(Tanpa) Batas Waktu
Oleh: Lintang Ayu
“Kenapa cinta sesakit ini?” tanyamu dengan tatapan sendu.
Saya terdiam, masih menatap manik mata cokelat yang mulai mengembun di hadapan saya. Tahu bahwa saya tidak akan menjawab pertanyaannya, gadis mungil berkacamata bulat itu memutuskan pandangan. Lalu menatap sinar jingga yang perlahan mulai memudar di luar jendela kamar.
“Sakit,” rintihnya.
Saya membisu. Ada sesak di dada mendengar orang yang paling saya sayangi di dunia ini terluka karena saya.
“Sakit, Ar. Sakit banget,” ucapnya setelah kembali menatap saya yang masih saja mematung.
Saya pun sama, Han. Bahkan goresan luka ini semakin menganga saat satu butiran jatuh dari sudut matamu. Saya merasa menjadi laki-laki paling dungu di dunia karena telah membuat gadis yang saya cintai menderita, tetapi saya tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan penderitaan kamu.
“Aku mencintaimu, kamu pun sama. Lalu mengapa kita tidak bisa bersama?”
Tangisnya luruh, bersamaan dengan satu bulir bening yang menetes di pipi saya. Saya memperpendek jarak di antara kami, lalu merengkuh tubuhnya yang bergetar. Membiarkan dada saya basah oleh linangan air matanya, membiarkan ia meluapkan segala lara yang dirasakannya. Hanya itu yang bisa saya lakukan.
“Tuhan tidak adil.”
Tolong, jangan menyalahkan Tuhan, Han. Ini bukan salah-Nya. Ini salah saya, karena saya yang bertekad menerobos masuk ke dalam hatimu. Hubungan kita sudah salah dari awal. Maafkan saya, Han. Tolong jangan menyalahkan Tuhan atas rasa yang telah Dia berikan untuk kita. Rasa yang telah kita namai dengan sebutan cinta. Bagi saya ini adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan untuk saya. Meskipun, akhirnya kita harus seperti ini. Menderita.
“Katakan! Apa yang harus aku lakukan? Jangan hanya diam saja, Ar!” ucap Hani setelah melepas pelukan saya.
Ucapan dari bibir mungil Hani mampu mencengkeram hati saya dengan kuat. Gadis itu menatap lekat saya, seakan tengah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Saya masih terdiam, membiarkan ia mencari jawaban lewat bola mata saya.
“Jawab, Ar!”
Tolong, jangan memaksa saya menjawab pertanyaan yang sulit untuk saya jawab. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Ini sulit. Jangan tanyakan lagi apa yang harus kita lakukan ke depan.
Melihat saya masih terdiam, Hani tampak pasrah. Ia duduk di sisi ranjang kamar.
Kami terdiam cukup lama, hanya isak tangis Hani yang memecah keheningan di antara kami.
“Aku berharap banyak darimu, Ar. Aku sudah berjuang untuk mempertahankan hubungan kita. Sekarang, giliran kamu.”
Hani beranjak dari kasur, berjalan menuju meja tempat saya meletakkan beberapa beberapa berkas-berkas pekerjaan. Ia mengambil tas selempangnya yang tergeletak di sana, lalu mengeluarkan kertas berwarna merah muda.
“Undangan sudah disebar. Tapi kita masih punya waktu seminggu. Aku harap kamu tidak mengecewakan aku, Ar,” ucap Hani sembari mengulurkan kertas undangan itu pada saya.
Saya menerima kertas berpita merah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hani pergi meninggalkan saya yang masih sibuk mengeja huruf demi huruf di kertas undangan bertuliskan namanya. Pandangan saya mulai buram.
“Han, maafkan saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Bukannya saya tidak mau memperjuangkan cinta kita, tapi mungkin ini yang terbaik buat kamu. Maaf, Han.”
Saya merasakan rasa nyeri di kepala, hingga saya putuskan untuk merebahkan diri di ranjang, setelah sebelumnya meminum obat yang ada di laci nakas. Saya memejamkan mata sembari mencengkeram kuat-kuat kertas undangan pemberian Hani. Rasa sakit di kepala saya semakin terasa. Saya mencoba mencari ponsel, hendak meminta Sam untuk membawa saya ke rumah sakit, tetapi belum juga menemukan keberadaan benda ponsel itu, saya sudah limbung, tidak sadarkan diri.
***
“Tidak, Ar. Kamu harus kuat. Jangan tinggalin aku, Ar, please.”
Samar-samar saya mendengar suara seseorang yang sangat saya kenali. Saya ingin bangun dari tidur dan melihat sosok yang terus memanggil-manggil nama saya. Saya ingin memastikan bahwa pendengaran saya tidak salah. Akan tetapi, tidak mungkin Hani berada di sini. Bukankah hari ini, hari pernikahannya?
“Ar, bertahanlah. Aku yakin kamu kuat.”
Lagi, suara itu mengganggu tidur saya. Saya mencoba membuka mata, tetapi tidak berhasil. Rasanya kelopak mata ini sulit terbuka.
“Bobo Sayang, bangun.”
Dugaan saya benar, ia Hani. Hanya gadis itu yang memanggil saya dengan sebutan itu. Han, tapi mengapa kamu bisa berada di sini? Ini hari bahagiamu. Mengapa justru ada di sini. Di mana Sam? Apa kamu ke sini bersamanya?
Tangisan Hani semakin jelas terdengar. Namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk mengusap air matanya, untuk membuka mata saja saya tidak mampu.
“Ar, please, buka mata kamu.”
Susah, Han. Saya sudah berkali-kali mencobanya. Akan tetapi, lihatlah, mata saya masih saja tertutup. Sulit rasanya meskipun hanya sekedar membuka mata.
“Ar, kamu cinta aku, kan? Please, bangun!”
Sangat, Han. Saya sangat mencintai kamu. Bahkan melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Akan tetapi, Han, mungkin sampai di sini batas waktu saya.
“Ar, bangun! Demi aku. Bangun, Ar, aku mohon.”
Hani terus saja meraung.
“Sudahlah, Han. Ikhlaskan. Kalau kamu terus begini, kasihan Ardian, Han.”
“Nggak, Sam. Aku nggak mau dia pergi. Dia harus hidup. Harus!”
“Tapi dengar apa kata dokter, ‘kan, Han. Ardi ….”
“Tidak, Ardianku tidak pernah mendengarkan siapa pun kecuali aku. Aku yakin, kali ini juga dia akan menuruti keinginan aku. Aku mau dia, Sam. Aku mau dia tetep hidup.”
Mendengar perdebatan antara Hani dan Sam, membuat rasa sakit di kepala kembali menyerang. Kali ini, rasanya begitu hebat, hingga membuat saya merintih kesakitan. Untuk pertama kalinya, setelah tiga hari koma, tubuh saya bisa merespon rasa sakit. Tanpa sadar mulut saya bergumam tidak jelas. Hal itu sontak membuat Hani kembali menatap saya.
Hani segera menghampiri saya. Ia mengusap kepala saya dengan lembut. Air matanya jatuh tepat di kelopak mata saya. Hingga entah keajaiban dari mana, saya mampu membuka mata, perlahan.
Senyuman Hani yang pertama kali saya lihat. Ucapan syukur berkali-kali keluar dari bibirnya setelah melihat saya sadar.
“Ar, kamu bangun? Alhamdulillah.”
Saya tidak bisa membalas ucapan gadis yang masih memakai pakaian pengantin lengkap itu. Saya menatap Hani yang tampak cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih tulang. Andai, saya tidak memiliki penyakit ini dan tidak divonis oleh dokter bahwa umur saya tinggal menghitung hari lagi, mungkin saya yang akan memakai baju pengantin itu, bukan Sam–sahabat saya.
Saya menatap laki-laki berpakaian pengantin yang tengah berdiri di belakang Hani. Sam seakan tahu arti tatapan saya. Ia maju. Ingin sekali mengucapkan banyak kata maaf untuknya. Namun, kata-kata itu tercekat di tenggorokan.
Saya ingin mengucapkan kata maaf, karena telah merebut Hani darinya. Sebagai sahabat saya justru menusuknya dari belakang. Merebut seseorang yang sangat ia cintai sedari SMA. Mungkin ini hukuman buat saya. Hani memang bukan untuk saya, meskipun saya tahu, hatinya masih milik saya, selamanya.
“Ar, saya sudah memaafkan kamu, juga Hani.”
Mendengar hal itu, butiran bening keluar dari sudut mata saya. Hani juga semakin terisak. Saya tahu ia begitu menyesal karena telah berkhianat. Hal itu justru membuat rasa bersalah saya semakin dalam.
“Saya sudah memaafkan kalian, dengan tulus.”
Sam seakan tahu apa yang saya pikirkan. Setelah itu, langkah saya terasa ringan. Saya sudah tidak kuat membuka mata, sebesar apa pun saya mencobanya. Mata saya tetap tertutup.
Hani memanggil-manggil nama saya. Namun, saya terus melangkah menjauh darinya.
Sampai di sini batas waktu saya, Han. Saya harus pergi. Berbahagialah bersama Sam, Han. Saya mencintaimu, tanpa batas waktu. []
Lintang Ayu, pecinta fiksimini.
Editor: Imas Hanifah N