Kegelisahan Mira
Oleh : Ade Trias
Aku melambai saat mobil hitam milik Fita keluar dari pekarangan rumahku. Ia baru saja mengantarku pulang setelah mengajak aku, Riri, dan Mega berkumpul di kafe langganan. Pintu kacanya tertutup setelah mereka membalas lambaian tanganku.
Tiba-tiba saja rintik air turun. Segera aku berlari terburu-buru ke samping rumah untuk mengangkat jemuran yang tadi pagi sempat kukeluarkan. Dengan nada kesal, aku menggerutu karena sebagian baju basah terkena tetesan air hujan.
“Yah, besok harus dijemur lagi deh!” keluhku seraya menggantungnya di teras belakang. Masih dengan mulut menggerutu, aku lalu meraih sapu lalu membersihkan teras dari daun yang beterbangan.
Aku tidak pernah bermimpi akan menjalani hari dengan kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Sejak dulu, aku bercita-cita menjadi wanita karier yang bisa menghasilkan banyak uang. Namun, hidup kadang tak selamanya berjalan sesuai keinginan. Setelah memutuskan untuk menerima lamaran seorang pria dua tahun lalu, hidupku berubah seiring berjalannya waktu.
Dulu, aku adalah seorang karyawati yang bekerja di salah satu bank swasta di Kota Bandung. Penampilanku selalu paripurna. Selain karena tuntutan pekerjaan, aku juga senang bersolek. Setiap dua minggu sekali, aku rutin melakukan perawatan wajah.
Hal itu masih berlangsung hingga aku menikah dengan Mas Burhan dua tahun yang lalu. Namun, kehadiran seorang bayi cantik setahun yang lalu mengubah semua rencana dan tatanan hidup yang kususun. Cita-cita menjadi wanita kantoran dengan gaji bejuta-juta lenyap seiring tanggung jawab yang berat.
Sepulang dari reuni kecil-kecilan itu, aku jadi terpacu untuk kembali bekerja. Apalagi, Riri bilang kantor sedang membutuhkan akuntan. Bak gayung bersambut, aku berniat untuk mengisi posisi itu. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Aku harus meminta izin kepada suamiku. Setelah meminta pendapat Riri, akhirnya aku membulatkan tekad untuk meminta izin kepada Mas Burhan.
“Mas, aku pengen kerja lagi,” ucapku pada Mas Burhan, suamiku, saat kami tengah berbincang seusai makan malam
Pria itu meletakkan gelas kopi yang hampir tandas isinya, lalu menatapku dengan kening berkerut. “Kerja?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Aku jenuh, Mas, pengen punya kesibukan.”
Mas Burhan diam, menatapku dalam-dalam. “Bukannya Mira sudah jadi kesibukan baru buat kamu? Kamu aja sering ngeluh karena kelelahan mengurusnya. Kok, sekarang malah mau cari kesibukan lain?”
Pertanyaan Mas Burhan membuatku terdiam. Aku tahu dia melarangku, dengan menggunakan putri kami sebagai alasannya. Merasa tak memiliki kata-kata untuk diajukan, akhirnya aku memilih untuk menunduk, menekuri motif bunga yang terukir di atas meja kayu.
Kudengar Mas Burhan menghela. “Kenapa tiba-tiba kamu mau kerja?” tanyanya seraya mendekat kepadaku.
“Aku jenuh, Mas, capek sama kerjaan rumah,” jawabku tanpa mengangkat kepala.
“Terus, kalau kerja, apa nggak tambah capek?”
Aku diam lagi, tak mampu membalas kata-katanya. Sesaat, keheningan menyelimuti kami. Tak ada satu pun yang melanjutkan pembicaraan, seolah-olah larut dalam pikiran masing-masing.
“Memangnya, kamu mau kerja apa?” tanya Mas Burhan memecah kebisuan.
“Ya, kerja apa aja, Mas. Aku bisa kerja di kantor lamaku. Kebetulan, di sana lagi butuh akuntan. Cocok lah, sama ijazahku yang sarjana ekonomi,” jelasku dengan antusias. Kurasa, Mas Burhan akan memberikan peluang.
“Terus kalau kamu kerja, Mira gimana?”
“Bisa dititip ke Ibu, Mas. Ibu kan sayang banget sama Mira, pasti nggak keberatan kalau aku titip dari pagi sampai sore,” kataku bersemangat. “Atau kita bisa cari pengasuh buat Mira. Pagi diantar, sorenya dijemput. Kayak di day care gitu!”
Mas Burhan masih menatapku. “Jujur, aku kaget denger kamu minta kerja,” katanya. “Kenapa?”
“Kok kenapa?” tanyaku bingung.
“Iya, kenapa kamu tiba-tiba mau kerja? Apa alasan kamu minta kerja setelah ada Mira?”
Aku menunduk. Jika melihat gelagatnya, sepertinya izin yang kuharapkan akan sulit untuk didapat.
“Sa, jawab. Apa alasan kamu mau kerja?” tanyanya seraya mengusap pundakku. “Apa kamu merasa kekurangan? Uang yang kuberikan kurang?”
Aku mengangkat wajah, lalu menggeleng untuk memberikan jawaban.
“Apa kamu menginginkan sesuatu dan aku nggak sanggup memenuhinya?”
Aku menggeleng lagi.
“Terus apa alasan kamu ingin kerja?”
Aku diam dan kembali menunduk. Sejujurnya, aku pun tidak yakin, apa alasan yang membuatku ingin kembali bekerja. Secara materi, kami tak kekurangan meski kadang harus mengatur rencana keuangan. Usaha yang kami rintis pun memberikan pemasukan yang cukup, bahkan masih bisa ditabung sebagian. Meski mungil, kami sudah memiliki rumah untuk dihuni, dan kendaraan roda dua untuk berlalu-lalang. Lalu, apa alasanku ingin bekerja?
“Dek?”
Aku mengangkat wajah. “Aku jenuh, Mas. Aku bosen di rumah terus,” ungkapku.
Mas Burhan menggenggam tanganku. Ia juga menarik tubuhku agar menghadapnya. “Dek, Mas pikir kamu baik-baik saja di rumah. Mas nggak ngerti kenapa sekarang kamu bilang jenuh, sedangkan waktu itu kamu bilang menikmati peran sebagai ibu. Masalahnya di mana?”
Pertanyaan barusan membuatku menghela napas. “Awalnya aku menikmati peran ini, Mas. Memang rasanya menyenangkan saat aku selalu ada buat Mira, melihat perkembangannya. Tapi belakangan ini aku ngerasa bosan. Aku kangen kerja. Aku kangen beraktivitas di luar rumah. Aku kangen tampil rapi, aku pengen wangi kayak dulu lagi.” Kuucapkan semua hal yang mengganjal di dalam hati. Entah, mungkin Mas Burhan akan marah setelah mendengar keluhanku ini.
Namun, perkiraanku salah. Bukannya marah atau kesal, Mas Burhan malah mengusap lenganku. “Terus kamu maunya gimana?” tanyanya dengan nada lembut.
“Ya aku pengennya kerja,” sahutku dengan suara manja.
“Oke, sekarang kamu maunya kerja di kantor lama kamu?”
Aku mengangguk.
“Oke, kamu pengen kerja di sana lagi. Andaikan diterima dan kamu kembali bekerja, lalu bagaimana dengan Mira?”
“Kan bisa dititip ke Ibu, Mas ….”
“Kamu tega?”
Aku mendesah. “Sejujurnya enggak, tapi …,”
“Kenapa kamu begitu ingin kerja?”
Lagi-lagi, aku menundukkan kepala. “Aku kangen sama kehidupanku yang dulu, Mas. Baju rapi, pakai parfum, kulit terawat, bajunya modis, nggak kayak sekarang, bau apek!” keluhku.
“Kan, di rumah juga bisa pakai baju modis. Mau pakai parfum juga boleh.”
“Ya tapi buat apa, Mas?” Aku berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Aku malu kalau ketemu temenku. Penampilanku sekarang kumal, nggak cantik kayak dulu lagi. Apalagi, cita-citaku kan emang jadi wanita karier. Aku pengen punya penghasilan sendiri, Mas. Jadi wanita mandiri yang nggak perlu minta kalau mau beli sesuatu.”
Mas Burhan tersenyum. “Ini masalahnya,” ucapnya sambil menarikku agar duduk lebih dekat. “Kamu dulu pas kita masih pacaran wangi terus, lho. Kulitnya juga lebih terawat.” Ia membelai pipiku. “Di rumah pun kamu berkarier, Dek. Berkarier dalam kesuksesan rumah tangga kita,” ujarnya.
“Ih, itu beda! Rasanya kayak aku nggak dapet reward atas usahaku.”
Mas Burhan terkekeh. “Kata siapa nggak dapat reward? Perempuan solehah itu akan dapat reward surga kalau nurut sama suaminya, selama itu menuruti hal yang tidak bertentangan dengan agama,” katanya.
Aku diam saja, tak menanggapi ucapannya.
“Kalau Mas larang kamu kerja, apa kamu akan nurut?” tanyanya lembut.
Aku masih membisu.
“Dek, Mas tahu kamu memiliki talenta. Mas juga percaya kamu mampu untuk berkarier di bidang ini. Tapi, apa kami tega ninggalin Mira? Dia sangat membutuhkan kamu.” Mas Burhan berkata dengan tenang. “Mira sedang dalam masa perkembangan. Kehadiran kamu sangat penting buatnya. Mas paham, kamu jenuh dengan rutinitas harian, tapi bekerja di luar, itu rasanya bukan pilihan yang tepat,” katanya sambil menggenggam tanganku.
Aku tafakur mendengar ucapannya.
“Mas nggak mau Mira dirawat oleh orang lain selain ibunya. Keinginan kamu untuk kembali bekerja, rasanya bukan pilihan yang tepat. Toh, selama ini usaha Mas masih bisa memenuhi semua kebutuhan kita, kan?”
Ah, aku tak bisa menampik apa yang Mas Burhan katakan.
“Sekarang gini, kalau masalahnya adalah jenuh, Mas kasih gambaran, gimana kalau kamu ikut ngurus usaha Mas juga? Yah, bantuin di bagian penjualan misalnya. Nanti Mas yang turun tangan untuk bagian service, jadi tugasnya kita bagi dua,” ucapnya.
Aku mengangkat wajah. “Maksudnya?”
Mas Burhan membenahi posisinya. “Gini, daripada kamu kerja sama orang, mending kamu bantu Mas di bengkel. Jadi kamu kontrol yang bagian penjualan, dan Mas kontrol bagian service. Jadi kita kerja sama. Waktunya fleksibel, jadi kamu nggak harus ninggalin Mira. Sesempatnya saja biar kamu ada kegiatan selain pekerjaan rumah. Gimana, mau nggak?” tawar Mas Burhan.
Aku menimbang sejenak. Semua yang dikatakan Mas Burhan benar. Apa yang sebenarnya aku cari dengan niat ingin bekerja lagi? Bukankah selama ini usaha bengkelnya sudah bisa mencukupi kebutuhan kami? Aku jadi merasa egois karena berpikir akan menitipkan Mira pada Ibu. “Nggak ada salahnya dicoba, Mas, siapa tahu aku bisa bantu membesarkan usaha Mas,” jawabku akhirnya.
Mas Burhan tersenyum. “Usaha kita, Dek. Bengkel itu bukan cuma usaha Mas, tapi usaha kita,” ucapnya sambil mengusap kepalaku. (*)
Ade Trias adalah wanita kelahirang Pringsewu, 11 November 1991, yang gemar menuangkan imajinasi melalui rangkaian kata.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata