Kutemukan Cinta di Panti Jompo
Oleh : Ina Agustin
Ranti, seorang gadis berusia 24 tahun selalu meluangkan waktunya sepulang kerja, berkunjung ke “Rumah Senja”, sebuah panti jompo. Ia sering bertandang dengan membawakan makanan untuk para lansia.
Ranti juga sering membacakan cerita kepada mereka, atau sekadar menjadi teman mengobrol.
Setelah beberapa kali berkunjung, Ranti menjadi sangat akrab dengan seorang wanita berusia tujuh puluh tahunan. Gurat halus di wajah dan rambut yang hampir memutih sempurna, sama sekali tak menyembunyikan kecantikannya. Gadis itu memanggilnya “Ibu Karina”.
“Ranti!” panggil Ibu Karina.
“Iya, Bu,” sahut wanita berjilbab itu.
“Tolong bimbing Ibu ngaji, ya!”
“Baik, Bu.”
“Ibu sudah lama tidak mengaji.”
Saat Ranti mengambil Al-Qur’an, tiba-tiba Ibu Karina terdiam lalu menuju jendela memandangi hujan yang baru saja turun. Matanya berkaca-kaca.
“Ibu kenapa?”
“Ibu ingat anak-anak. Dulu waktu mereka masih kecil, suka main hujan-hujanan.”
“Sekarang mereka di mana, Bu?”
“Ada yang di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Tangerang. Sudah tiga tahun ini mereka enggak jenguk. Sepertinya mereka lupa. Bahkan si bungsu Alfin pun, yang biasa jenguk, sekarang sudah tidak peduli lagi.” Air matanya menganak sungai.
“Sabar, ya, Bu! Insyaallah suatu saat nanti mereka ke sini,” hibur Ranti.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bongkahan rindu itu semakin menancap kuat. Namun, tak ada satu pun anak Ibu Karina yang datang menjenguk. Hal itu membuatnya sedih. Sebisa mungkin Ranti menghiburnya. Pengurus panti pun merasa terbantu atas kehadiran gadis itu.
Sampai di suatu hari, saat Ranti berkunjung untuk menghibur penghuni panti, akan tetapi, ia tidak menemukan Ibu Karina seperti biasanya.
“Ibu Karina di mana, ya, Bu?” tanya Ranti pada petugas panti.
“Ibu Karina sedang dirawat di rumah sakit. Semalam jantungnya kumat,” sahut Bu Aida.
Ranti meminta alamat rumah sakit yang dimaksud. Kemudian ia bergegas pergi.
Setelah bertanya pada resepsionis, ia melangkah ke ruangan tempat Ibu Karina dirawat.
Bulir bening menetes membasahi pipinya. Ia dapati Bu Fitri sedang menunggui Ibu Karina yang belum sadarkan diri.
“Ibu sudah menghubungi keluarganya?” tanya Ranti pada wanita bermata bulat itu.
“Sudah, Nak. Tapi ….”
“Tapi kenapa, Bu?”
“Mereka bilang sedang sibuk urus bisnis.”
Astagfirullah! Sesibuk itukah sampai-sampai mereka tidak mau menyempatkan diri menemui ibunya? Seorang ibu yang sudah susah payah mengandung, melahirkan bertaruh nyawa, serta merawat tanpa kenal lelah? Ranti membatin.
Ranti yang sudah ditinggal kedua orangtuanya sejak SMP itu seolah ingin menyampaikan pada anak-anak Ibu Karina, bagaimana pedihnya kehilangan kedua orangtua. Mereka akan menyesal jika suatu saat orangtua telah tiada.
Kemudian Ranti meminta pada Bu Fitri nomor salah satu anak Ibu Karina. Wanita yang sudah sepuluh tahun lebih bekerja di panti itu memberikan nomor Alfin.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam, ini siapa ya?” sahut Alfin.
“Saya Ranti Kharunnisa.”
“Maaf, saya tidak kenal.”
“Anda memang tidak mengenal saya. Namun, saya mengenal ibu Anda yang bernama Karina.”
Alfin terkejut.
“Dari mana Anda kenal ibu saya?”
Kemudian Ranti menjelaskan semuanya.
“Maaf, Pak. Saran saya, sebaiknya Bapak segera melihat keadaan Ibu Karina!”
“Tapi saya si—”
“Sesibuk apakah hingga seorang anak mengabaikan ibu kandungnya sendiri?”
Deg!
Alfin menutup sambungan telepon.
Berdasarkan cerita Ibu Karina, bahwa hanya si bungsu Alfin yang belum berkeluarga itu, yang biasanya peduli. Namun sejak mengurus bisnisnya yang sedang naik daun, ia mulai lupa dengan sang ibu.
Gadis berpostur tinggi langsing, berkulit kuning langsat, dan berhidung mancung itu rela menemani dan merawat Ibu Karina di rumah sakit hingga kondisinya membaik.
“Selama Ibu tidak sadarkan diri, adakah keluarga yang jenguk Ibu, Nak Ranti?” tanya wanita yang beberapa gigi serinya sudah tanggal itu.
Ranti menggeleng dan berkata, “Eng-enggak ada, Bu. Tapi Ibu jangan sedih, ya! Ada Ranti di sini. Kalau butuh apa-apa, Ibu bilang aja!”
“Terima kasih ya, Nak, kamu baik sekali. Anak-anak Ibu malah tidak peduli,” cetusnya sembari mengusap cairan bening yang keluar dari kedua ujung matanya.
Setelah kondisi Ibu Karina membaik, Ranti mengantarnya kembali ke panti. Gadis berdarah Jawa itu tak bosan-bosannya mendampingi Ibu Karina dan menghibur penghuni panti yang lain.
Setiap hari Ibu Karina selalu bercerita pada Ranti. Bercerita semua hal sejak ia masih gadis hingga berkeluarga dan ditinggal mati oleh suaminya. Semakin hari mereka semakin akrab. Ibu Karina sudah menganggap Ranti seperti anak sendiri.
***
“Tidak! Jangan lakukan itu!” teriak Alfin ketakutan saat melihat sesosok makhluk berjubah hitam dan berwajah garang.
Keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Ia terbangun dan membuka mata.
“Untung hanya mimpi,” gumam Alfin.
Awalnya laki-laki berdada bidang itu menganggap hal biasa. Namun, setelah mimpi itu terjadi tiga malam berturut-turut, ia mulai kepikiran.
Beberapa bulan kemudian, perusahaan Alfin gulung tikar. Ia ditipu habis-habisan oleh rekan bisnisnya sampai tidak menyisakan sedikit pun harta.
Alfin stres. Ia kadang berteriak sendiri. Untung saja ada teman yang selalu menasihatinya.
“Apa Mas Alfin masih punya ibu?” tanya laki-laki berpeci yang bernama Faris itu.
“Ibu?”
Ia bergeming. Bulir bening menetes dari kedua matanya. Sudah tiga tahun lebih ia tidak menjenguk ibunya di panti karena terlalu sibuk mengurus “dunia”.
Astagfirullah! Mungkinkah ini teguran dari-Mu, ya Robbi?
Kemudian pemuda yang bernama lengkap Alfin Mulyawan itu menelepon saudaranya yang lain agar bisa bersama-sama menjenguk sang ibu. Namun, lagi-lagi kata “sibuk” sebagai alasan mereka.
Ia bergegas menuju terminal, lalu masuk ke bus jurusan Tangerang-Bogor.
Sampailah di Rumah Senja. Kembali air matanya tumpah. Dadanya terasa sesak. Ia masih ingat betul saat pertama kali mengantarkan ibunya ke panti ini. Seorang wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya.
Ia melangkah menuju pintu garasi. Seorang wanita paruh baya menyambutnya hangat, lalu mempersilakan masuk.
“Pak Alfin?” Bu Aida mengernyitkan dahi.
“Iya, Bu, saya Alfin. Saya minta maaf baru bisa ke sini sekarang,” jawabnya dengan nada menyesal.
Alfin melangkah ke sebuah ruangan. Di dalamnya terdapat lima buah kasur yang ditopang oleh ranjang berukuran sama. Di sudut sebelah kanan, berjajar lima buah lemari mini yang terbuat dari kayu. Ia mendapati seorang gadis sedang menyuapi perempuan sepuh.
“Ibu ….” Tenggorokannya tercekat.
Ranti dan Ibu Karina menoleh ke arahnya. Perempuan dengan rambut digelung itu seperti menemukan sebuah benda yang telah lama hilang. Sedangkan Ranti hanya bergeming saat melihat keduanya. Alfin menghampiri ibunya, lalu ia mencium tangan yang sudah keriput itu.
“Ma-maafkan Alfin, Bu,” ucapnya terbata-bata.
Alfin menghambur dalam pelukan ibunya. Sang ibu mengusap lembut rambut anak bungsunya itu. Terobati sudah rindunya pada sang anak.
Kemudian Alfin bercerita tentang perusahaannya yang sudah collapse.
“Nak, kenalkan ini Ranti. Dia yang selama ini ada untuk Ibu. Ranti selalu menghibur Ibu dan membacakan cerita pada kami para penghuni panti. Ranti juga membantu merawat kami di sini guna meringankan pekerjaan petugas panti,” jelasnya dengan nada tenang.
Lalu Alfin menjulurkan tangan untuk bersalaman. Namun, Ranti dengan sopan menangkupkan kedua tangan di depan dada sembari berkata, “Salam kenal, Mas Alfin, saya Ranti Khairunnisa.”
Alfin menautkan alis. Ia ingat betul nama itu. Nama yang ia dengar melalui telepon beberapa bulan lalu. Alfin menatap Ranti. Matanya seolah tak mau berkedip. Aku seperti melihat bidadari.
“Ma-maaf, saya pulang dulu ya, Bu? Insyaallah, besok pulang kerja ke sini lagi,” ujar Ranti mengalihkan perhatian.
“Iya, Sayang,” jawab Ibu Karina.
Alfin senyum-senyum sendiri.
“Kamu naksir, ya?” goda sang ibu.
Alfin tersenyum. Pipinya memerah sesaat setelah sang ibu berkata demikian.
Keesokan harinya, sepulang kerja, seperti biasa Ranti ke panti. Ia membawakan makanan untuk para penghuni panti. Selain itu ia pun menceritakan kisah Nabi Yusuf yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari saudara-saudaranya. Kemampuannya dalam bercerita membuat para penghuni panti takjub.
Mereka semua menyimak penuturan Ranti. Saat itu Ibu Karina duduk di belakang bersama Alfin.
“Ibu lihat kamu tak melepas pandangan dari Ranti,” celetuk Ibu Karina pada anaknya yang sedari tadi menatap Ranti.
“Ah, mungkin hanya perasaan Ibu saja,” sahut Alfin sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Cerita usai. Para penghuni panti kembali ke kamarnya masing-masing. Namun Ibu Karina bersama anaknya berbincang di halaman belakang.
“Fin, usiamu sudah tiga puluh tahun. Kamu sudah cukup matang untuk menikah.”
“Tapi, Bu, mau dikasih makan apa istri Alfin nanti? Alfin beneran sudah tidak punya apa-apa lagi. Semuanya sudah habis. Bahkan, rumah Ibu yang Alfin tempati pun akan disita pihak bank.”
“Menikahlah dengannya, Nak! Ranti gadis yang baik. Ibu sayang sekali sama Ranti. Terkait biaya, kamu tidak perlu khawatir. Jual saja tanah warisan Ibu yang ada di Kampung Dukuh. Surat-suratnya Ibu simpan di laci kamar depan.”
“Apa ini enggak terlalu cepat, Bu? Maksudnya, apa Ranti sudah siap menikah? Kami kan baru kenal. Apa tidak sebaiknya kami pacaran dulu?”
“Ranti pernah berkata pada Ibu bahwa dia tidak mau pacaran sebelum menikah. Dia hanya ingin pacaran dengan kekasih halalnya.”
Ibu Karina bercerita tentang seluk-beluk Ranti yang sudah ditinggal kedua orangtuanya. Ranti dibesarkan oleh paman dan bibinya. Namun setelah bekerja, ia memilih tinggal sendirian di kos-kosan agar lebih dekat dengan tempat kerjanya.
“Apa Ranti-nya mau sama Alfin, Bu?” tanya Alfin ragu.
“Ibu akan tanyakan.”
Setelah Ranti selesai menyapu dan mengepel panti, kemudian Ibu Karina memanggilnya ke ruangan yang biasa dipakai untuk makan bersama. Alfin hanya tertunduk malu.
“Nak, apakah kamu sudah punya calon suami?” tanya Ibu Karina pada gadis itu.
Ranti terkejut. Tak menyangka Ibu Karina akan bertanya hal demikian.
“Be-belum, Bu.”
“Maukah Nak Ranti menikah dengan Alfin?”
“Apa?” Ranti tergemap.
“Ibu sudah anggap Nak Ranti seperti anak sendiri. Akan lebih bahagia lagi jika kamu mau menjadi menantu Ibu.”
Ranti diam untuk beberapa saat. Ia menghela napas perlahan dan mengatur irama degup jantungnya.
Ranti menatap bola mata wanita yang telah menghiasi hari-harinya. Sorotan mata yang memberikan ketenangan. Darinya, ia kembali merasakan kasih sayang seorang ibu.
Ranti meminta waktu selama tiga hari untuk salat Istikharah dan bermusyawarah dengan paman dan bibinya. Biar bagaimanapun, mereka berjasa dalam hidup Ranti.
Tiga hari berlalu, akhirnya Ranti memberi jawaban pada Ibu Karina dan Alfin.
“Bismillah, saya bersedia menikah dengan Mas Alfin,” ucapnya mantap.
“Alhamdulillah,” jawab Ibu Karina dan Alfin penuh syukur.
“Tapi Ibu harus berjanji satu hal!” pinta Ranti.
“Apa itu?”
“Setelah kami menikah, Ibu harus tinggal bersama kami. Karena Ranti ingin mengurus ibu mertua layaknya ibu sendiri.”
Ibu Karina pun tersenyum lega.
Hasil penjualan tanah Alfin gunakan untuk biaya pernikahan, membeli sebuah rumah sederhana di kawasan Tangerang-Banten, serta membuka usaha kecil-kecilan.
Akad dan resepsi digelar. Semua anak dan cucu Ibu Karina berkumpul. Bisnis anak-anaknya mengalami kebangkrutan. Mereka sadar itu adalah teguran dari Allah karena mereka sudah mengabaikan ibu kandungnya sendiri.
***
Hujan turun deras sekali. Harum wangi petrichor menenteramkan hati. Dinginnya udara membuat Ranti merekatkan sweternya. Ia duduk di sisi ranjang sembari menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Pancaran wajah dan senyumnya membuat Alfin terpesona.
Perlahan laki-laki bertubuh kekar itu mendekati Ranti, lalu membuka kain yang menutupi rambutnya. Ia mengusap lembut kepala Ranti dan menatapnya lekat. Desiran hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Mereka saling mendekatkan wajah.
“Mas, boleh tanya sesuatu?”
“Boleh.”
“Kenapa Mas mau menikah denganku padahal kita belum pernah saling kenal?”
“Aku yakin pilihan Ibu tidak akan salah.”
“Oh, jadi, Mas menikahiku karena Ibu?”
“Eng-enggak juga, sih. Karena ….”
“Karena apa, Mas?”
“Karena aku sudah jatuh hati padamu sejak pertama kali bertemu.”
“Selain cantik, kamu juga penolong,” lanjut Alfin sembari menatap dan memegang tangan Ranti.
Pipi Ranti bagai tomat rebus. Lengkungan indah terukir di bibirnya.
“Sudah siap?”
“Si-siap mau ke mana, Mas?” sahut Ranti menahan tawa.
Alfin mengusap ubun-ubun Ranti seraya melantunkan doa. Kemudian laki-laki berambut cepak itu mendaratkan sebuah kecupan di bibir Ranti, lalu…
“Jangan sekarang, Mas!” seru Ranti.
“Kenapa? Bukankah kita sudah halal?” tanya Alfin sembari menautkan alis.
“Saya baru dapat tamu bulanan usai resepsi tadi.” (*)
Ina Agustin lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986, ini adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak laki-laki. Penulis sekeluarga tinggal di Kota Serang, Banten. Hobi membaca, menulis, dan membuat kudapan/camilan. Fb: Ina Agustin. Moto: “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!”
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata