Yang Terbaik
Oleh : Dhilaziyah
Sari tersenyum menatap kertas ulangan yang baru saja dibagikan. Tujuh puluh delapan. Lumayan. Baginya, nilai ulangan Kimia sebesar itu sudah luar biasa. Upah dari upaya mati-matian menghafalkan rumus dan istilah yang memusingkan kepala.
“Kamu dapet nilai berapa, Nuk?” tanya Sari pada Menuk, teman sebangku.
“Delapan puluh lima.” Bangga Menuk sambil memamerkan kertas ulangan.
“Hebat! Aku segini saja sudah bersyukur,” sahut Sari.
Bergantian dengan teman lain, mereka saling menanyakan nilai. Ruang kelas ramai dengung celoteh dan tawa. Beberapa merutuk mendapati nilai yang mengharuskan mereka menjalani remidi.
“Perbaikan kita lakukan pertemuan berikutnya, ya. Jumat besok berarti. Yang mendapat nilai kurang dari enam puluh lima, persiapkan diri lebih baik.” Suara Pak Tomo meningkahi kebisingan.
Bodo amat!
Yang penting tidak perlu ulangan perbaikan. Meski berada di kelas jurusan IPA, Sari kurang cakap di pelajaran Kimia. Horor. Jadi bagi Sari asal bisa mendapatkan nilai aman, itu cukup. Begitu juga bagi anggota geng mereka. Ya, sebagaimana biasa anak remaja, Sari punya geng. Terdiri dari enam anak perempuan. Sari, Menuk, Yanti, Diah, Isti, dan Yayuk.
Mereka dikenal sebagai geng elit. Bukan karena berasal dari keluarga kaya atau penampilan menawan, tetapi mereka populer karena prestasi. Siapa tak kenal mereka di sekolah? Peringkat umum mulai angka dua hingga sepuluh selalu tercantum nama mereka.
“Eh, liatin tuh si Retno, nilai udah paling tinggi, masih juga manyun,” celoteh Yayuk.
“Kayak nggak tahu dia saja. Si nona sempurna.”
Menuk menimpali diiringi anggukan teman yang lain.
“Udah, ah, biarin aja. Ke kantin, yuk.”
Ajakan Yanti menghentikan pembicaraan, kemudian semua bergegas keluar kelas.
***
Sari dan Retno berteman cukup akrab. Kebetulan rumah mereka searah sehingga seringkali mereka berangkat dan pulang sekolah bersama. Meskipun berbeda karakter, mereka bisa saling menjaga. Sari yang ceria sementara Retno cenderung introvert.
Sesekali mereka bergantian menginap. Keluarga mereka cukup dekat. Meski Retno tidak tergabung dalam geng Sari di sekolah, bukan berarti mereka tidak akrab. Retno jelas kurang sesuai dengan karakter pasukan Sari yang heboh.
“Udah, jangan dipikirin terus. Kan nilaimu udah paling bagus,” kata Sari saat mereka menunggu angkot untuk pulang.
“Tetep aja. Cuma gara-gara salah satu soal, nilaiku jadi ga sempurna, nyesel rasanya.”
“Yaelah, Ret. Apa kabar ama nilaiku, hahaha.” Sari tertawa sementara Retno tetap kurang puas.
Kedua orangtua Retno adalah guru. Ibunya mengajar di SD, sementara ayahnya guru di sebuah SMU. Ibu Sari dan Retno adalah rekan sejawat, sedang ayah Sari seorang pedagang.
***
Dengan koneksi yang dimiliki, dukungan yang diterima dari orang tuanya sungguh Retno luar biasa. Dia punya semua buku cetak untuk setiap mata pelajaran. Bahkan tidak cukup satu buku untuk satu mata pelajaran. Untuk Fisika misalnya, dia punya tiga buku paket dari tiga penerbit, begitu pun Matematika.
Sedangkan Sari? Dia cukup satu saja untuk tiap mata pelajaran. Bahkan, ada yang hanya berupa fotokopian saja. Bergantian dengan teman satu geng. Mereka kompak membeli buku secara bergilir. Salah satu beli buku cetak, yang lain cukup memfotokopi. Demi sebuah asas, pengiritan.
Maklum saja, Sari bukan berasal dari keluarga berada. Dia juga harus berbagi dengan kedua adik yang berdekatan usianya. Semua membutuhkan biaya besar untuk sekolah.
Jika Retno masih difasilitasi dengan aneka les tambahan, tidak bisa hal itu juga dilakoni Sari. Jujur, ada iri yang menyelinap di hati Sari. Iri pada karakter Retno yang lembut. Pada kulitnya yang cemerlang. Pada parasnya yang rupawan. Pada fasilitas yang dimiliki. Pada kondisi keuangan keluarga. Pada mata para teman yang memandang penuh kekaguman. Pada peringkat juara umum yang selalu disandang.
Sari menutupi gejolak rasa iri yang dimiliki dengan baik. Dia tidak membiarkan seorang pun tahu. Tidak orang tua, teman atau siapa jua. Sadar jika itu bukan hal yang baik, meski dia juga belum sanggup mengenyahkan rasa itu. Terkadang kehidupan seseorang memang terlihat begitu sempurna, sehingga kecemburuan orang lain hadir seolah sudah semestinya.
Nilai Ujian Nasional Retno yang terbaik di sekolah. Nyaris sempurna. Ditambah kenyataan Retno diterima kuliah tanpa tes. Di sebuah kampus negeri di Kota Hujan. Benar-benar sempurna.
***
“Nduk, tadi Bapak ketemu Pak Slamet. Bapaknya Retno. Katanya, kamu disuruh mampir.”
Bapak memberitahu Sari sepulang dari menghadiri acara penikahan seorang teman dagang.
“Emang ada apaan, Pak?”
“Yo, ndak tahu. Cuma kata Pak Slamet, si Retno nanyain kamu.”
“Oh, oke.”
Sari sedang menikmati liburan semester gasal. Dia pulang dari tempat kos-nya di Jogja kemarin sore. Sari dan Diah belajar di kampus yang sama, setelah lolos ujian masuk di kampus ternama di Kota Gudeg.
Biasanya memang Sari dan Retno bertemu saat liburan semacam ini. Merenda kebersamaan yang terhalang jarak dan kesibukan.
Setelah mengucap salam, Sari tertegun mendapati dirinya disambut oleh dekapan erat Bu Slamet. Seiring dengan isakan lirih dan getar badan yang terasa jelas.
“Ada apa, Bu?”
Meski bingung, Sari mengusap punggung ibu sahabatnya. Mencoba memberi rasa nyaman, tanpa tahu apa yang terjadi.
“Tengoklah Retno. Dia menanyakanmu terus.”
“Apa … Retno sakit? Sakit apa?”
Tanpa sepatah kata, Bu Slamet menggandeng menuju kamar Sari.
Sari nyaris tak mampu bernapas. Air matanya berderai, disusul isak yang terlambat ditahan. Retno, sang putri impian, duduk di sudut ranjang. Cantik seperti biasa. Hanya saja, tatapannya kosong. Tanpa binar, tanpa makna. Retnonya yang rupawan dan menawan, tenggelam dalam dunia gelap. Ditemani bisikan dan bayangan yang tak bisa dipahami orang lain.
Schizhoprenia.
Diagnosa dokter memastikan penyakit yang menghempas Retno dari riuh rona kehidupan. Sekaligus menyadarkan Sari, saat Tuhan mengingatkannya pada rasa iri yang pernah bersemi.(*)
DZ. 241218
Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.