Tangan di Tubuhnya
Oleh : Ardhya Rahma
Susi pulang! Setelah lima tahun hidup di kota, akhirnya dia pulang juga. Dia terlihat berbeda. Tubuhnya yang dulu cungkring, sekarang tampak berisi pada tempat yang tepat. Kulitnya yang dulu legam, sekarang menjadi bersih. Bukan putih, karena itu tak mungkin terjadi pada Susi yang berkulit hitam. Sekarang, Susi menjadi cantik.
Bukan sekadar cantik juga, Susi terlihat seperti gadis kota. Penampilannya rapi dan wangi. Dari baju, sandal, dan tas, semua serasi, berbeda sekali dengan aku, Asih, Siti, dan Minah—sahabatnya sewaktu kecil. Penampilan kami bagaikan bumi dan langit dengannya.
Apakah aku iri melihatnya? Sudah pasti. Bukan cuma aku, Asih, Siti, juga Minah. Kami semua iri melihat Susi. Namun, beda dengan sahabatku yang lain. Aku iri bukan pada perubahan penampilan Susi, tapi pada peralihan ekonominya. Dulu kondisi ekonominya sama denganku, tapi sekarang berbeda jauh.
Rumah Susi tak lagi beralas tanah seperti tempat tinggalku. Dinding tembok dan lantai keramik menunjukkan tingkat kemapanan ekonomi yang dia miliki. Aku jadi membayangkan betapa enaknya kalau rumahku seperti itu. Emak tak perlu kambuh lagi asmanya karena kedinginan terkena angin yang menelusup lewat celah anyaman bambu. Rumahku memang sangat sederhana, hingga sebenarnya lebih tepat disebut gubuk.
Melihat semua perubahan tersebut tentu saja membuat kami, teman-temannya sejak kecil, tertarik. Bagaimanapun hidup kekurangan itu tidak enak, apalagi harus merasakannya seumur hidup.
Desa kami yang tandus, tentu saja menimbulkan banyak kesulitan. Bertani tidak mudah kami lakukan. Mau mengerjakan yang lain, kami juga tak tahu harus melakukan apa.
Akhirnya banyak sekali warga desa yang pergi merantau. Termasuk Susi. Namun, hanya Susi yang hidupnya berubah secara drastis. Padahal dari cerita mereka, hanya Susi yang pekerjaannya paling mudah.
Banyak warga desa yang melakukan pekerjaan kasar di kota. Sementara Susi memilih bekerja sebagai pelayan restoran.
“Gimana, sih, Sus, caranya kerja di kota?” tanyaku suatu sore.
“Kenapa? Kamu tertarik?” Dia bertanya balik.
“Iya. Aku pengen mengubah nasib. Kasihan Bapak, tubuh rentanya harus dipaksa bekerja keras menggarap sawah yang tak seberapa luasnya. Sementara aku, tak banyak yang bisa aku lakukan sebagai buruh tani. Emak? Penyakit asmanya sering kambuh, jadi gak bisa dipaksa jualan kue. Lagi pula sudah jarang ada yang beli,” jelasku.
“Terus … kamu mau kerja apa?” tanya Susi.
“Mau kerja seperti kamu,” jawabku lugas.
“Jangan! Pekerjaanku berat. Kamu pasti gak mau,” ucapnya.
Aku tak tahu apa, sih, yang membuatnya menolak keinginanku ikut ke kota. Setiap didesak untuk memberikan alasan, kamu selalu menghindar. Seolah tak ingin sahabatmu ini juga mencicipi kehidupan enak yang kamu miliki.
Beberapa hari aku sengaja menghindarinya. Masih sebal rasanya, mengetahui punya sahabat yang tak peduli nasib teman karibnya. Apalagi ketika kudengar dari Siti, Minah akan ikut bekerja dengannya di kota. Mereka akan berangkat minggu depan. Aku menganggap Susi pilih kasih dan tidak setia kawan.
“Kamu marah kepadaku, ya, Warni?” tanya Susi sore itu.
Aku diam saja dan tetap melakukan pekerjaan menampi beras. Susi melangkah dan mendekat. Dia ikut duduk di bangku kayu di sebelahku. Aku tetap tak mengacuhkannya.
“Aku melakukannya karena sayang padamu. Aku tak ingin kamu menyesali keputusanmu,” katanya.
“Kenapa aku harus menyesal?” cetusku.
“Karena pekerjaanku tak semudah yang orang lain kira,” sahutnya.
“Kamu kan tahu aku ini pekerja keras. Aku pasti sanggup melakukan pekerjaan seberat dan sekasar apa pun,” janjiku.
“Ini bukan tentang pekerjaan kasar. Ini masalah hati. Aah, sulit aku menjelaskannya tanpa kamu melihatnya sendiri,” pungkasnya.
“Ya sudah, ajak aku melihatnya, aku pasti sanggup,” pintaku.
“Baiklah kalau begitu maumu, Warni. Tapi kalau nanti kamu tak sanggup, tak apa, aku carikan pekerjaan lain.” Akhirnya Susi pun pasrah melihat kengototanku untuk ikut bekerja dengannya.
Bukan karena aku ingin berubah jadi lebih cantik seperti Susi. Aku hanya ingin keluargaku hidup lebih nyaman daripada sekarang.
“Warni, anakku …. Tubuhmu adalah milikmu. Juga milik Tuhanmu. Jagalah sebaik mungkin. Jangan biarkan orang yang tak berhak menyentuh tubuhmu.”
Nasihat Bapak yang beliau sampaikan sebelum aku berangkat ke kota hari ini. Beliau terlihat sedih melepas kepergianku. Meskipun tidak menangis seperti Emak dan Iwan—adikku—tapi sorot matanya menunjukkan sebenarnya beliau tak rela berpisah denganku.
Sebenarnya aku pun sama. Sedih harus tinggal jauh dengan mereka. Namun, aku harus melakukannya kalau ingin mengubah nasib keluarga. Sehinga aku menutupinya dengan tetap tersenyum di hadapan mereka.
Ternyata, apa yang dibilang Susi itu benar. Pekerjaannya sangat berat. Awalnya aku menolak karena tak sanggup. Namun, ketika mendengar Bapak terjatuh di sawah, aku tak punya pilihan lain.
Sekarang, aku pun mengikuti jejak Susi. Aku mengubah namaku menjadi Winda. Winda, yang tidak pernah dapat nasihat dari bapaknya seperti Warni. Winda yang menganggap tubuhnya bukan lagi milik dia, tapi milik semua tangan yang membayarnya. (*)
Surabaya, 7 September 2020
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.
Editor : Fitri Fatimah