Biarkan Saya Menulis Tentang Engkau Sekali Saja

Biarkan Saya Menulis Tentang Engkau Sekali Saja

Biarkan Saya Menulis Tentang Engkau Sekali Saja

Penulis: Erlyna

Diamlah, Ning. Sebentar saja. Temani saya menulis tentang engkau. Perhatikan baik-baik, akan saya ceritakan dengan apa adanya, tentang ikatan antara kita ini, yang sebenarnya tidak pernah ada.

Selayaknya dongeng-dongeng basi, kisah ini diawali dengan pertemuan yang tidak diprediksi. Saya yang sedang memanggul goni berisi abu gosok, secara kebetulan menabrak engkau yang sedang bermain lempar batu sambil berjongkok.

Tidak ada yang spesial, memang. Kecuali tatapan mata terkejut yang engkau lempar saat menatap kedua bola mata saya yang sedikit juling.

Saya refleks ikut terkejut saat itu juga. Terlebih lagi saat melihat dada engkau yang telanjang, menggelayut di antara jepitan paha yang dibalut celana pendek warna merah terang.

“Apa-apaan itu?”
Dalam waktu yang cukup lama, Ning, saya terus berdialog dengan suara-suara di kepala, perihal apa yang telah saya lihat dari milik engkau.

Bagaimana bisa, Ning? Bagaimana bisa anak seusia engkau memiliki dada yang begitu sintal? Seolah-olah ada balon berisi air yang diselipkan di sana, membuatnya bergoyang dan memantul-mantul saat engkau berlari mengejar kawan-kawan waktu bermain kucing-kucingan.

Saya menakar usia engkau tidak lebih dari sepuluh tahun saat itu. Dengan rambut pendek sebahu, engkau selalu bermain di lapangan belakang sekolah sambil bertelanjang dada. Sepertinya saat itu engkau belum tahu-menahu, arti dari keterkejutan-keterkejutan yang menatap penuh berahi ke arah engkau. Ya, barangkali engkau memang hanya bocah ingusan yang ingin bersenang-senang.

Kemudian saat saya kembali dari pasar, sambil memanggul karung berisi sayur-sayuran yang tidak laku di hari yang lain, sepasang bola mata saya hampir mencuat keluar dan jatuh saat melihat engkau.

Di sana … di gapura kecil, seorang anak laki-laki sedang duduk sambil mengisap es teh yang mirip air kencing, dari dalam kantong plastik bening. Yang membuat saya naik pitam adalah tangannya. Tangan bocah laki-laki itu asyik meremas dua buah balon berisi air di dada engkau tanpa malu-malu.

“Dia hanya bercanda, Mas,” bela engkau saat saya mendekat dan mempertanyakan perilaku temannya.

“Bercanda?”
Saya spontan diam seribu bahasa. Tidak paham lagi harus bereaksi seperti apa.

“Kenapa tidak pakai penutup dada?”

“Kata Simbok harganya mahal.”

“Ada, kok, yang murah.”

“Ada, tapi kata Simbok, anak umur sembilan tahun belum waktunya pakai penutup dada.”

Saya kembali kehabisan kata-kata. Tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan. Saya hanya bisa diam dan membiarkan engkau dan teman-teman melanjutkan bermain gobak sodor, termasuk laki-laki yang tadi meremas-remas balon berisi air milik engkau.

Sebelum saya pergi, bocah laki-laki itu menatap sinis ke arah saya, membuat kecanggungan demi kecanggungan tercipta.
Apa salah saya?

Hari berikutnya, saya tidak mendapati engkau di lapangan, juga di gapura kecil itu. Saya yang pulang dari pasar dengan tangan kosong karena semua dagangan laku, melangkah mengitari kampung hanya untuk mencari tahu di mana engkau berada. Diri ini dibuat terkejut bukan kepalang, saat mendengar suara rintihan dan mendapati engkau sedang terbaring pasrah di antara semak-semak bersama dua orang kawan. Salah satu dari kawan itu, adalah laki-laki kurang ajar yang tempo hari iseng meremas-remas balon berisi air kepunyaan engkau.

Tunggu!
Apa yang engkau lakukan di semak-semak bersama dua orang teman laki-laki, Ning? Lalu, suara siapa yang tadi saya dengar itu?

Seolah-olah bisa membaca pertanyaan demi pertanyaan yang menggelinjang di dalam kepala saya, engkau menatap dengan wajah memelas sambil menunjukkan kedua puting susu di dada, bengkak dan merah.

Usut punya usut, ternyata dua ekor tungau, atau bahkan lebih, telah mengisap cairan puting yang kenyal itu. Saya lalu bertanya apa yang terjadi sampai engkau merintih. Rupanya dua teman laki-laki engkau itu sejak tadi menggigit-gigit puting susu engkau hingga meradang. “Supaya tungaunya mati,” katanya.

Tanpa pikir panjang, saya refleks mengayunkan tangan kasar saya ke wajah-wajah yang menatap dengan kesal itu.

“Bocah kurang ajar!”

“Sampean yang kurang ajar, Mas.” Kerjaannya mengganggu saja!”

Saya kembali kehabisan kata-kata. Melamun sambil memikirkan siapa yang sebenarnya sakit jiwa. Saya, kedua bocah yang menatap tajam, atau engkau yang terus menggaruk-garuk balon air di dada dengan gelisah.

Saya lalu bangkit sambil membopong tubuh engkau yang bentol-bentol usai berguling-guling di atas rumput. Saya bawa engkau menjauh, menyusuri setapak yang diapit pohon tebu, lalu berakhir masuk ke dalam sebuah gubuk bambu.

“Di mana ini?”

“Rumah saya.”

“Kenapa saya dibawa kemari?”

Saya kembali kehabisan kata-kata. Sebagai gantinya, saya mendekati engkau, mendorong tubuh sintal itu hingga terempas ke dipan bambu dan balon air itu berputar-putar dengan begitu menggoda.
Sekarang saya tahu, kenapa dua bocah laki-laki kurang ajar itu begitu bernafsu menggigiti dua puting yang kini tepat berada di depan hidung saya.

Memangnya, apa lagi yang harus saya lakukan, Ning?

Saya yang mulai kesetanan, menggerayangi apa saja yang melekat di sana. Ya, ternyata saya juga begitu tidak tahu malu saat menggila.

Bahkan saat kisah ini hampir usai dituliskan, baik saya maupun engkau, tidak pernah tahu hubungan macam apa yang telah terjalin selama dua puluh tahun ini, begitu juga delapan bocah yang kini duduk berjajar mengitari lampu minyak, menunggu akhir kisah kita ini.

 

Purworejo, September 2020

 

Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak.

Leave a Reply