Bukti Keikhlasan
Oleh: Deviana Ginting
“Besok aku akan kembali ke Batam,” tutur suamiku sesaat setelah kami selesai makan malam.
“Oh,” ucapku pasrah sambil menyeruput sisa minumanku. Tak mungkin menahannya lebih lama, walaupun hati kecilku ingin dirinya menetap untuk beberapa hari lagi di sini.
Fakhri, bayi kecil berusia satu bulan yang ada dalam ayunan menggeliat, begitu mendengar pernyataan sang ayah. Mungkin, ia juga merasakan apa yang sedang aku rasakan. Tak rela jika ditinggalkan oleh ayahnya.
Namun, ini ketentuan yang harus aku hadapi walaupun kenyataannya hati kecilku belum mampu untuk ikhlas menerima. Akan tetapi, sebisa mungkin aku berusaha untuk tegar menjalani.
“Insyaa Allah, sebelum lebaran, kita bisa berkumpul lagi,” ucapnya sambil tersenyum, seolah mengerti apa yang tengah aku risaukan.
Sebenarnya bukan risau, hanya ingin dimengerti untuk saat ini. Satu bulan yang lalu, aku berjuang sendiri melahirkan darah dagingnya, buah hati kami tanpa ada dia di sisi, karena pada saat itu jadwalnya bukan denganku melainkan dengan kakak maduku. Seorang anak yang telah ia tunggu kehadirannya kini telah hadir di keluarga besar Sanjaya melalui rahimku, wanita kedua dalam hidup seorang Bagus Sanjaya.
“Tapi, kan, jadwal Abang bukan denganku.” Kucoba untuk mengingatkannya dan tak ingin berharap lebih. Barangkali dia lupa atau hanya sekedar ingin menghibur hatiku saja.
“Nanti kita lebaran bersama di sini.” Dibelainya rambut panjangku sambil tersenyum, seolah berkata semua akan baik-baik saja. Diperlakukan manis begini, membuat perasaanku tak menentu. Serasa beribu kupu-kupu menggelitik di perut. Apa aku sudah jatuh cinta padanya?
***
Menjadi yang kedua, mungkin sesuatu yang dihindari oleh semua wanita. Namun, jika takdir telah menuliskan bahwa aku akan mengalaminya, apa yang harus diperbuat?
Pandemi yang melanda negeri ini adalah salah satu penyebab aku menjadi yang kedua. Mau bagaimana lagi, sebagai seorang anak yang berbakti, tak mungkin menolak permintaan Bapak dan Mamak. Demi bisa melunasi hutang mereka, karena usaha yang harus gulung tikar. Aku yang masih ingin melanjutkan sekolah yang tinggi harus menerima kenyataan, menikah di usia dua puluh tahun dan menjadi istri kedua dari sang pengusaha sukses.
Beruntung dan bersyukur. Lelaki yang menjadikanku istri kedua adalah orang yang baik iman dan amalnya. Dia juga terpaksa melakukannya, karena Kak Hani, kakak maduku, belum bisa memberinya keturunan di sepuluh tahun usia pernikahan mereka.
“Kalau gak bisa lebaran di sini, gak papa, kok,” ucapku ketika melepas kepergian dirinya. Walaupun dalam lubuk hati yang terdalam aku ingin dia tetap di sisi, tetapi aku tak mungkin menahannya lebih lama di sini.
Jadilah, malam ini aku dan bayi mungilku tinggal berdua di kamar ini, karena setelah menikah, aku dibelikan hunian yang jauh dari rumah orang tuaku. Maklum, sebagai yang kedua aku harus bisa berlapang dada dan menjauh dari keramaian. Bulan Ramadan yang seharusnya menjadi bulan yang mengeratkan kekeluargaan, kini kujalani dengan kesepian.
Walaupun masih ada Fakhri dan seorang asisten rumah tangga yang menemani, tetapi aku masih merasakan kesepian. Sepi yang berujung pada rasa pilu. Berada jauh dari keluarga dan suami yang seharusnya membersamai, membuat hati dirundung rindu. Mengapa rasa ini begitu menyiksa?
***
“Assalamualaikum.”
Aku baru meletakkan Fakhri ke boks bayi ketika mendengar suara salam dari luar. Kuintip dari balik jendela siapa yang datang. Hati berbunga sampai tak terasa menyunggingkan bibir ketika melihat seseorang yang telah beberapa minggu ini mengusik mimpi. Ah, ternyata aku telah mencintainya. Mencintai ayah dari anakku, wajar, ‘kan?
“Waalaikumsalaam. Abang … silahkan ma–” Ucapanku terjeda ketika melihat sesosok wanita berhijab panjang yang menyembul dari balik punggung suamiku sambil tersenyum.
Seketika aku teringat dengan kata-kataku sebelum dijadikan yang kedua. “Jika memang Kak Hani ikhlas, tolong pertemukan kami berdua,” ucapku kepada calon suamiku waktu itu.
Alhamdulilah, akhirnya pembuktian keikhlasan Kak Hani kudapatkan hari ini. Sehari sebelum hari Raya Idul Fitri.
Semoga di hari kemenangan ini, juga menjadi kemenangan hati bagi kita berdua. Aku dan Kak Hani. (*)
Deviana Ginting, ibu rumah tangga yang hobi membaca. Sekarang sedang belajar dunia tulis menulis, berharap tulisannya dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com