Shin’nyū-sha (Penyusup) 

Shin’nyū-sha (Penyusup) 

Shin’nyū-sha (Penyusup) 

 

Oleh: Cici Ramadhani

 

“Kisama  wa shin’nyu-sha o kokuhyo shimasu!¹” maki seorang perwira Dai Nippon.

“Watashi wa shin’nyu-shade wa arimasen,²” jawabku dengan suara bergetar. “Saya benar-benar orang Jepang. Nama saya Ohayashi Hideaki,” sambungku dalam bahasa Jepang.

“Usotsuki!³” bentaknya. “Hanasute! Itte!⁴” ucapnya lagi setelah melayangkan satu pukulan ke pipi kiriku.

Aku menggeleng lemah. “Watashi wa isi o tsukimasen.⁵”

Darah segar mengalir di sekujur tubuhku. Pukulan bertubi-tubi dilayangkan para tentara Jepang, layaknya aku sebuah samsak. Rasa sakit dan perih menjadi makanan sehari-hari selama beberapa hari.

Ketika tubuhku tidak berdaya menerima segala penderitaan, mereka menyiram air ke wajahku hanya untuk membuatku sadar dan kembali menerima siksaan demi siksaan dari mereka.

Mereka terus mengulang pertanyaan yang sama. Dalam ketidakberdayaan, aku tetap teguh menyatakan bahwa aku adalah orang Jepang, bukan mata-mata sekutu. Akan tetapi, perwira Dai Nippon itu, yang belakangan kutahu namanya adalah Nakamura Haichiro, tidak serta merta langsung percaya akan perkataanku.

Penyiksaan itu kuterima beberapa minggu lalu. Sekarang, meskipun mereka tidak membebaskanku, setidaknya siksaan itu tidak lagi kuterima. Mereka menempatkanku di penjara bersama dengan beberapa tawanan perang lainnya.

Setiap minggu, para prajurit itu membawa kami ke rumah bordil militer untuk membersihkan kamar-kamar di sana. Tidak hanya itu, para Dai Nippon itu bahkan tidak segan-segan melakukan perbuatan bejat mereka di depan mataku.

Seperti yang terjadi pada Senin malam lalu. Di depan mataku, seorang gadis baishunfu⁶ yang sangat cantik melayani nafsu bejat para Dai Nippon. Dari yang kudengar, gadis itu berasal dari Korea. Namanya Bae Hana, tetapi seorang tentara Jepang mengubah namanya menjadi Akira. Dalam sehari, belasan prajurit bergilir memerkosanya.  Mereka bahkan tidak memberinya waktu sekadar membersihkan diri.

Saat pertama kali melihat Bae Hana, kami berpandangan cukup lama. Dari matanya, aku merasa ada banyak kata yang ingin dia ucapkan. Meskipun tidak ada yang terucap, tetapi pesannya tersampaikan kepadaku. Gadis itu sangat menderita.

“Akira-san,” Seorang prajurit terus mendesahkan namanya penuh dengan nafsu.

Ada yang bergejolak di dadaku. Bukan cinta, melainkan amarah. Amarah yang terpendam. Ingin kuluapkan murkaku kepada para tentara biadab itu, tetapi aku tidak punya nyali untuk melakukannya. Aku masih harus bertahan hidup lebih lama lagi demi menghancurkan tirani ini. Jika aku bertindak gegabah, bukannya menyelamatkan Bae Hana, bisa jadi aku justru mati di tangan para tentara.

 

Sudah dua tahun, secara diam-diam aku menyamar menjadi orang Jepang. Awalnya kedatanganku ke negara ini adalah untuk pendidikan. Akan tetapi, menyaksikan kekejaman prajurit Jepang membuatku bertekad menentang mereka.

 

Di Korea, mereka dengan paksa menjadikan para pemuda miskin kerja rodi untuk Jepang. Sementara, para gadis-gadis diculik dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu⁷. Akira adalah kasus yang tidak biasa, karena gadis itu dibawa langsung ke Jepang dan dijadikan baishunfu di sini.

 

Aku yang berasal dari keluarga kaya memang bisa terlepas dari semua kemalangan itu. Namun, hati nuraniku tak mampu membiarkan penindasan terjadi lebih lama lagi.

 

Aku belajar cukup cepat, sehingga Bahasa Jepang-ku bisa dikatakan fasih. Sambil belajar di salah satu universitas sebagai mahasiswa Jepang, aku diam-diam melaporkan seluruh kegiatan tentara Jepang kepada pemerintah Amerika. Mulai dari lokasi pangkalan militer mereka, pabrik produksi senjata, serta segala perbuatan bejat mereka terhadap buruh dan para wanita.

 

Sejujurnya, aku tidak berpihak kepada Amerika. Semua yang kulakukan hanya demi negaraku, Korea. Penindasan yang dilakukan Jepang terhadap negaraku tidak bisa kuterima. Amerika adalah satu-satunya negara yang bisa kuandalkan untuk membebaskan negaraku dari jajahan Jepang.

 

Bertahanlah, Bae Hana. Sebentar lagi aku akan membawamu ke negara asal kita, ucapku dalam hati, kemudian meninggalkan sebuah apel di meja kamar Bae Hana.

 

Ingin sekali aku mengatakan langsung tentangku pada Bae Hana dan juga gadis Korea lainnya. Namun, aku tidak mau gegabah dan berakhir sia-sia. Aku yakin kesabaran itu berbuah manis.

 

Keyakinanku semakin besar, saat tidak sengaja mendengar radio tentara Jepang yang memberitakan tentang Hiroshima. Kota itu telah diluluhlantakkan oleh sebuah bom. Tubuhku bergetar, membayangkan seberapa dahsyatnya bom yang menjadikan Hiroshima rata oleh tanah. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. 

 

Sejujurnya, aku tidak tega melihat rakyat tidak berdosa harus ikut menjadi korban. Kalau bisa, seharusnya hanya para penindas negaraku saja yang hancur berkeping-keping dalam bara. Apa boleh buat, semua sudah terjadi. Hatiku bersorak. Kebebasan kini berada di depan mata.

 

***

Bunyi sirine yang begitu nyaring berbunyi sekitar jam setengah sebelas siang. Aku mendengar suara dentuman. Hanya dalam hitungan detik setelah itu, semuanya menjadi gelap. Entah berapa jam lamanya aku kehilangan kesadaran. Kurasakan perih di bahu kiri saat kubuka mata. 

 

Matahari tertutup awan hitam. Langit telah berubah warna menjadi lebih mencekam. 

 

Kusingkirkan balok kayu yang menimpa lengan. Rasa sakit yang menghujam membuatku berpikir seberapa besar cedera yang kualami. 

 

Tertatih, aku berusaha bangkit sambil menahan sakit. Kutelusuri jalan yang dipenuhi reruntuhan dan korban. Mereka bergelimpangan dengan kulit melepuh, bahkan sebagian lain organ-organ terburai, termasuk mata yang keluar dari tempatnya. Saat menyusuri jalan lainnya, tak sedikit kulihat korban dengan bagian tubuh terpisah dan tulang menyembul keluar.

 

Pemandangan lain lebih menggentarkan hati saat kulihat api di mana-mana. Banyak mayat gosong tergeletak di tanah, di antaranya mayat seorang ibu memeluk bayinya. Ribuan mayat memenuhi Nagasaki.

 

“Amerika biadab!” jerit parau seseorang.

 

“Tolong anakku! Tolong anakku!” pekik seorang wanita yang kehilangan kedua tangannya.

 

“Taskete!⁸” teriak seorang wanita yang separuh tubuhnya tertimbun runtuhan. Tidak ada satu pun yang menolongnya, bahkan aku segera menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan untuknya.

 

Kakiku terus melangkah sambil mencari Bae Hana maupun gadis rumah bordil militer lainnya. Namun, tak satu pun wajah seperti mereka yang kutemui. Kebanyakan dari mereka wajahnya penuh luka bakar. Jeritan, isak tangis penuh kepiluan dari banyak penjuru. Sepertinya yang menimpa Nagasaki sama halnya seperti yang terjadi dalam pemberitaan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945,  tepatnya empat hari yang lalu.

Setelah jauh berjalan, akhirnya aku menemukan pangkalan militer Jepang yang sebagian telah roboh. Beberapa prajurit Kekaisaran Jepang terlihat masih melaksanakan tugasnya menjaga pangkalan tersebut. Dengan mengendap-endap, aku masuk ke dalam ruangan. Beruntung, mesin pengirim pesan yang dicari-cari telah kutemukan. Mesinnya juga masih terhubung dengan kabel. Walaupun sebagian besar aliran listrik mati, namun di pangkalan militer ini listrik masih menyala. Kemungkinan mereka menggunakan bantuan mesin generator untuk pasokan listrik di pangkalan ini.

 

… ..- .-. …- .. …- . -.. –..– / — .. – … ..- -… .. … …. .. / .–. .-.. .- -. – / -.. . … – .-. — -.– . -.. –..– / – …. — ..- … .- -. -.. / .–. . — .–. .-.. . / -.. .. . -.. .-.-.- / — …. ⁹)

 

Kukirim pesan dalam sandi Morse pada Mayor Charles Sweeney. Beliau harus tahu pasca pemboman di Nagasaki.

 

Setelah mengirim sandi tersebut, aku segera menjauh dari pangkalan militer Jepang. Rasa sakit di bahuku semakin menyiksa. Aku terduduk lemas di atas reruntuhan bangunan. Baru kusadari juga, perutku benar-benar kosong. 

 

Namun, aku sudah berusaha bertahan dan berjuang sejauh ini. Rasa sakit dan lapar tidak akan membuat langkahku terhenti. Aku tidak akan menyerah di sini. Sungguh, aku ingin merasakan kebebasan di tanah kelahiranku, Joseon. Rasa rindu kepada orang tua tidak bisa kutahan lagi. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepada mereka. (*)

 

 

 

Aceh Tamiang, 5 Februari 2021

 

Catatan Kaki:

¹)”Dasar penyusup sialan!”

²)”Saya bukan penyusup.”

³)”Pembohong!”

⁴)”Cepat bicara! Katakan!”

⁵)”Saya tidak berbohong.”

⁶) Baishunfu : wanita yang dipaksa menjadi pelacur di negara Jepang.

⁷) Jugun ianfu : wanita yang dipaksa melayani nafsu para tentara Jepang di negaranya.

⁸)”Tolong aku!”

⁹) Tulisan dalam kode Morse yang bila diterjemahkan:

Survived, mitsubishi plant destroyed, thousand people died. OH (Selamat, pabrik Mitsubishi hancur, ribuan orang tewas. OH)

 

Cici Ramadhani, Ibu dua anak dan suka berpetualang dan penyuka warna biru.  

 

 

Editor: Imas Hanifah N




 

Leave a Reply