Tempat Terbaik
Oleh : Cokelat
Sudah beberapa hari ini aku pindah. Dari atas meja di sebuah los pasar yang sempit, gelap, dan pengap ke dalam laci lemari jati di rumah mewah berlantai dua. Pemilikku kini seorang lelaki tampan berambut sebahu.
Saat pertama kali membawaku ke sini, dia langsung mengelap seluruh tubuhku, setiap inci tanpa terlewati. Setelah itu, dia membungkusku dengan rapi dan menyimpanku ke dalam laci lemari pakaiannya.
Tadi pagi, untuk pertama kalinya sejak aku dimasukkan ke dalam laci, lelaki itu mengeluarkanku. Dia membuka kain pembungkus, lalu mengelus-elus tubuhku secara perlahan. Dia menghentikan gerakan tangannya ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar kamar. Lelaki itu melepaskanku dan menutup kedua telinganya.
Teriakan itu kembali terdengar. Persis seperti yang kudengar saat pertama kali tiba di rumah ini. Teriakan seorang wanita yang melolong kesakitan.
“Cukup!” Pemilikku berteriak, sambil matanya nyalang menatapku yang tergeletak di atas ranjang. Dia meraihku dan berjalan cepat ke arah pintu. Ketika tangan kanannya hendak memutar hendel pintu, tiba-tiba suara-suara teriakan itu berhenti.
Suasana seketika hening. Lelaki pemilikku menghentikan gerakan tangannya lalu menempelkan telinga kanannya ke daun pintu. Setelah beberapa saat, dia berbalik dan kembali duduk di ranjang. Sambil menarik napas panjang, lelaki itu membungkusku dengan rapi dan kembali memasukkanku ke dalam laci.
Entah berapa lama aku tersimpan. Di dalam laci sangat gelap, aku bahkan tak tahu pergantian hari. Tidak seperti saat masih tergeletak di atas meja di los pasar, jangankan hari, aku juga tahu pergantian jam. Pemilikku saat itu menggantung jam dinding besar di tembok samping meja tempat aku dan teman-temanku dipajang.
Aku mulai bertanya-tanya, ke mana lelaki tampan pemilikku itu? Jangan-jangan dia lupa kalau pernah membeli dan menyimpanku di sini. Atau dia sudah membeli sesuatu yang baru, yang mirip denganku? Aku bisa apa jika itu memang terjadi. Hanya bisa berharap, seseorang menemukanku dan mengeluarkan aku dari sini.
Untuk pertama kalinya, aku menyesal telah berpindah tangan dari pemilikku yang lama. Aku merindukan suasana los pasar yang sempit, gelap, pengap, dan berbau, namun ramai dan penuh keceriaan. Aku rindu teman-temanku. Apakah mereka semua masih di sana? Atau, jangan-jangan sudah ada yang terjual seperti aku. Semoga tidak ada yang berakhir menyedihkan seperti diriku, terbungkus rapi di dalam laci lemari kayu jati yang kokoh. Terperangkap dalam kesunyian yang panjang.
Aku benar-benar tidak tahu sudah berapa lama aku tersimpan, ketika suatu hari ada yang mengeluarkanku dari laci. Ternyata lelaki tampan itu. Dia buru-buru membuka pembungkusku dan mengelap tubuhku. Setelah itu, dia membawaku ke luar dari kamar.
Kami menuju ke arah teriakan yang terdengar. Ya, sejak dia mengeluarkanku dari lemari, aku kembali mendengar teriakan yang menyayat hati.
Lelaki pemilikku mendobrak pintu di depannya. Ketika pintu terbuka, di dalam ada seorang lelaki yang sedang berdiri sembari memegang cambuk. Di lantai dekat kakinya, seorang wanita tersungkur dengan pakaian yang robek di beberapa bagian. Wanita itu kelihatan begitu menyedihkan. Rambutnya berantakan, wajahnya lebam dan air matanya berlinangan. Dari pakaiannya yang sobek, terlihat jelas kulit putihnya yang berdarah-darah. Itu pasti bekas cambukan.
“Apa yang kau lakukan di sini? Keluar!” Lelaki yang memegang cambuk berteriak ke arah lelaki pemilikku.
Lelaki tampan itu tidak peduli. Dia tetap bergerak maju. Lalu, tanpa mengatakan sepatah kata pun, tiba-tiba pemilikku itu menghunuskan aku ke dada kiri lelaki pemegang cambuk. Aku sangat kaget dengan apa yang terjadi. Begitu cepat dan tiba-tiba. Lelaki pemegang cambuk tersungkur. Menggelepar sebentar, lalu diam tak bergerak. Aku merasa hangat. Ada sesuatu yang mengalir di sekitarku.
Sekarang, aku kembali berpindah tempat. Aku bersyukur akhirnya bisa meninggalkan laci sempit yang gelap dalam lemari kayu jati. Di tempatku yang baru ini sangat ramai. Ada banyak barang-barang. Walau tak sejenis, kami bersama-sama ditempatkan di rak yang berderet-deret. Aku juga diberi nomor, entah untuk apa.
Setidaknya, di sini jauh lebih baik dari los pasar, apalagi laci lemari. Tidak … bukan jauh lebih baik. Tapi, inilah tempat terbaik untukku. Entah ini di mana. Yang aku ingat saat pertama kali di bawa ke sini, ada papan besar di depan bangunan ini bertulisakan “Kantor Polisi”.(*)
Kamar Cokelat, 4 April 2021
Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.
Editor : Uzwah Anna