Bukan Urusan Bapak!

Bukan Urusan Bapak!

Bukan Urusan Bapak! 

Oleh : Hassanah 

 

Menurutku, hidup itu perihal berjuang dan bertahan, bukan tentang mengurusi hidup orang. Namun, orang-orang yang ada di sekitarku sepertinya tidak begitu. Hampir setiap hari mereka membicarakan hal yang sama. 

“Kamu kapan nikah, Ning? Jomlo terus perasaan,” sindir Mbak Sri diikuti gelak tawa tetangga yang lain. 

Aku bosan! Setiap kali keluar rumah dan bertemu gerombolan ibu-ibu rempong itu, selalu saja aku jadi bulan-bulanan mereka. Kenapa masih sendiri? Jangan kerja terus, nanti lupa kalau sudah tua dan belum menikah! Hati-hati, perawan tua itu jarang laku dan susah punya anak. 

Apa mereka tidak punya topik pembicaraan lain yang lebih berfaedah? Tentang bagaimana menjelaskan jalan lahir bayi pada bocah, misalnya. Bukankah lebih bermanfaat? Dasar ibu-ibu rempong! 

“Kok subuh banget berangkatnya, Mbak?” tanya Bowo, adikku. 

“Iya, biar gak diomongin tetangga mulu. Bosen.” Aku segera mengeluarkan motor matic bewarna putih dan menghidupkannya. 

“Aelah, Mbak. Gitu aja repot. Tinggal nikah aja pun.”

Aku mendelik kesal. Dikira nikah itu kayak beli cilok apa? 

“Kamu kalau mau ikut-ikutan klub ibu rempong itu ya udah sana! Tapi uang jajan kamu Mbak karantina. Kalau butuh, kamu cari sendiri!” Aku sudah mengenakan helm dan jaket. 

“Idiiih … gitu aja dimasukin ke hati. Lagian ngapain uang jajan dikarantina?”

“Karena korona!” Aku segera menjalankan motor dan keluar dari halaman rumah. “Mbak pergi dulu. Assalamualaikum!” 

Bowo menjawab salamku dengan sedikit berteriak. Sudah dipastikan, dia akan tidur kembali sampai pukul tujuh nanti, seperti biasanya. Sebab perkuliahan masih berjalan secara daring dan akan dimulai pada pukul delapan. 

Namun, baru saja aku melewati empat rumah petak yang saling menempel sepuluh meter dari rumahku, tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang perempuan yang tinggal di rumah paling ujung. Dia terlihat baru saja membungkus rambutnya menggunakan handuk. 

“Ciee … yang wanita karir. Subuh-subuh udah pergi kerja aja,” ujar Mbak Yu saat aku hampir melewati depan rumahnya. 

Astagfirullah, kenapa dia harus keluar di saat yang tidak tepat, sih? Perempuan yang hanya terpaut satu tahun lebih tua dariku itu tampak membawa ember menuju jemuran pakaian di depan rumah. 

“Iya, Mbak. Biar gak telat,” jawabku setengah berbohong. 

“Biar gak telat atau biar gak dirumpiin sama tetangga?” Mbak Yu terkekeh setelahnya. 

Biar gak ketemu Mbak Yu dan temen-temennya! 

“Mari, Mbak. Saya pamit kerja dulu.”

Aku segera melajukan motor, berbelok ke kanan, lalu ke kiri. Setelah sampai di jalan besar, aku berteriak kesal. Toh tidak akan ada yang menggubris, ‘kan? Lagian jalanan masih cukup sepi sebab mentari pun masih malu-malu untuk muncul akibat rembulan yang enggan berganti posisi. 

***

Saat ini, kantor tengah sepi. Jam makan siang di akhir pekan memang kerap membuat para karyawan memilih makan di restoran dekat kantor. Sementara itu, aku lebih suka makan di kantin. Selain mengenyangkan, ini juga akan menghemat pengeluaran di tengah pandemi seperti ini. 

Kota Pekanbaru bukanlah kota besar seperti Medan atau juga Palembang. Walau sempat menjalani WFH, tetapi dua bulan terakhir kami sudah kembali bekerja seperti biasa usai diberlakukannya WFH selama empat bulan. 

“Woy! Makan sendiri aja. Mana yang lain?” tanya Dita, temanku di divisi pemasaran. 

“Makan di luar.” Aku melihatnya membuka kotak bekal berisi sayuran. “Diet lu?” tanyaku memastikan. 

“Yoi. Tahun depan gue mau nikah. Jadi, harus diet biar baju pengantinnya muat,” jawabnya santai. 

Aku tersenyum kecut. Sepertinya, tidak lama lagi aku juga akan menjadi bulan-bulanan teman kantor perihal menikah. Ah, tunggu-tunggu, bukannya selama ini mereka juga sudah sering mengataiku jomlo? Naik satu tingkat tidak mengapa, ‘kan? Toh Dita tidak mungkin mencecarku dengan pertanyaan yang sama sebab kami sepernasiban sebelum dia dilamar teman sepupunya. 

“Lu masih jomlo, Ning?”

Astagfirullah! Baru aja aku membatin kalau Dita tidak akan menanyakan hal itu. Dasar! Mentang-mentang sudah laku. Aku mengembuskan napas kesal beberapa detik setelah pertanyaan itu lolos dari bibir mungilnya. 

Wait, i’m not jomlo. But, i’m single! You know?” ungkapku sembari mengibaskan ujung jilbab. 

“Apa bedanya coba? Sama-sama gak punya pasangan.”

“Tetep beda dong, Dita. Jomlo adalah sebutan untuk orang yang masih mau diajak pacaran. Tapi kalau single adalah sebutan untuk orang yang hanya mau diajak nikah. Tolong bedakan itu!”

Okey-okey. So, mau sampai kapan lu ngejomlo coba? Kita ini udah tuwir, Ning. Udah hampir kepala tiga!”

“Sampai Tuhan mempertemukan aku dengan jodoh pilihan-Nya,” ucapku sembari menatap langit-langit kantin. 

Dita terbahak puas. Itu adalah jawaban yang selalu aku lontarkan bila ada yang bertanya hal serupa. Apa aku salah? 

“Bowo udah semester berapa?” tanya Dita kemudian. 

“Sekarang lagi semester lima.”

“Tiga semester lagi. Berarti dua tahun lagi lu nikah, dong?”

“Mungkin.” Aku mengedikkan bahu. Nasi rames berlauk sepotong ayam milikku pun sudah tandas saat pembicaraan kami berlanjut. 

“Kok mungkin? Lu udah nyekolahin dia. Itu tandanya tugas lu selesai, Ning. Waktunya lu mikirin kebahagiaan lu sendiri.”

Aku terdiam sesaat. Perkataan Dita ada benarnya. Selama ini aku menahan diri untuk tidak menjalin hubungan karena serius bekerja demi menyambung hidup dan menjadi tulang punggung keluarga bagi Bowo. Sejak menjadi yatim piatu tujuh tahun lalu, aku bertekad untuk mandiri dan tidak menyusahkan keluarga yang lain. Walau itu terasa cukup sulit, tapi aku cukup menikmatinya. 

“Ning, Ningrum!”

“Eh, iya. Apaan, sih, Dit.”

“Itu … arah jam tujuh. Ada bos kesayangan lu,” tunjuk Dita lewat ekor matanya. 

Aku mengembus napas kasar. Haruskah dia makan di kantin juga? Biasanya juga pergi makan siang bersama pacarnya di luar. 

“Hai, Ning. Hai, Vira,” sapa Pak Dani. Dia sudah duduk satu meja dengan kami tanpa meminta persetujuan lebih dulu. 

“Dita, Pak. Bukan Vira,” ucap Dita membenarkan. 

“Vira itu yang putus tahun lalu, Pak. Masih inget aja namanya. Belum move on, ya?” ejekku. 

Jangan salahkan aku bertingkah seperti ini pada atasan. Ini sudah kesepakatan kami berdua. Di jam kerja, aku adalah sekretarisnya, tetapi di luar jam kerja, aku adalah aku. Dan saat ini sedang jam istirahat, bukan? 

“Kalian ngomongin apa? Kejomloan Ningrum, ya?” tanya Pak Dani mengalihkan pembicaraan. 

“Apaan, sih, Pak? Bukan urusan Bapak!” Aku bangkit dan berniat kembali ke ruang kerja. Duduk bersama bos muda yang satu ini selalu sukses membuatku jengah setiap saat. Saat bekerja dia otoriter, sementara di luar jam kerja begitu menyebalkan. 

“Ningrum! Kalau sampai umur tiga puluh kamu belum laku, mending kamu nikah sama saya saja, ya?” ucapnya setengah berteriak. 

Oh, Tuhan … makhluk jenis apa dia? Entah sudah berapa kali aku dibuat malu di tempat umum. Aku berjalan cepat sembari menarik lengan Dita untuk dijadikan tempat menyembunyikan wajah. Walau kantin tidak ramai, tetapi ada beberapa karyawan yang juga makan di sana. 

Dasar bos nyebelin! (*)

 

Hassanah, perempuan kelahiran Aceh yang besar di Riau. Ia mulai terjun ke dunia literasi sejak awal tahun 2020. Belajar dan menulis adalah hal yang dilakukannya di saat bersamaan dalam mengaplikasikan ilmu yang masih sedikit.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda


Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply