Kelopak Niara
Oleh: Retno K.
Niara tersenyum getir memandang bibir abu-abunya. Disentuhnya sudut tak bergincu itu dan jiwanya mengenang. Dulu, melihat wajahnya dalam cermin, sama halnya dengan memandang bunga-bunga melati yang serentak mekar pada sehampar kebun. Terantarlah ingatannya kepada ucapan seorang lelaki.
“Aku pernah menyelami banyak jiwa sedalam lautan. Dan tak kutemui jiwa yang melati selain milikmu.”
Hari itu, manakala Legam menjabarkan segalanya, perkara melati dan hati, Niara nobatkan menjadi hari kelahirannya setelah 21 tahun dirinya hidup.
Niara tak percaya, mulanya. Dia menganggap yang terpancar dari mata Legam tak lebih dari nafsu sebagaimana para lelaki yang selama ini hilir mudik mendatanginya. Yang terlontar dari mulut Legam tak lebih dari rayuan-rayuan tak bertanggung jawab. Yang rekah dari bibir Legam tak lebih dari senyuman yang menagih tumbal. Niara tidak percaya jikalau di dunia ini terdapat manusia tulus. Tepatnya setelah Mbak Noi—yang dulu sempat ia anggap sebagai malaikat sebab telah menyelamatkannya dari debu jalanan yang pedih—membawanya ke sebuah rumah yang benar-benar rumah, bukan di emperan toko atau di kolong-kolong jembatan. Namun, dua bulan setelah segala kemewahan Niara dapatkan, Mbak Noi menitipkannya kepada sebuah rumah yang kemudian ia tahu merupakan rumah pelacuran.
Siang itu, Legam menubruk Niara tanpa sengaja di apotek. Legam bermaksud menebus resep dokter untuk ibunya. Dan Niara membeli test pack. Mereka melontarkan kata maaf nyaris bebarengan. Setelahnya, takdir bekerja demikian pesat. Sekadar tiga bulan, mereka telah bertukar rasa kagum. Kemudian, kepercayaan. Legam membawa pergi Niara ke sebuah tempat, mengasihi Niara seperti melati yang baru dipetik. Demikian hati-hati. Namun, Niara tahu, di dunia ini, Legam hanya mencintai ibunya.
Ibunya yang sepuh dan mengidap alzheimer itu, suatu hari menyuruh Legam untuk menikah dalam waktu dekat; sebelum ajal merapat. Itu adalah titik awal dari perpisahan yang menyakitkan. Legam boleh saja menikahi Niara, tetapi Niara menolak. Ia malu menampakan diri di depan ibu Legam dengan keadaan hamil tua. Legam sempat membujuk, ia akan menunggu Niara hingga melahirkan dan akan memperkenalkan kepada ibunya bahwa Niara adalah janda dari lelaki yang meninggal. Niara tetap menolak.
Akhirnya Legam menyerah, sebab keadaan ibunya kian parah. Ia menikahi teman satu sekolahnya dulu. Niara memilih pergi, ke tempat yang ia harap tak bisa bertemu dengan Legam maupun Mbak Noi. Dan perkara bayi dalam perut Niara, ia benar terlahir. Akan tetapi, meninggal satu jam kemudian karena sesuatu yang tak diketahui olehnya.
Niara masih mematut diri di depan cermin, menghitung-hitung usianya yang genap tujuh belas tahun—yang jika ditambahkan dengan masa hidupnya sejak lahir, usianya yang sesungguhnya adalah tiga puluh delapan tahun. Hitungan itu harus dikali-lipatkan kembali dengan beberapa deret angka agar dapat diketahui seberapa lama ia hidup dalam kesunyian. Niara memilih mengakhiri kesunyian itu.
Kepalanya terkulai di meja rias itu, sedangkan dari lehernya mengalir cairan marun, menetesi secarik lipatan kertas dengan sebuah tulisan yang ia rangkai jauh-jauh hari.
Dirgahayu, Melatiku. Semoga merah tanah lekas menimbun bangkaiku agar engkau bisa menabur diri di sana dengan tawa yang ceria. Tetaplah menjadi putih pada kelopakmu yang wangi, hingga acap meniduri angin yang berlalu melewati.(*)
Retno K. Lahir dan besar di Pemalang, Jawa Tengah. Sekarang ia berdomisili di Jepara. Ia merupakan ibu dari seorang anak lelaki.
Editor: Dyah Diputri