Bukan Tulang Rusuk
Oleh: Widi Lestari
Delina mengetuk-ngetuk pena di atas meja. Kali ini pikirannya buntu gara-gara ucapan mamanya tempo hari. Isi kepalanya dijejali bermacam-macam dugaan buruk, padahal ia harus fokus menyelesaikan rancangan untuk mal besar yang akan dibangun. Belum lagi me-review proyek apartemen mewah dan harus submit besok pagi.
Berkali-kali Delina mengatur pernapasan agar rileks. Dia menggeleng pelan, berharap mamanya tidak mendesak lagi sampai dirinya benar-benar siap menikah.
Delina, 29 tahun, lulusan arsitektur di kota Bandung. Iris cokelatnya selalu berbinar setiap rancangan disetujui. Bibir tipis yang suka dipoles lipstik merah terang akan tersenyum senang. Cantik saja tidak cukup menggambarkan Delina, tetapi otaknya juga cemerlang menghasilkan ide-ide segar untuk setiap rancangannya.
Daripada pikirannya seperti benang kusut, Delina membereskan kertas-kertas di meja dan memilih turun ke lantai dasar, berbelok ke coffe shop untuk menyesap satu cangkir kopi hangat serta menikmati lembutnya sepotong chesse cake. Dia melirik jam di pergelangan tangan, lima belas menit lagi jam istirahat. Tidak ada salahnya turun lebih dahulu daripada pikiran makin semrawut.
Menikah dengan orang asing? Delina merasa itu konyol, seperti novel-novel yang sering ditulis Erica, sahabatnya. Seumur-umur Delina tidak percaya kalau ending-nya akan se-happy di novel.
Saat ini Delina sudah duduk di meja pojok. Sendirian. Satu cangkir espresso dan satu potong cake ada di hadapannya. Dia memang terbiasa menikmati waktu istirahat sendiri kalau pacarnya yang bekerja satu gedung terlalu sibuk.
Setibanya jam istirahat, meja-meja di coffe shop terisi. Sebagian memilih mencari secangkir kopi, sebagian karyawan pasti melesat ke kantin untuk mengganjal perut.
“Sendirian?”
Delina mengangkat wajah, lalu tersenyum mendapati sosok berpakaian rapi dengan kemeja biru dongker serta dasi yang tersampir ke bahu sedang menarik kursi di depannya. Dia adalah Reyhan, atasan sekaligus pacarnya.
“Kusut banget,” lanjut Reyhan disertai tawa seperti biasa.
Delina tersenyum pahit, dia menyesap lagi kopinya hingga tersisa setengah. Kalau diingat, memang Delina bukan jomlo tidak laku. Dia memiliki Reyhan, pria yang hampir lima tahun menjalani hubungan diam-diam dari orang tuanya. Alasannya rumit dan tidak bisa ditoleransi.
Keluarga Delina muslim taat, ayahnya seorang guru mengaji. Sementara keluarga Reyhan non muslim. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Delina jatuh hati pada kebaikan Reyhan.
“Mama bilang ada yang mau melamar, besok datang ke rumah.” Delina tidak suka basa-basi.
Mata bening Reyhan membesar. Ia terlihat terkejut, tetapi buru-buru bersikap tenang dan tidak dikuasai emosi. Satu lagi alasan Delina menyukai Reyhan, selain good looking juga good attitude.
“Kamu setuju?” tanya Reyhan lembut.
Delina mengangkat bahunya dan menyuap chesse cake ke mulut. Rasa yang tak pernah gagal membuatnya jatuh cinta dari suapan pertama.
“Apa kamu mau hubungan kita selesai?” tanya Reyhan hati-hati.
Seketika selera makan Delina lenyap, bahkan makanan yang baru saja masuk seakan-akan tercekat di tenggorokan. Ia meletakkan garpu dengan kasar, sehingga menimbulkan bunyi saat beradu piring. Matanya sudah memerah dan ingin sekali menimpuk kepala di hadapannya kalau tidak mengingat sopan santun yang ditanamkan sejak kecil. Lima tahun bersama-sama, dan Reyhan ringan sekali membahas perpisahan seakan-akan hanya membicarakan menu makan malam nanti.
“Delina, aku mencintaimu. Tapi kita sama-sama paham, hubungan kita sulit direstui. Orang tua kamu menginginkan menantu muslim, sedangkan aku tidak mungkin pindah keyakinan.”
“Kenapa tidak dicoba?” Delina menatap tajam. Kali ini otaknya tidak bisa berpikir jernih, dia hanya mau menikah dengan pacarnya.
Reyhan menarik napas panjang, dia mengabaikan capuccino pesanannya yang baru diantar ke meja. “Aku tahu orang tua kamu tidak akan sembarang memilih calon menantu. Mungkin saatnya kamu berbakti.”
Mendengar jawaban Reyhan, Delina menggeleng tidak percaya. Kalau tahu akan sama-sama melepaskan, kenapa harus bertahan lima tahun? Padahal selama ini Reyhan berjanji akan berjuang mendapatkan restu orang tuanya.
“Aku tidak kenal dia, Reyhan!”
Kali ini suara Delina meninggi, tetapi Reyhan masih tersenyum dan menatap kekasihnya lembut.
“Orang tuamu kenal, bukankah taaruf memang kemauan kamu?”
Untuk sesaat Delina memalingkan wajah ke arah lain. Dia terdiam, mengingat lagi mimpinya dahulu sebelum nekat menjalani hubungan diam-diam. Delina pernah menginginkan pernikahan lewat jalan yang diridai, seperti kedua kakak perempuannya.
“Kenapa baru sekarang?” Suara Delina melemah, mata beningnya berkaca-kaca saat kembali menatap kekasihnya.
Dahulu sekali, dia bertekad tidak akan pacaran, sampai Reyhan datang ke hidupnya dan membuat dirinya goyah. Delina sadar kalau pesona dan segala kebaikan Reyhan adalah ujian terberat. Akhirnya ia kalah oleh perasaan yang kian bertumbuh setiap hari.
Reyhan hanya diam. Dia juga tidak menyesap capuccino di hadapannya.
“Jawab!” Delina menuntut. “Bukankah banyak orang berbeda keyakinan akhirnya bersatu?”
Reyhan mengangguk, ia membenarkan ucapan perempuan yang pernah berada di urutan pertama prioritasnya.
“Aku tahu, tapi kita beda. Aku tidak mungkin berpindah keyakinan dan menjadi mualaf, kamu juga sama.”
Delina tersenyum getir, masalah begini sudah dibahas dari awal, tetapi belum pernah ada kesepakatan pisah, masih sama-sama berusaha mempertahankan hubungan dan jujur pada keluarga saat waktunya tiba.
“Apa ada alasan lain?”
Reyhan mengangguk lemah. “Karena kamu sudah menemukan calon suami seiman, aku juga sama sebentar lagi menikah dengan teman kecilku, sama-sama non muslim.”
***
Bionarasi:
Widi Lestari, perempuan kelahiran Kebumen yang sedang belajar menulis.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: Pinterest