Extra Loves

Extra Loves

Extra Loves

Oleh : Ken Lazuardy

 

“Mas, bawa aku ke bidan, kayaknya aku udah nggak bisa nahan sakitnya.” Rintihanku sontak membangunkan Mas Bima. Padahal sepertinya suamiku baru beristirahat selama empat jam sejak pukul tiga dini hari tadi.

Saking paniknya, Mas Bima mondar-mandir mencari kunci mobil yang sebenarnya sudah dia pegang dari tadi. Aku sangat memaklumi keadaan itu, mungkin karena ini adalah anak pertama setelah kami menunggu selama tujuh tahun lamanya. Kulihat guratan lelah dan gelisah di wajah lelakiku itu bercampur dengan ekspresi kegembiraan yang tak pandai ia sembunyikan. Mas Bima dengan sigap menyambar tas pink berisi perlengkapan persalinan di dekat nakas, lalu keluar kamar. Padahal aku telah membaca berbagai buku dan artikel, tentang tips melahirkan tanpa panik dan sakit, tetapi entah kenapa masih ada kekhawatiran.

Bagaimana nanti? Apakah aku dan bayiku bisa melewati semua dengan selamat.

Kekhawatiran itu lambat laun tergantikan dengan rasa bahagia dan berharap untuk segera melihat wajah mungil bayiku nanti.

Sesampainya di klinik, aku langsung dibawa ke ruang bersalin. Asisten bidan menyarankan aku untuk tetap tenang dan rileks, sembari mengambil dan membuang napas secara perlahan. Bidan yang sedari tadi kami tunggu, akhirnya datang dan mulai memeriksa, apakah sudah terjadi pembukaan. Ternyata sudah pembukaan empat. Kontraksi semakin teratur dengan jeda waktu yang semakin singkat. Aku mengatur posisi berbaring secara bergantian, miring ke kanan dan kiri. Sesekali berdiri dan berjalan sebentar. Begitu seterusnya sampai aku merasakan rembesan air ketuban yang hangat keluar mengalir membasahi kaki.

Waktu yang—bisa dibilang—cukup singkat untuk kehamilan pertama. Dalam waktu empat jam aku melewati fase pembukaan keempat hingga kesepuluh. Aku tidak dapat mengingat jelas bagaimana sakitnya proses persalinan, karena terfokus pada satu hal yaitu melahirkan dengan selamat.

Doaku terjawab, tubuh mungil itu keluar disusul suara tangisannya yang terdengar sangat keras. Kini, bayi mungil cantik yang kami beri nama NATA ASA KINASIH berbaring tengkurap di atas dadaku, terlihat lucu ketika mencari-cari sumber ASI. “Assalamualaikum, Asa. Terima kasih telah hadir di kehidupan Bunda dan Ayah, ya,” bisikku pelan sambil mengusap kepalanya yang hanya ditumbuhi rambut tipis. Sengaja memilih nama Asa karena ia adalah jawaban perwujudan harapan kami.

Setelah Asa lahir, Mas Bima memutuskan agar kami tinggal sementara di rumah orang tuanya di Tabanan. Menurut Mas Bima, tidak mudah bagiku sebagai ibu baru merawat anak pertama sendirian. Tidak mungkin juga rasanya untuk pulang ke rumah orang tuaku karena harus menyeberang pulau. Aku dan mas Bima tinggal di Denpasar, sedangkan orang tuaku tinggal di Jawa, Malang lebih tepatnya.

***

Di usia tiga hari, aku membawa Asa ke klinik untuk kontrol sesuai arahan bidan. Hasilnya cukup mengecewakan karena berat badan putri kami turun. Akan tetapi, aku masih tenang karena bidan berkata bahwa turunnya berat badan Asa masih normal. Bidan menyarankanku agar membangunkan Asa setiap dua jam sekali untuk minum ASI. Aku kurang begitu mengerti karena masa tidurnya tergolong memang sangat lama, aku pikir semua bayi akan seperti itu.

Entah mengapa, aku lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Ada perasaan tertekan selama aku tinggal di rumah mertua. Sebenarnya, mereka sayang kepadaku terlebih kepada Asa meskipun ini bukan cucu pertama. Ibu mertua memberi aturan yang ketat sesuai ajaran turun temurun. Rasanya semua yang kulakukan selalu salah. Aku terpaksa menuruti semua perintah Ibu Mertua yang kebanyakan sebenarnya hanya mitos. Mungkin inilah yang membuat produksi ASI-ku tak terlalu banyak.

Di usia 11 hari, kulit Asa berubah menjadi kuning dan terlihat kurus, aku pun kembali ke klinik. Hatiku serasa tersayat mendengar keterangan bidan bahwa Asa harus dirujuk ke Rumah Sakit.

Produksi ASI-ku saat itu benar-benar berhenti. Akhirnya Asa harus dibantu dengan pemberian susu formula karena selama di rumah sakit, ia tidak boleh keluar dari inkubator. Ibu mana yang tak merasa gagal ketika tidak mampu memberi ASI kepada bayinya. Apalagi ketika melihat selang nasogastrik atau biasa disebut sonde, alat bantu medis untuk  menyalurkan nutrisi pada pasien, dimasukkan ke dalam salah satu lubang hidungnya.

Maafkan Ibu yang tak mampu menjagamu dengan baik, Nak.

Di saat yang seperti ini, Mas Bima tak bisa menemaniku di rumah sakit. Setelah dia mengantar kami, lelaki bermata coklat itu harus ke luar kota untuk bertugas.

Puji syukur tak henti-hentinya aku panjatkan, ternyata masa perawatan Asa tidak berlangsung lama. Betapa bahagianya aku ketika sore itu Asa mau minum susu formula dari dot. Esok paginya sonde dilepas. Dua hari berikutnya, Asa sudah diperbolehkan pulang.

“Nak, kamu anak yang kuat dan hebat. Bunda bangga padamu.” Aku berbisik lirih di telinganya. Aku yakin Asa mengerti dengan apa yang aku ucapkan.

Memasuki usia satu bulan, Asa demam dan batuk, aku anggap ini hal yang wajar karena bayi mudah terserang batuk-pilek yang berujung demam. Namun, dari hari ke hari suhu badannya semakin tinggi, napasnya semakin cepat dan pendek, minum susu pun sangat sedikit. Saat itu Subuh, aku terbangun karena merasa ada yang aneh pada Asa, tidak terdengar tangisannya, sekujur tubuhnya pucat.

“Asa, bangun, Nak.”

Aku berusaha membangunkannya, tetapi tidak ada respon, dia hanya melirik ke arahku. Aku menggoyang gelitiki tubuhnya. Nihil. Aku panik segera membangunkan Mas Bima. Hanya memakai piyama dan rambut acak-acakan, aku mengantar Asa ke Rumah Sakit, untuk kedua kalinya. Diagnosa awal dia dehidrasi, dimasuki jarum infus pun dia tidak bereaksi, suster juga tidak bisa mengambil sampel darah.

“Alhamdulillah, Bu Sinta. Telat sebentar saja, nyawa Asa tidak bisa diselamatkan.”

Aku dan Mas Bima berusaha untuk tetap tenang menghadapi semua ini. Berkali-kali aku menyalahkan diri, tetapi Mas Bima berusaha menenangkanku. Dalam hati aku masih tak bisa berhenti untuk mengutuk diri.

Pukul delapan pagi, alhamdulillah Asa sudah bisa menangis, kulit pucatnya berangsur memerah. Sesaat aku bisa sedikit tersenyum lega, tetapi senyumku tak berlangsung lama. Ketika Maghrib tiba, mendadak wajah Asa membiru, tubuhnya kaku dan matanya seperti melotot terbuka lebar. Kepanikan kembali terjadi, aku memanggil Mas Bima dan suster jaga.

Aku hanya bisa melihat Asa dari luar tabung inkubator.  Berbagai alat terpasang yang aku tak dapat menghafal fungsinya satu per satu. Hanya cup oksigen yang aku tahu, kepalanya diganjal untuk mengurangi pergerakan. Banyak kabel serupa detektor berbentuk lingkaran pada bagian ujung, tak bisa kuhitung jumlahnya, menempel di dada Asa dan terhubung ke sebuah layar monitor. Aku sampai tak bisa mengenali bidadari kecil kami.

Aku tak bisa menangis di depan Asa, ia membutuhkanku, kakinya tak berhenti bergerak menendang dinding inkubator, memberi isyarat bahwa dia kuat dan baik-baik saja.

Dokter memberi penjelasan yang mengejutkanku dan Mas Bima malam itu.

“Ibu, Bapak. Sepertinya Ananda Asa ini terkena broncho pneumonia berat. Adakah di rumah ada perokok?”

“Iya, Dok. Ayah mertua saya.” Tanganku mengepal erat, gigiku bergemeretak mendengarnya.

“Satu hal lagi, dilihat dari ciri fisiknya, Ananda sepertinya terkena Down Syndrome. Mungkin nantinya perkembangan Asa tidak akan seperti anak lain pada umumnya, agak terlambat baik segi kognitif maupun motoriknya. Down Syndrome adalah salah satu penyakit kelainan genetik karena memiliki ekstra kromosom.”

Belum sempat aku menanggapi, dokter melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi, Ibu dan Bapak perlu bersyukur, karena Ananda secara fisik lebih sehat, jantung pun tidak memiliki masalah. Padahal biasanya anak DS memiliki kelainan jantung bawaan. Hanya saja, ada masalah dengan paru-parunya. Tadi Ananda sempat gagal napas, tetapi puji syukur masih bisa diselamatkan.”

Meskipun aku tak begitu mengerti  istilahnya, tetapi ada satu hal yang dapat aku pahami, bahwa anakku berbeda. Bagaikan dihujam pisau bertubi-tubi. Setelah mendengar penjelasan dokter, emosi yang sebelumnya aku pendam, kini tak mampu kutahan. Di luar ruang ICU, aku tak tahan lagi melihat kedua orang tua Mas Bima.

“Ayah, bisa nggak berhenti merokok di dekat cucu sendiri. Apa daya saya untuk melarang Ayah merokok di dekat Asa? Sekarang lihat! Asa, cucu Ayah terkena broncho pneumonia berat, paru-parunya berisi cairan. Dan apakah Ayah tau apa penyebabnya? Penyebab utamanya adalah asap rokok Ayah!” Sepertinya rasa sungkan-ku telah hilang. Mas Bima yang sedari tadi memegang tanganku untuk menahan pun tak mampu menghentikan amarahku. Kulihat ayah mertua hanya tertegun. Selanjutnya, kualihkan pandangan kepada mama mertua.

“Mama, tahukah betapa beratnya sejak aku tinggal di rumah ayah dan mama mertua? Serasa di penjara! Aku tak bisa lagi menyusui Asa, semua gara-gara Mama yang terlalu menuntutku menjadi Ibu yang ideal versi Mama.”

Plak!

Tak kusangka. Tangan yang biasanya kucium sepulang kerja, mendarat di pipi kanan dengan kasar. Aku pun jatuh terduduk, pipiku memerah … sakit. Namun, ini tak sebanding dengan sakitnya hatiku. Tidak apa, aku sangat puas menumpahkan seluruh sampah emosi ini. Butir bening terus mengalir. Aku memilih berdiri dan menjauh dari ICU. Tak hentinya aku merutuki diri sendiri. Aku berada di titik terendah.

Siapa sangka Mas Bima menyerah atas keadaan Asa. Setelah Asa keluar dari rumah sakit, Mas Bima memutuskan untuk memulangkan aku dan Asa ke rumah orang tua di Jawa. Tak kusangka Mas Bima setega itu. Aku tidak yakin karena kejadian di depan ICU tempo hari, mungkin itu hanya dijadikan alasan untuk menutupi penolakannya terhadap Asa.

Sedikit lega, ada hikmah dalam setiap kejadian. Asa membuatku kembali ke pangkuan orang tua, setelah sekian lama tertekan. Darinya aku belajar, bahwa kita dapat mengetahui mana orang yang tulus dan tidak. Semakin aku mengingat akan penolakan Mas Bima, semakin aku yakin dan percaya bahwa aku bisa membuat Asa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Walaupun sekelebat terlintas di benakku, bagaimana nanti dia sekolah? Bagaimana jika nanti dia tak mempunyai teman? Bagaimana masa depannya nanti? Namun tidak ada waktu untuk itu, kini saatnya aku harus fokus pada kesehatan dan tumbuh kembang Asa, berbekal menjadi reseller buku dan produk edukasi.

***

Fisik Asa semakin terlihat bahwa dia terkena DS, wajah yang khas, tulang hidung rata dan telinga yang kecil. Aku pun menyadari ada celah antara jari kaki pertama dan kedua, lidahnya pun sedikit terjulur. Inginku menyangkal, tetapi apa daya, aku tak punya pilihan selain menerimanya. Di sisi lain, perkembangan Asa semakin membaik, bahkan perkembangan motorik malaikat kecilku itu hampir seperti balita pada umumnya.

Di saat ibu lain mengeluh capek—harus mengikuti anaknya yang tidak bisa diam, suka berlarian—aku malah berharap Asa bisa berjalan. Fisioterapi terhadap Asa kulakukan secara teratur, meskipun biayanya cukup lumayan. Akan tetapi hasilnya cukup memuaskan. Asa bisa berjalan setelah fisioterapi selama 6 bulan. Ketika itu ia berusia 20 bulan. Setelah itu Asa lanjut ke terapi bicara. Di tempat fisioterapi inilah, aku bertemu dengan founder Komunitas Worlds Malang, yaitu para orang tua yang memiliki anak DS di wilayah Malang. Di sana kami bisa saling bertukar info, saling menyemangati dan menguatkan. Aku bersyukur dipertemukan dengan mereka, nyinyiran dan julukan “idiot” dari tetangga untuk Asa tidak membuatku merasa tertekan sedikit pun. Aku hanya membalas dengan doa yang terbaik untuk Asa.

Aku juga tak berharap Mas Bima akan menjemput kami. Mendengar apapun tentangnya saja, aku tak ingin. Tak terasa butir bening dari sudut netraku menetes, mengingat perjalanan rumah tangga kami berakhir justru ketika buah hati lahir ke dunia. Tanpa kusadari, tangan malaikat kecilku yang kini berusia tiga tahun, mengusap air mata di pipiku dan memelukku erat, seakan menguatkan agar aku tidak bersedih lagi. Meskipun pandangannya tak bisa fokus, tetapi aku dapat merasakan tulusnya rasa cinta yang ia miliki.

Semakin kesini, aku menyadari bahwa bagaimanapun kondisi anak, mereka adalah anugerah. Ada pesan cinta-Nya yang ingin disampaikan melalui Asa. Tuhan menitipkan Asa kepadaku, bukan kepada orang lain, itu artinya Tuhan percaya bahwa aku mampu menjaga dan merawatnya. Bukankah sudah jelas termaktub dalam kitab suci, bahwa Dia tidak akan memberi suatu ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Asa memang memiliki ekstra kromosom, itulah yang membuat dirinya sangat spesial, kromosom itu adalah kromoson cinta. For me, Extra chromosomes means Extra Loves. Terima kasih Asa-ku atas cinta ekstramu. (*)

 

Ken Lazuardy. Perempuan kelahiran November 1990 di Pasuruan, Jawa Timur ini  mencoba menekuni dunia kepenulisan pada bulan Oktober 2019 dengan mengikuti sebuah kelas menulis online. Masih dan akan terus belajar di berbagai grup kepenulisan, salah satunya di Kelas Menulis Loker Kata. Jika ingin berkenalan lebih lanjut, silakan berkunjung ke akun sosial medianya, WA: 082234570275, IG : ken_lazuardy, Facebook : ken_lazuardy.

Editor : Nuke Soeprijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply