga dan Anggi. Aku sampai tak memperhatikan lelaki itu.
“Pagi, Pak. Ini … maksud saya, Angga dan Anggi ….”
“Ya, Angga dan Anggi akhirnya ditemukan. Yang kami syukuri, selama ini mereka diasuh oleh satu keluarga yang baik di ibu kota. Sayangnya, keluarga tersebut mengira bahwa mereka telah mengadopsi Angga dan Anggi secara resmi. Ternyata semua surat-surat yang mereka peroleh adalah surat-surat palsu. Mereka telah ditipu beberapa orang yang bekerja rapi dan terorganisir. Polisi sedang mengejar para pelaku itu sekarang.”
Napasku mendadak sesak mendengar semua penjelasan Pak Doni.
“Sudah sebulan anak-anak kembali bersama kami. Dan selama itu, mereka tak pernah berhenti minta diantar ke sini. Saya titip mereka, ya. Akan saya jemput sebentar sore sekalian saya balik dari kantor. Kalau begitu saya permisi, Mbak.” Aku masih tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Anak-anak, Bapak berangkat, ya. Sebentar sore Bapak jemput. Jangan nakal di rumah Tante Rika.” Setelah itu, Pak Doni berbalik dan melangkah ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Aku mempersilakan Angga dan Anggi masuk ke dalam lalu menutup pintu. Semua ini terasa begitu tiba-tiba. Aku merasa seluruh tubuhku lemas, seolah tak bertulang. Aku bisa saja jatuh sewaktu-waktu.
Kupandangi Angga dan Anggi yang menatapku penuh arti. Tiba-tiba Angga maju dan menggenggam tanganku dengan erat.
“Tante Rika, tolong antar kami bertemu Om yang kita temui malam itu. Om yang mengantar kami ke tempat Ayah dan Ibu. Kami berdua kangen sekali pada Ayah dan Ibu. Kami janji, tak akan menceritakan apa pun kepada siapa pun. Iya, kan, Anggi?”
Sekarang, aku benar-benar jatuh terduduk di lantai. (*)
Kamar Cokelat, Juli 2021
Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata