Berubah
Oleh : Tina S.
Lampu panggung dimatikan menyambut kata akhir pembawa acara yang memanggil sebuah nama dengan antusias. Detik berikutnya menjadi detik terpanjang bagi penonton yang duduk dalam hening. Mata mereka menolak beranjak dari kemegahan panggung yang kini menggelap. Tidak ada suara berbisik terdengar, bahkan desahan napas pun tidak berjejak. Tiba-tiba mereka seperti berhenti menghirup dan mengembuskan udara.
Suara lampu sorot yang terbuka dan menyemburkan semburat kemilau akhirnya memecahkan keheningan. Sosok wanita bergaun putih berhiaskan batu Swarovski telah berdiri anggun di tengah cahaya lampu. Matanya tajam menatap ke depan. Sebaris senyum terukir indah di wajahnya. Rambut panjang hitam legam yang dibiarkan terurai juga membiaskan pendar-pendar lampu sorot. Penonton terhipnotis.
Alunan musik orkestra mulai terdengar merdu mendayu dari sisi kiri panggung. Wanita itu mengangguk pelan dan memulai pertunjukan memperdengarkan kemerduan suaranya. Penonton terpaku hingga alunan lagu pertama selesai. Gemuruh tepuk tangan memecah kemegahan gedung pertunjukan terbesar di Kota Manhattan. Sementara sang diva hanya tersenyum bangga dan bersiap untuk lagu kedua.
Malam itu adalah konser tunggal Godehyda, seorang diva yang namanya sedang menjadi buah bibir kaum bangsawan kota. Suara sopran yang memikat setara dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Dia nyaris sempurna di mata orang-orang yang mengagumi talenta dan anugerah yang dia miliki.
Pada barisan penonton seorang laki-laki muda tersenyum kecut menatap Godehyda beraksi di atas panggung. Meski hanya berdiri sembari bernyanyi, penonton lain terpesona, tapi tidak dengan Grissham. Garis bibirnya melukis sinis.
Alunan musik membawa Grissham ke sebuah ruangan yang hanya diisi sebuah piano. Grissham menekan tuts-tuts memainkan nada merdu. Dia sedang terhanyut menikmati permainannya sendiri ketika tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Seorang gadis menghambur masuk menghampiri.
“Grissham, Grissham, akhirnya …. “ Gadis itu mencengkeram bahu Grissham dan menggoyang tubuhnya bersemangat.
“Ada apa? Kau terlihat begitu gembira.”
“Ya … akhirnya, Grissham, mimpiku menjadi diva ternama akan segera terwujud. Aku berhasil.”
“Kita lolos audisi itu?”
“Bukan kita, tapi aku. AKU, Grissham!”
“Maksudmu?” Grissham mengernyitkan dahi. Dua minggu lalu mereka mengikuti audisi ajang pencarian bakat. Mereka adalah peserta di kategori duet sepasang kekasih. Grissham bermain piano dan Godehyda bernyanyi. Mereka membawakan lagu ciptaan Grissham. Lagu yang bercerita tentang perjalanan cinta dan cita mereka selama delapan tahun. Berdua mengejar impian untuk menjadi musisi yang diakui di kota Manhattan. Bermusik dari panggung ke panggung, dari satu kafe ke kafe lain untuk menyalurkan bakat dan mencari uang untuk hidup mereka kerjakan. Meski hasilnya tidak seberapa, tapi mereka bahagia. Berbagai audisi diikuti. Meski belum juga menunjukkan hasil mereka berdua tidak menyerah.
Grissham dan Godehyda menyewa sebuah ruangan apartemen sempit dan murah demi menghemat supaya mereka punya cukup uang menyewa tempat latihan bermusik.
Ada beberapa kali Grissham ingin menyerah. Meninggalkan dunia musik dan mencari pekerjaan lain. Namun, dengan penuh kasih sayang Godehyda menyemangati. Mengatakan bahwa kata menyerah tidak boleh ada dalam kamus hidup mereka.
“Iya, Sayang. Panitia mengatakan bahwa hanya aku yang berhasil maju ke babak berikutnya.”
“Bagaimana dengan aku?”
“Mereka hanya berpesan bahwa kau harus lebih banyak berlatih.” Godehyda melepaskan cengkeraman tangannya.
“Benarkah yang kau katakan itu? Kau sedang bercanda, kan?” Grissham menatap kekasihnya itu tidak percaya.
“Tidak, Sayang. Mana mungkin aku bercanda untuk masalah masa depan seperti ini. Mereka bilang jika aku mau lanjut, aku harus tampil solo.”
“Lalu kau menerima tawaran itu?”
“Tentu saja, Sayang. Ini adalah impian kita.”
“Bukan kita. Bukan kita yang maju bersama.”
“Well … setidaknya kalau aku sudah terkenal aku bisa menjadikanmu pemain piano intiku.”
Grissham menarik napas panjang. Pernah di audisi keberapa mereka dulu, kejadian yang sama terjadi. Bedanya, Grissham sendirilah yang lolos dan diminta panitia untuk maju sendirian. Hanya karena besarnya cinta Grissham ke Godehyda, dia menolak tawaran itu meski Godehyda mengatakan dia akan tetap mendukung Grissham. Dia yakin, mereka mengawali mimpi itu bersama-sama maka harus sampai puncak bersama juga.
“Aku tidak yakin kau masih akan mengingatku setelah terkenal?”
“Apa yang kau katakan? Aku akan tetap menjadi kekasihmu apa pun yang terjadi. Aku membutuhkan dukunganmu.” Godehyda memegang kedua tangannya meyakinkan. “Kau tahu, panitia setuju aku membawakan lagu ciptaanmu nanti jika aku berhasil maju ke babak final. Lagu yang akan selalu mengingatkan akan cinta kita.”
Grissham menatap tajam mata wanitanya, mencoba menyusuri hatinya mencari kebenaran di kata-kata itu.
Demikianlah Godehyda maju melewati babak demi babak. Seiring waktu berjalan kabar dari Godehyda untuk Grissham pun menghilang. Meski pria itu dengan sangat bersemangat mendukung selama pertandingan berlangsung.
Puncaknya, malam final yang menyisakan Godehyda dengan satu kontestan lain, wanita itu memenuhi janjinya membawakan lagu ciptaan Grissham. Karya yang akhirnya membawa dia menjadi juara. Betapa bangganya pria itu hingga dengan penuh antusias dia nekat menemui pacarnya di belakang panggung.
“Grissham, kita harus putus. Wartawan tidak boleh tahu kalau aku berpacaran. Itu akan menghambat karierku,” tegas Godehyda, menampar rasa yang sedang berbunga-bunga di dada Grissham. Godehyda berlalu pergi tanpa sedetik pun menoleh lagi.
Keesokan harinya Grissham semakin yakin bahwa itu adalah awal dari dia harus melupakan wanita yang pernah dia cintai ketika pada siaran langsung wawancara Godehyda sebagai pemenang di salah satu stasiun TV, dengan penuh kebanggaan wanita itu mengatakan bahwa lagu yang dibawakannya adalah lagu ciptaannya sendiri. Wanita itu sama sekali tidak mengakui keberadaan Grissham. Kecewa, marah, patah hati, dan dongkol menyerang Grissham. Dilemparnya remote TV ke sembarang arah dengan kasar. Berteriak dia membuat janji, “Akan aku buktikan, kau bukan satu-satunya yang bisa sampai puncak.”
Sementara Godehyda menapaki tangga kariernya, Grissham berusaha mati-matian menyebarluaskan rekaman permainan pianonya ke berbagai rumah produksi. Hingga akhirnya usaha itu tidak sia-sia. Suatu ketika salah satu rumah produksi itu menghubunginya dan menjadikan permainan pianonya sebagai soundtrack sebuah film. Dia juga dipercaya untuk mengisi semua musik yang ada di film itu.
Film yang laku keras di pasaran ikut melambungkan nama Grissham. Kini, dia menjadi salah satu musisi pendatang baru yang diakui di kota itu seiring dengan Godehyda yang telah lebih dulu berada di puncak ketenaran.
Malam ini Grissham sengaja datang ke konser tunggal Godehyda untuk menyaksikan pertunjukkan mantan kekasihnya. Dia ingin melihat ekspresi apa yang terukir di wajah wanita itu ketika membawakan lagu ciptaannya yang diakui sebagai karya Godehyda sendiri.
Wanita itu telah menjadi sosok yang mengerikan di mata Grisham. Wajah cantiknya hanya dipenuhi aura kesombongan dan keangkuhan. Grisham sama sekali tidak menemukan wajah yang dulu pernah sangat dicintainya. Ketenaran telah melenyapkan Godehyda yang dikenal Grisham.
Maka yakinlah Grisham bahwa dia akan mengubur kenangan mereka dulu dan sakit hati yang lama dia pelihara. Dia tidak ingin mengenal wanita yang sekarang ada di atas panggung itu. (*)
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata