Dua Garis Merah

Dua Garis Merah

Dua Garis Merah
Oleh: Cahaya Fadillah

Suasana kampung itu tampak lengang, tidak ada siapa pun yang tampak di sana. Di balik pohon rambutan terdengar bisik-bisik pelan memanggil nama Andini. Lalu, angin terdengar bertiup lebih kencang dari biasanya sehingga panggilan itu tidak terlalu terdengar.

Terik matahari mungkin membuat warga tidak mau keluar rumah, mengurung diri dan anak-anaknya di rumah, untuk sekadar tiduran di depan televisi atau mungkin saja tidur siang sambil menidurkan anak-ana mereka. Walau kenyataannya kebanyakan dari mereka lebih dahulu pulas dibandingkan anak-anak yang diwajibkan tidur siang dengan alasan pertumbuhan.

“Andini. Din.” Seorang lelaki berseragam abu-abu mulai mengetuk-ngetuk pintu kaca yang tertutup pohon rambutan yang berbuah lebat.

Tidak ada jawaban dari dalam jendela. Tidak lama, seorang gadis dengan seragam yang sama menyembulkan kepala di depan pintu rumah, melihat ke kiri dan kenan serta ujung gang yang tampak sepi, kemudian kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan rapat. Jendela di buka perlahan, ditahan sekuat tenaga agar si lelaki dapat masuk tanpa terluka oleh paku-paku yang menancap di sana. Begitulah pertemuan mereka. Terlalu disembunyikan dan sangat rahasia.

***

Seminggu setelah kejadian itu. Rumah bercat biru dipenuhi oleh warga kampung yang kini sudah ke luar rumah di siang yang terik demi penasaran atas peristiwa yang terjadi.

“Ada apa ini?” Bapak RT setempat datang hanya dengan mengenakan sarung yang motifnya nyaris luntur.

“Itu, Pak, Andini!” ujar salah satu warga menunjuk rumah berwarna biru itu dengan wajah merah padam.

“Bakar! Bakar saja!” Seorang bapak tua, penuh uban di kepalanya berseru lantang. Paling semangat, lupa usianya tidak lagi muda.

“Giring keliling kampung,” teriak perempuan muda dengan gincu merah menyala. Terlihat geram sambil meremas pagar rumah biru dengan sekuat tenaga.

“Gunduli saja, tidak berguna!” Suara pemuda bertopi hitam terdengar lantang, jelas ia tak kalah geram.

“Anak jalang tidak tahu aturan,” ujar ibu-ibu berdaster kumal meracau kesal.

“Tunggu. Ada apa ini?” tanya Pak RT yang baru datang dan mencoba menerobos kerumunan.

Semua warga tidak ada yang mau menjawab pertanyaan Pak RT. Namun, teriakan hinaan, makian dan rasa kesal semakin tersulut saat lelaki berseragam SMA keluar dengan tangan yang sudah terikat di belakang. Kata-kata tidak sopan, sampai menyebut-nyebut nama binatang terdengar jelas. Beberapa ibu yang membawa serta anaknya ke lokasi kejadian akhirnya balik kanan, masuk ke dalam rumah dan mengunci anak-anak mereka di dalam rumah, karena di luar tidak baik dipertontonkan dan dilihat oleh anak-anaknya.

Satu dua ibu masih cuek membiarkan anak merek menonton aksi protes terhadap rumah biru yang dianggap hina dan mencoreng nama baik kampung yang selama ini damai tanpa masalah.

“Ada apa ini!” ujar Pak RT yang kini berhasil berdiri di tengah keriuhan, persis di samping lelaki berseragam SMA dengan lebam di beberapa bagian wajahnya.

Suara teriakan kesal semakin menjadi-jadi. Ada yang melempari Pak RT dengan topi dan sendal yang ia kenakan sampai Andini keluar dengan wajah yang selalu menuduk dan air mata yang terus mengalir.

“Ini dia pelakunya, usir saja dari kampung ini!” teriak seorang ibu berseragam menunjuk-nunjuk Andini dengan geram.

Lain lagi yang dilakukan seorang ibu yang mengendong anaknya di sebelah kiri. Tangannya sibuk mencubit Andini dengan amarah dan berkata, “Wanita jalang, kau pantas dibakar hidup-hidup. Tak punya Tuhankah, sampai kamu berani berbuat semaumu?” tanyanya dengan lantang.

“Kamu cantik dan anak baik, Dini. Kenapa seperti ini?” Seorang ibu berkata lagi, kini tergugu menangis menatap gadis yang terlihat lugu itu tanpa menyentuhnya sedikit pun.

“Ibu-Ibu, Bapak-Bapak. Tolong dengarkan saya!” Teriak Pak RT pada akhirnya. Selaku yang dituakan di kampung itu, ia berhak mengetahui kejadian dan masalah yang terjadi di kampungnya.

Suara-suara tadi akhirnya meredup. Lalu, lelaki yang melempar topi ke arah Pak RT akhirnya buka suara.

“Mereka mengotori kampung kita, Pak. Andini, gadis itu berkali-kali membawa laki-laki kecil ini ke rumahnya dan berduaan di kamar saat tidak ada orang di rumah dan kampung tampak sepi!” Lelaki yang melempar topi tadi kini mendorong lelaki berseragam SMA itu hingga tersungkur mencium lantai.

“Sudah-sudah, kita semua juga salah. Tidak saling mengingatkan saudara kita di sini. Tidak perhatian atas apa yang terjadi,” ujar Pak RT mencoba menenangkan. Namun, teriakan “huuuu” yang panjang membuat Pak Rt harus menutup telinganya dengan kuat. “Maksud saya, Nak Andini tentu bersalah. Berbuat tidak baik dan mengotori kampung kita. Tapi, alangkah baiknya tidak mengomentari dan menghakimi seseorang atas dosa dan aibnya dengan begini. Tuhan punya cara lain untuk menghukum mereka,” ujar Pak RT menyambung kalimatnya.

“Tidak bisa begitu, Pak,” ujar bapak muda penjual es keliling masih dengan gerobak es krimnya. “Kita juga harus menghukum mereka, bikin malu saja. Ini juga pelajaran untuk anak-anak di kampung sini agar bersosial dengan baik dan menanamkan ilmu agama lebih untuk masa depan mereka,” sambungnya penuh emosi dengan memukul gerobaknya sendiri.

“Benar, tapi jangan mempermalukan mereka seperti saat ini. Tolong bawa mereka ke rumah saya,” ujar Pak RT meminta warga untuk membawa pasangan kecil itu ke rumahnya.

“Andini, ada apa ini? Kamu kenapa, Nak?” Seorang ibu tergopoh-gopoh masuk dalam kerumunan sambil mengangkat wajah Andini yang tidak berhenti menangis sejak tadi.

“Anak Ibu sudah belajar menanam benih sejak Ibu tidak di rumah. Makanya jangan hanya sibuk mencari uang, anaknya dijaga,” ujar seorang gadis muda mencoba memberi pendapatnya.

“Astagfirullah … apa yang kamu lakukan, Nak?” ujar Ibu Andini bersimbah air mata.

“Apalagi yang disesalkan, Bu? Andini kini sudah berbadan dua,” ujar seorang warga yang keluar dari rumah Andini membawa benda kecil dengan garis dua di tengahnya.

Sang ibu yang kini menangis tersedu, hilang keseimbangan, jatuh di lantai rumah di depan anaknya dan tutup usia detik itu juga. (*)

Cahaya Fadillah, perempuan keturunan Minang yang menetap bersama keluarga kecilnya di Pekanbaru-Riau. Ia menjadikan hobi menulis sebagai pengisi waktu disela kesibukan sebagai Istri dan Ibu.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply