Mela yang Malang
Oleh: Jemynarsyh
Seorang wanita berjalan lenggak-lenggok, riasan wajah menor dengan pakaian terbuka membuatnya begitu mencolok. Tak peduli pada sengatan mentari yang membakar kulit, ia terus melangkah, hingga tiba di penghujung jalan yang pada sisi kirinya terdapat bangunan bengkel tak berpenghuni.
Mela, nama gadis yang duduk di kursi panjang di depan bengkel itu. Setiap ada pemuda melintas, ia akan menyapa sembari tertawa. Begitulah kesehariannya sejak satu tahun lalu. Menghabiskan waktu dengan bersolek, duduk di bengkel, atau berjalan ke desa lain di mana ada tetangga mengadakan hajatan. Hidupnya seakan tiada beban, Mela hanya berontak kala meminta uang sapi tak diberikan, dan mengamuk saat peralatan make up miliknya habis.
Mentari telah menghilang pada garis cakrawala di sebelah barat. Mela bersenandung kecil melangkah kembali pulang ke rumah. Satu per satu gang ia lalui, pandangannya terpaku pada sekelompok pemuda yang sedang berkumpul di pos ronda. Mereka sedang asyik bermain kartu, sambil sesekali mengisap rokok. Ada seorang pemuda yang menyendiri di pojok, larut dengan gawainya. Mela bergegas menuju pos dengan senyum yang mengembang.
“Davin, mana?” tanya Mela pada sekelompok pemuda itu.
Mereka yang sedang asyik bermain kartu menghentikan sejenak permainannya, lalu saling melirik satu dengan yang lain.
“Gak ada Davin di sini, sana pergi!” usir pemuda berkaus hitam.
Mela masih bergeming. Menatap lekat pada sekelompok lelaki di depannya.
Para pemuda yang ditatap merasa jengah, satu per satu di antara mereka mulai mengabaikan Mela. Namun, pemuda berkaus biru memasang ekspresi wajah galak, kemudian ia mengambil sandal yang dipakainya, mengangkat tinggi seakan-akan hendak memukul Mela.
“Pergi gak!” usirnya menatap tajam pada Mela.
Mela tercekat, menggeleng cepat. Dengan tergesa ia meninggalkan pos ronda. Sesekali Mela menengok ke belakang memastikan lelaki tadi tak mengikutinya. Wajahnya tampak pucat, keringat dingin sebesar biji jagung mengalir di dahinya. Setibanya di rumah ia masuk ke dalam kamar kemudian meringkuk di atas ranjang dengan bibir yang terus bergumam, “Jangan pukul, jangan pukul.”
Mayang—nenek Mela—segera menghampiri cucunya kala mendengar rintihan Mela. Ia duduk di sampingnya, menatap sendu wanita muda itu. Ada rasa menyesal dalam benaknya, saat dulu ia membiarkan saja Yoyo—ayah Mela—menikahkan Mela di usia remaja dengan lelaki kota.
Siapa sangka lelaki yang menikahi Mela memiliki tabiat buruk, suka main tangan hingga kejadian nahas itu membuat Mela trauma. Kondisinya kian memprihatinkan setelah Mela melahirkan bayi lucu berjenis kelamin laki-laki.
Terbayang masa lalu Mela yang buruk, Mayang menghela napas panjang. Diperhatikannya Mela yang kini sudah terlelap. Ia sangat berharap Mela bisa kembali sehat seperti dulu.
***
Kesibukan tampak pada salah satu rumah warga yang sedang mengadakan acara pernikahan. Para ibu sibuk menata hidangan yang akan disajikan, sedangkan bapak-bapak membantu memasak air dan mengantarkan hidangan ke para tamu. Alunan musik menggema. Ada beberapa salon yang disusun. Tak jauh dari situ, panggung besar telah disediakan untuk sang biduan, dengan peralatan musik yang tertata rapi.
Dua rumah dari sang punya hajat, ada beberapa stan makanan, seperti gado-gado, sup, dan sate. Pada stan bakso, Mela duduk di salah satu kursi yang mengarah pada panggung. Sedari siang hingga menjelang sore ia belum juga beranjak. Sedang yang punya stan hanya bisa menahan kesal sebab segala bujuk rayu untuk mengusir Mela tak juga berhasil.
Senja telah kembali ke peraduannya, digantikan bulan yang kini bersinar terang menggantung di langit. Deru kendaraan sedari tadi tak juga mereda, banyak warga desa sebelah yang didominasi kaum lelaki mulai berkumpul memenuhi area hiburan.
Musik mengentak diiringi suara biduan dangdut yang merdu, tariannya membuat para lelaki bersiul. Mereka ikut menari mengikuti irama musik. Mela dengan wajah yang berbinar berjalan tergesa mendekat area panggung. Menari, membaur bersama para penonton meliuk-liukkan badan. Seorang lelaki mendekati Mela, menari di depannya dan sesekali menjamah dadanya. Lalu ia berjalan dengan sedikit terhuyung menarik Mela menjauh dari area panggung.
***
Mayang dengan wajah diliputi gelisah mencari keberadaan Mela. Setiap stan ia kunjungi tetapi tak juga mendapatkan hasil. Ada seseorang memberi tahu bahwa Mela sempat lama duduk di stannya, lalu pergi entah ke mana. Membuatnya kian panik, takut terjadi hal yang tak diinginkan.
Dari jarak yang tak begitu jauh Mayang mencermati sekelompok orang yang menari di depan panggung. Namun, usia yang sudah senja membuat ia tak tahan berdiam lebih lama lagi. Kepalanya sakit melihat orang-orang menari. Telinganya juga nyeri karena mendengar suara keras yang mengentak. Pada akhirnya ia memutuskan pulang. Berharap Mela sang cucu baik-baik saja.
***
Mela terbangun dengan kepala pening, pakaiannya berserakan di bawah kaki. Diperhatikannya sekitar tampak cahaya kemerah-merahan di langit. Tak jauh dari tempat Mela ada lahan padi yang mulai menguning. Perlahan ia bangkit dari tidur, berjalan tertatih dan mengangkang meninggalkan gubuk yang tak berpintu.
Pelan, ia menapaki jalan setapak menuju jalan raya. Dengan penampilan yang berantakan. Setiap warga yang berpapasan dengannya hanya melirik sekilas. Setelah beberapa gang dilalui, tibalah Mela di pekarangan rumah.
Mayang yang sedang duduk di kursi segera menghampiri sang cucu. Ditatapnya lekat wajah Mela. Pandangannya terpaku pada leher Mela yang dipenuhi tanda merah, seperti ruam. Diusapnya tanda itu.
“Tidur di mana tadi malam?” tanya Mayang.
“Sawah.” Mela menjawab lalu berlalu meninggalkan Mayang yang masih terdiam.
***
Beberapa minggu sejak kejadian itu, Mela sering mual kala pagi hari. Badannya mulai berisi. Apa yang menjadi kekhawatiran Mayang terjadi pada sang cucu terbukti. Mela dinyatakan positif mengandung oleh bidan. Luruh perasaan Mayang, siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban jika sudah seperti ini?
“Mela, siapa yang menghamili kamu?” tanya Mayang setelah pulang dari puskesmas.
“Hamil?” Mela kembali bertanya.
“Lelaki yang tidur dengan kamu siapa?” tanya Mayang lagi.
“Lelaki? Davin pacarku,” jawab Mela tertawa.
Mayang menghela napas panjang, belum juga diketahui siapa calon ayah si jabang bayi. Ia dan Mela lebih banyak berdiam diri di rumah. Sebisa mungkin ia membatasi kegiatan di luar rumah. Sebab hatinya kian nyeri, perasaannya tak keruan. Jika sedang berkumpul, warga tak segan-segan menghina Mela. Sejak kehamilannya menjadi buah bibir masyarakat, Mela dikurung dalam kamar. Tak bisa leluasa pergi seperti dulu.
Palangkaraya, 7 Maret 2021
Jemynarsyh, seorang gadis yang sedang belajar merangkai aksara.
Editor: Rinanda Tesniana