Rindu yang Menggores Luka
Oleh : Aicha Aisah
Aku dan Farah duduk melamun di sebuah batu besar yang ada di persimpangan jalan. Kami tengah menunggu orang tua kami yang katanya akan pergi ke kelurahan. Ibu berjalan terburu-buru meninggalkan kami, diikuti Ayah di belakangnya dengan wajah masam. Farah ingin ikut, tetapi Ibu melarang.
“Kak, cerai itu apaan? Kok, Ibu ngomong kayak gitu terus?”
Aku yang sedang menenangkan perasaan gelisah, mengusap lembut kepala adik perempuanku tersebut. Farah, yang berusia enam tahun, memang kerap menanyakan kata-kata yang baru didengarnya.
“Adek nggak usah dengerin omongan Ibu sama Ayah semalam. Sekarang kita berdoa, supaya mereka nggak marah-marah lagi.”
Aku menatap lembut Farah, meskipun dalam hati perasaan gelisah menyelimuti. Aku takut jika Ayah akan pergi dari rumah, seperti yang dilakukan bapaknya Ulfa, salah satu temanku.
Ulfa bercerita bahwa bapaknya tidak pernah pulang semenjak terjadi pertengkaran hebat antara orang tuanya.
Kejadian kemarin sore kembali terbayang, ada seorang ibu membawa anak yang kira-kira sama usianya dengan Farah, datang ke rumah. Ayah yang baru pulang kerja terkejut mendapati keberadaan ibu itu.
Aku tidak tahu jelas apa yang mereka bicarakan di ruang tamu. Namun, setelah kepergian si ibu dengan anaknya, orang tuaku bertengkar hebat. Ibu memasukkan baju-baju ke tas besar, sementara Ayah diam di pojok kamar dengan wajah tertekuk.
Sambil mengomel, Ibu bersiap keluar membawa tas besar tersebut. Namun, Ayah segera bangkit dari duduk, tangan kokohnya sigap menangkap pergelangan tangan Ibu.
“Jangan mengambil keputusan di saat emosi, Dek. Inget, kasian anak-anak.”
“Mas yang nggak kasian sama anak-anak, kemarin Mas asyik berduaan sama cewek murahan itu sampe punya anak. Bilang tugas luar kota, nyatanya? Kamu udah bohongin aku, Mas. Khianati kepercayaan aku, terus aku yang disalahin.” Ibu mengusap sudut matanya yang basah. Wanita yang selalu tersenyum itu berpaling muka saat melihatku dan Farah berdiri di ambang pintu.
“Ajak adekmu maen di depan, Nak!” perintahnya dengan suara parau.
Aku diam mematung dengan perasaan takut yang luar biasa. Farah berdiri terpaku di sampingku sambil terus meremas kaos. Dia pasti juga ketakutan, karena tadi Ibu sempat membanting vas bunga di meja rias.
Aku menarik napas panjang, baru sekali itu aku melihat orang tua bertengkar. Ibu yang terbiasa berkata lembut, malam itu meledak-ledak penuh amarah. Bapak yang bersikap tegas dan berani, hanya bisa menunduk sambil terus mengucapkan permintaan maaf.
Kuusap butiran air di sudut mata, kejadian kemarin benar-benar membuatku resah dan sesak. Untung saja Farah tidak lagi cerewet.
Dari jauh terlihat Ayah dan Ibu berjalan mendekatiku dan Farah. Wajah keduanya murung, wanita berkerudung merah itu terus diam saat Farah kembali bertanya. Ibu menggandeng adikku dan bergegas menuju rumah. Aku ingin bertanya pada Ayah ada masalah apa sebenarnya. Namun, saat melihat pria berkulit sawo matang itu tampak bersedih, aku pun mengurungkan niat.
Setelah hari itu suasana rumah berubah. Canda tawa yang dulu selalu menghangatkan suasana kini hilang ditelan kebisuan. Ibu dan Ayah tidak pernah bertegur sapa meskipun berada dalam satu ruangan. Mereka saling cuek seolah-olah tidak melihat satu sama lain.
Sebulan setelah peristiwa itu, Ayah mulai jarang pulang ke rumah. Datang hanya untuk bertemu anak-anaknya, lalu pergi lagi.
Ibu kerap mengurung diri di kamar dan berubah menjadi pendiam, keluar hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hari-hari setelahnya, beliau mulai sering pergi pagi dan pulang di sore hari. Saat kutanya Ibu pergi ke mana, beliau bilang bekerja di sebuah pabrik teh.
Aku mulai terbiasa tanpa ada kehadiran seorang ayah. Meskipun dalam hati protes kenapa Ayah sudah tidak pernah pulang.
Hari terus berlalu, kerinduan bertemu Ayah semakin memuncak. Adikku juga kerap menanyakan kapan Ayah pulang, tetapi Ibu hanya diam. Rumah menjadi sangat sepi, hanya ada aku dan Farah saat Ibu sedang pergi bekerja.
**
Sore itu Farah berteriak girang saat mendengar suara motor berhenti di depan rumah.
“Kak Aji, Ayah pulang ….” Farah berlari mendekati Ayah yang baru saja turun dari motor. Pria itu menyambut putrinya dengan pelukan.
Aku pun berjalan mendekat untuk mencium punggung tangan Ayah, orang yang sudah sangat aku rindukan. Beliau mengusap dan mengecup sayang puncak kepalaku.
Kulirik Ibu yang hanya berdiam di ambang pintu, tanpa tersenyum sedikit pun.
“Masuk dulu, Mas. Aku siapkan baju Aji dulu.”
Farah mengajak Ayah duduk di ruang tamu dan bermanja-manja di sana. Aku, yang penasaran dengan kata-kata Ibu, memilih mengikutinya.
Wanita yang tampak lelah itu mengeluarkan tas besar dari dalam lemari, kemudian mulai memasukkan baju-bajuku ke sana.
“Kita mau pergi ke mana, Bu? Kenapa baju Aji dimasukkan ke tas?”
Ibu diam masih sibuk dengan isi lemariku.
“Bu, kita mau ke mana?” tanyaku sekali lagi. Ada nyeri di dada, memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk.
“Mulai hari ini Kakak tinggal sama Ayah,” katanya lirih.
“Ibu sama Adek ikut, kan?” tanyaku dengan suara parau.
Ibu menggeleng sambil mengusap pipinya yang basah.
Aku diam, enggan bertanya lebih jauh. Mataku mulai panas menahan desakan air mata yang siap meluncur. Nyeri di dadaku pun bertambah, semakin perih.
Setelah berpamitan pada Ibu, aku naik ke motor Ayah, membonceng di belakangnya. Farah terus merengek minta ikut. Namun, pria di depanku seperti pura-pura tidak mendengar. Motornya terus melaju meninggalkan halaman pekarangan.
Di jok belakang, aku hanya bisa menyaksikan Farah yang terus berteriak di pelukan Ibu. Sesekali kuusap sudut mata yang terus saja basah.
Rinduku pada Ayah mungkin terobati. Namun, ada rindu lain yang siap menyiksa hari-hariku.
Aku menunduk dalam menikmati setiap perih yang lagi-lagi menusuk dada. (*)
Siti Aisah, perempuan kelahiran Tegal yang kini berdomisili di Samarinda. Dia telah dikenal dengan nama pena Aicha Aisah. Ibu dari dua anak ini mulai terjun di dunia literasi sejak setahun yang lalu.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata