Interval
Setelah beberapa lama tidak bertemu bahkan kita masih memulainya dengan “apa kabar” yang datar (lagi). Seolah kata-kata itu lelah pula seperti manusia selepas perjalanannya yang panjang yang seperti ingin menegaskan kembali tentang jarak yang membentang di antara kita saat ini. Meskipun begitu kita melanjutkannya dengan obrolan-obrolan lain yang ringan, seperti komentarku tentang latar belakang suara yang cukup ramai atau tentang suaramu yang terkadang hilang entah kemana dan kita akan menyalahkan sinyal operator telepon seluler setelahnya. Jelas sekali bahwa kita adalah dua orang yang sedang berusaha membangun sebuah komunikasi yang baik. Sebenarnya aku ingin kau mengatakan bahwa kau rindu padaku. Berharap kau ingin lebih banyak tahu tentangku juga sedikit bermanja-manja denganku sehingga aku bisa mencurahkan isi hatiku saat ini. Bercerita banyak tentang pendidikanku, teman-temanku, dan tentang seseorang yang suka padaku. Ingin menegaskan bahwa kita dahulu akrab. Tetapi, seperti biasanya salah satu dari kita menyerah jauh sebelum pembicaraan semacam itu dimulai. Itu aku.
***
Selepas kematian ibu beberapa bulan yang lalu, aku tahu bahwa kau masih menyimpan kesedihan itu sendiri tanpa pernah kau bisa bagi padaku apalagi pada adik yang masih kecil. Yang masih perlu di usap air matanya karena ketika bangun di pagi hari dan tidak menemukan ibu di seluruh penjuru rumah, dia berlari dari kamar tidurnya menuju dapur, ruang tamu hingga teras dan berakhir di kamarmu dan ibu. Dia membangunkanmu pagi itu dengan teriakannya yang memanggil ibu.
“Kamu ingin makan apa?”
“Sudah tidak usah menangis, ada ayah di sini.”
Itulah yang kau katakan padanya. Kemudian pelan-pelan menuntun adik menuju dapur dan melapisi roti tawar dengan mentega dan menaburinya dengan meses seperti yang sering dilakukan oleh ibu. Kau tidak tahu betapa irinya aku dengan adik saat itu. Dia menangis di hadapanmu, mengungkapkan segenap perasaannya yang sedang duka dan kau membuatkannya sarapan pagi.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Kapan akan mulai bersiap-siap berangkat ke Bandung?”
Ah, aku sudah mengira bahwa kau akan memulai pembicaraan denganku dengan cara begitu.
“Hari ini aku harus beli tiket.”
“Beberapa hari lagi aku akan menghadapi ujian semester.”
Segera setelah mendengar jawabanku kau mengambil dompet dari dalam kamar dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan menaruhnya di hadapanku.
“Pergilah dan belilah apa saja yang menjadi keperluanmu.”
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku mengiyakan perintahnya itu.
Kulihat adik merengek minta uang karena melihatku diberi begitu banyak. Kau hanya mengusap kepalanya dan tersenyum.
***
Di sebuah super market, aku sedang mencari obat-obatan dan beberapa kudapan untuk perjalanan esok hari. Langkahku terhenti di depan sebuah lorong. Ini yang seharusnya kulakukan bersama ibu. Biasanya dulu, jauh sebelum aku mengenalmu, aku akan mendorong kereta belanja dan mengikutinya dari belakang sambil mengamati apa yang sedang ibu ingin beli. Ah, segera kuhirup nafas dalam-dalam dan menghitung satu hingga sepuluh dalam hati. Pernah kulihat di TV orang yang melakukannya untuk mengubah suasana hati dan itu yang kulakukan saat ini.
Tak ada seorang pun yang akan merasa aneh jika melihat anak kecil yang merengek, mengaduh, menangis dan berkata tak mampu. Sementara setelah dewasa, seolah segalanya menjadi tabu. Oleh karena itu aku menahannya. Dari banyak orang, dengan bermacam situasi dan kondisi, aku belajar bahwa kita semua menua untuk belajar bagaimana diam, meredam rasa sakit, menahan air mata dan selalu berkata mampu. Aku tidak tahu apakah yang kupercaya adalah benar bagimu, bagi orang lain. tetapi setidaknya itulah yang kuanggap benar. Kebenaran yang relatif.
Ini hari terakhirku di kota ini, Lubuklinggau. Kota tempat aku dilahirkan. Aku tak punya rencana untuk menghabiskannya denganmu, kalian. Hanya ingin menghabiskannya sendiri. Meskipun aku pernah membaca sebuah artikel majalah online yang menuliskan tentang betapa tidak seharusnya orang dewasa tak punya teman bicara sebagai tempat berkeluh kesah dan sebagainya. Entahlah, bagiku yang tidak seharusnya terjadi sekarang adalah bertemu dengan orang-orang yang kau sudah pastikan akan memicu lara. Adalah teman yang masih merasa iba padaku, menggenggam tanganku, menepuk pundakku atau memelukku lagi untuk kesekian kalinya. Rasa iba itu yang membuatku berpikir bahwa aku begitu menyedihkan, yang pada akhirnya malah membantuku menegaskan kesedihan itu sendiri alih-alih mengurangi kadarnya. Meskipun kau sudah sangat baik untuk tidak bertanya tentang apa yang kurasakan saat ini. Aku juga tidak bisa bertahan lama di rumah itu melihatmu jika tanpa ibu di sisimu.
Aku tidak tertarik menghabiskan waktu dengan menyalakan televisi di ruang tengah itu yang sekarang tak tampak nyawanya padahal dahulu selalu turut meramaikan suasana karena ibu yang selalu tak pernah absen menonton drama yang sepertinya tak kunjung selesai. Menurutku ceritanya sengaja dipaksa mulur hingga beratus episode untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebab inilah aji mumpung. Mumpung dramanya lagi laris di tonton. Sesampainya di rumah, sebenarnya hasratku hanya ingin segera menghempaskan diri di kasur, tetapi tercekat oleh ibu yang menarik lenganku untuk duduk bersama. Setelah seharian bekerja, hanya saat inilah kami bisa bersama sebagai anak dan ibu yang melakukan reuni setelah seharian tidak berjumpa. Sementara kau yang tadi hanya diam di sudut ruangan sambil membaca koran dan asyik menikmati kudapan yang ibu siapkan untukmu mulai mendekat. Tepat disaat itu jam berkukuk sembilan kali. Akhirnya aku punya alasan untuk menghindar lagi malam itu. Beruntung sekali aku memiliki banyak tugas rumah yang harus kukerjakan setelah seharian menghabiskan waktu di sekolah dengan jadwal tambahan persiapan menghadapi ujian nasional. Bahkan juga di akhir pekan. Itu beberapa pekan sebelum akhirnya aku pergi mendaftarkan kuliah di kota Kembang, Bandung.
***
Sesaat setelah aku berada di dalam bus jurusan Bandung yang berangkat dari Bengkulu empat jam yang lalu, kulihat adik melambaikan tangannya padaku. Aku menatapnya yang semakin lama tak tampak lagi beserta pertokoan dan lain-lainnya yang melatari potret terakhir pertemuan kita. Ah, adik masih begitu muda. Ia baru berusia lima tahun saat pernikahan itu. Dia sangat senang memiliki ibu sebab sejak saat itu lukisan keluarganya lengkap terhitung pula penambahanku sebagai kakak perempuannya di sana. Sementara aku sedang menghabiskan tahun terakhirku di SMA. Umurku tujuh belas tahun. Aku mendapatkan KTP dan SIM pertamaku serta dimulainya tanggung jawab dengan segala keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupku. Keputusan untuk menjadi apa, minat dan bakat apa yang akan kukembangkan beberapa tahun ke depan dan keputusan tentang apa yang harus aku hadapi hari ini.
Terbiasa sendiri terkadang membuat seseorang menjadi seorang introvert. Namun, orang tidak akan setuju bila kukatakan demikian terhadapku. Ya, terkadang orang menjadikan keterbukaan sebagai upaya untuk menutupi apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam hatinya. Kau adalah teman bicaraku untuk masalah-masalah yang tersembunyi itu. Pertama kali dalam hidupku ada seseorang yang sangat peduli tentang apa yang aku inginkan dan yang sebenarnya aku rasakan. Perhatian semacam itu membuatku terkesan. Sebab tak banyak orang yang bisa melakukannya dengan sepenuh hati. Setelah itu, entah kenapa selalu saja ada yang mengganggu pikiranku, maka aku akan datang padamu. Dan segalanya selesai begitu saja hanya dengan melihatmu. Ajaib.
***
Pernikahanmu dengan ibu beberapa tahun silam mengajarkanku banyak hal tentang cinta. Cintaku kepada ibu yang memaksaku untuk berpura-pura bahagia dihadapannya dan di dalam sebuah figura yang sekarang menggantung di dinding rumah. Cintaku terhadap Pencipta menghindarkanku untuk tidak jatuh di hadapanmu dengan mengatasnamakan cinta yang lain. Cinta kepada seorang kekasih alih-alih cinta kepada seseorang yang menjadi seorang ayah. Dan cintaku terhadap diriku sendiri membuatku membangun dinding-dinding yang membatasi kebersamaan dan menciptakan ruang yang memisahkan kita.
Aku masih mengingatnya. Saat itu aku, kau dan ibu sedang makan malam di sebuah cafe.
“Aku tak menyangka bisa bertemu lagi dengan ibumu setelah masa lalu yang memaksa kami terpisah.”
Kau yang mencoba memulai obrolan pertama kali.
“Kakek dan nenekmu tidak menyetujui hubungan kami.”
“Kami sudah berencana untuk kawin lari, tetapi gagal karena keburu ketahuan.”
“Kau sudah pernah mendengar ibu menceritakannya, bukan?”
“Dia lah orang itu.”
Aku mengangguk saja. Sementara itu pelayan sampai di meja kami untuk mengantarkan santap malam. Pembicaraan berhenti sejenak.
“Ya, inilah yang dinamakan cinta.”
“Suatu saat nanti kau juga pasti akan merasakannya.”
“Maukah kamu mengizinkan aku menikah dengan ibumu?”
Tampaknya aku menjatuhkan sesuatu ke lantai. Ternyata dompetku yang berwarna hijau daun yang merupakan hadiah ulang tahunku yang ketujuh belas dari ibu.
“Ibu tidak akan memaksamu untuk harus setuju.”
“Bagaimanapun ibu akan menghargai keputusan yang akan kamu buat.”
Sepertinya ibu menyadari kekikukanku saat itu.
“Ya, aku hanya tidak menyangka bahwa orang itu adalah guru BK-ku di sekolah.”
Aku memaksakan diri tersenyum pada ibu. (*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan