Perempuan di Tepi Danau
Oleh : Jeevita Ginting
Sedikit-banyak aku agaknya tahu tentangnya dari apa yang kulihat. Perempuan berambut acak-acakan dengan riasan yang terlalu berlebihan. Ia sangat gemar berdiri di tepian danau selepas azan Ashar berkumandang, hanya diam berdiri lalu beranjak pergi setelah kurang lebih dua puluh menitan.
Awalnya kukira ia perempuan gila—bukankah sudah kukatakan bahwa rambutnya acak-acakan dan riasannya berlebihan. Tapi prasangkaku mendadak luruh ketika melihatnya menolong seekor burung kecil yang jatuh dari pohon di dekat sana—dan untuk itulah pertama kalinya aku melihat ia melakukan hal lain selain berdiri dan diam.
Setelahnya aku mulai terus memperhatikan ia setiap sore. Hingga makin lama aku malah semakin penasaran, dan memutuskan untuk mendekatinya. Seperti orang bodoh, hal pertama yang kuucapkan saat bertemu dengannya adalah menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Padahal sudah jelas ia hanya sedang berdiri, kan? Ah, aku tak yakin setelah ini ikatan di antara kami akan terjalin baik. Tunggu dulu, ikatan? Apakah pikiranku terlalu jauh mengelana tentangnya? Sudah … lupakan, akan kuanggap semua ini mimpi. Ya, perempuan ini hanya mimpi yang menemaniku ketika aku tertidur di bawah pohon di tepi danau setelah azan Ashar berkumandang.
Aku benar-benar terkejut setelah daun kering terbawa embusan angin lalu tertiup ke mukaku. Dan mengejutkannya lagi, kepalaku sampai terbentur batang pohon tempatku bersandar, dengan perempuan itu berdiri tepat di hadapanku sambil memandangiku terus-menerus. Aku merasa kelabakan dengan tingkahnya yang seperti ini.
“Mengapa kamu tidur di sini?” tanyanya dengan suara yang begitu terdengar jelas. Ah, apakah kami sudah sedekat itu hingga ia bertanya demikian? Kupikir pertemuan kami sebelumnya hanyalah mimpi.
“Aku selalu melihatmu tertidur di sini sendirian. Sungguh, aku sangat penasaran. Dan maaf jika sikapku tidak sopan karena membangunkanmu tiba-tiba.”
Aku masih terbengong. Benarkah ia juga memperhatikanku selama ini seperti aku memperhatikannya?
Seperti seorang yang terbangun tiba-tiba di tengah malam karena mimpi buruk, mulutku terasa pahit dan kelu. Sulit untuk mengatur kata-kata yang akan kulontarkan segera. Sepertinya aku perlu meneguk air terlebih dulu untuk memulai obrolan dengannya.
Wajahnya tak menunjukan ekspresi apa pun. Ia lantas pergi begitu saja dan tak lagi mengucapkan apa pun. Mungkin karena aku hanya diam, sama sekali tak menanggapinya. Namun tanpa kuperintahkan, tanganku tiba-tiba menarik roknya hingga tersibak, tentu saja celana dalamnya sampai terlihat olehku. Saat aku sedikit mendongak, mukanya memerah entah karena marah atau malu, tapi bisa saja karena keduanya. Jujur saja, aku tak sengaja melakukannya dan saat aku coba menjelaskan, ia keburu pergi.
Aku langsung bangkit mengejar, dan menghadang jalannya.
“Apa maumu!” hardiknya sambil membuang muka. Sepertinya ia benar-benar marah.
Ayolah, mengapa ia enggan melihatku seperti ini. Aku kembali mencoba menjelaskan, tapi ia tetap tak acuh. Mungkin seharusnya aku tak mencegatnya dan membiarkan ia pergi. Menganggap apa yang terjadi tadi hanyalah mimpi, mimpi yang tetap menemaniku saat aku tertidur di bawah pohon setelah azan Ashar berkumandang. Tapi mau bagaimanapun ini bukan mimpi, aku bisa merasakan desiran aneh di dada saat menatap mukanya yang penuh riasan berlebih itu.
“Dasar mesum!” selorohnya tiba-tiba.
Aku mesum? Bagaimana mungkin. Tentu saja aku membela diri, sudah kukatakan bahwa aku tak sengaja menyibak roknya, tetapi ia malah semakin mengatai aku mesum.
Baiklah, aku memutuskan untuk bersiul di hadapannya. Terus bersiul seperti ini sambil tetap mencegat jalannya saat ia berusaha menghindar. Akhirnya ia mulai tak sabar, dan mengalihkan pandangan padaku. Desiran itu kembali terasa saat mata kami bertemu. Dan aku merasakan sesuatu yang aneh di balik celanaku.
“Kau memang lelaki mesum,” cetusnya lagi tanpa memandangku. Ia tertawa kecil, entah menertawakan apa, tapi saat matanya tertunduk ke celanaku yang kini terlihat menonjol aku cepat-cepat memalingkan wajah lantas berdeham.
“Aku ingin berpura-pura tak melihat apapun, tapi aku melihatnya. Kau ini memang seorang mesum, jadi apa maumu sekarang?”
Kata-katanya cukup membuatku jadi semakin kikuk. Tak ada lagi cerita yang dapat kubagi agar bisa bersamanya lebih lama lagi. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat ia berdiri di tepian danau, dan ia membiarkanku mengikutinya.
Aku kembali bersiul, sedang ia hanya berdiri tanpa melakukan apa pun. Desiran di dadaku juga sesuatu yang aneh di balik celanaku masih ada. Suasana di sekitar sini terasa sangat kaku.
Jadi, pada akhirnya aku memutuskan untuk memulai pembicaraan. Pembicaraan konyol tentu saja. Aku menanyakan perihal bagaimana mungkin para pandai besi yang sudah tua mampu menempa logam-logam besi menggunakan tangannya yang sudah gemetaran. Ia memandangku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, yang jelas aku kembali kikuk karenanya. Sudah jelas, pertanyaanku barusan benar-benar tidak masuk akal.
“Tentu saja karena meski sudah tua, tenaga mereka masih kuat melakukannya. Bukankah mereka sudah terbiasa menempa besi? Sekarang aku yang ingin balik bertanya. Mengapa seorang pemuda sepertimu bisa bertindak mesum seperti tadi? Ataukah selama ini kau memang diam-diam memperhatikanku bersama pikiran-pikiran jorok di dalam kepalamu itu?”
Ah, ia kembali berucap demikian. Apakah lelaki mesum benar-benar kesan pertama yang ia dapatkan dariku? Aku tidak tahu kenapa desiran itu terasa di dadaku, atau kenapa sesuatu di balik celanaku terasa aneh saat menyentuhnya tadi. Yang kutahu, aku hanya penasaran dan ingin terus memandangnya lebih lama.
“Kau benar-benar mesum,” cibirnya lagi untuk yang kesekian kali. Ia lantas beranjak, sudah lebih dari dua puluh menit ia berada disini. Kurasa ia akan pergi sekarang. “Kuharap besok kita tak akan bertemu lagi,” tambahnya.
Aku tak merasa sedih atau bahkan marah ketika ia mengucapkan itu, karena kami memang tak saling berhubungan. Tapi aku berharap ia bisa menganggap tak terjadi apa-apa di antara kami hingga kami tetap bisa saling memperhatikan seperti biasa: aku memperhatikannya di bawah pohon yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri di tepian danau, dengan ia yang mungkin mencuri-curi pandang ketika aku tertidur pulas di bawah pohon. (*)
Nagrak, 17 April 2021.
Jeevita. Perempuan berdarah jawa, lahir di bulan Februari. Bertempat tinggal di Batang, Jawa Tengah, sudah sejak kecil gemar membaca. Mimpinya memiliki buku solo yang terpajang di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia. Penulis biasa aktif di sosial media Facebook bernama Jeje, dan Instagram @Jeevita_21.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata