Tragedi Buaya Darat dan Buaya Putih

Tragedi Buaya Darat dan Buaya Putih

Tragedi Buaya Darat dan Buaya Putih

Oleh: Tiska Yuli Setiowati

 

Pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah Kerajaan Buaya Putih yang dipimpin oleh seekor raja buaya yang bijaksana dan memiliki seorang permaisuri berparas jelita. Mereka dikaruniai sepasang anak kembar. Puspa dan Seruni. Dua anak buaya yang berparas ayu seperti sang ibu.

Hari demi hari berlalu. Putri kecil tumbuh dewasa. Puspa dan Seruni menjelma menjadi buaya yang manis nan elok rupa. Tutur katanya halus, lembut dan berbudi bahasa. Puluhan buaya dari kerajaan lain datang hendak melamar. Namun, tak ada satu pun yang diterima. Mereka belum mau menikah. Hatinya masih ingin mencari buaya yang tepat menjadi pendampingnya.

Di suatu senja, kala surya bersiap kembali ke peraduannya, sang putri sedang berjalan-jalan. Berkeliling sekitar istana, menikmati indahnya langit jingga. Tanpa sadar, mereka nyaris melewati batas kerajaan.

Seertttt ….

Tiba-tiba sebuah busur menerjang tubuh Seruni. Seorang manusia datang menyerang mereka. Seruni yang tengah terluka, tiada daya untuk melawan. Raganya sudah lemah. Puspa mencoba menyerang. Namun, manusia itu begitu sakti untuk dikalahkan. Keduanya nyaris di ujung kematian.

Datanglah, seekor buaya lain yang cukup besar. Dia melecutkan ekornya ke tubuh manusia itu. Mengarahkan moncongnya ke badan sang manusia. Gigi-giginya yang tajam siap menerkam, mengoyak tubuh mangsanya. Pergulatan hebat terjadi. Perlawanan yang sengit di antara keduanya.

Akhirnya sang buaya berhasil memenangkan pertempuran. Manusia itu roboh bersimbah darah. Sagara, buaya darat yang telah menolong sang putri, segera mengantar keduanya kembali ke istana.

Seruni yang terluka parah segera diobati. Tabib kerajaan dipanggil untuk menolong sang putri. Sagara membantu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Diam-diam, perlahan benih cinta mulai tumbuh di hati Seruni.

Namun, lain halnya dengan Sagara. Dia justru jatuh hati pada Puspa. Begitu juga sebaliknya. Puspa dan Sagara saling mencinta.

Setelah Seruni sembuh. Sang raja berencana menikahkannya dengan Sagara sebagai ucapan terima kasih atas jasa-jasa Sagara selama ini. Seruni sangat gembira. Ayahnya bisa mengerti perasaannya. Namun, berbeda dengan Puspa dan Sagara. Mereka tak mampu bicara apa-apa. Mereka hanya bisa menuruti keputusan sang raja. Mengubur cinta mereka.

Pesta perkawinan pun tiba. Wajah Seruni tampak bahagia. Pipinya merona bersemu merah jambu. Lain halnya dengan Sagara. Di wajahnya mengalung duka. Bagaimana dia bisa bahagia jika yang dinikahi bukan sosok yang dia cinta?

Saat malam pertama, Putri Seruni sudah siap untuk berlayar. Jala sudah ia tebar. Umpan pun telah dipasang. Sagara tampak kikuk. Bingung harus berbuat apa. Ingin menolak, tetapi ada yang bergejolak. Terkadang nafsu mengalahkan rasa. Tak ada cinta, tetapi saat digoda meleleh juga. Malam menjadi saksi. Bisik angin memberi bukti. Desah kenikmatan yang telah terpuaskan.

Di sudut ruang yang lain, ada hati yang hancur. Sang bayu kata, raga mereka telah melebur. Setelah pernikahan saudara kembarnya, Puspa menjadi murung. Menahan cemburu yang kian mengungkung.

“Puspa, aku rindu,” ucap Sagara malam itu.

Dia berhasil menyelinap masuk ke kamar pujaan yang dia cinta. Menumpahkan kerinduan yang dia pendam.

“Sagara, pergilah. Kau sudah menjadi milik Seruni. Aku tak mau merusak hubungan kalian.” Ada luka yang berusaha Puspa sembunyikan.

Namun, Sagara paham. Direngkuhnya tubuh indah itu. Membawanya ke peraduan panjang nan menggairahkan. Menyusuri tiap titik kenikmatan. Hingga masing-masing terpuaskan.

Malam itu, istana gonjang-ganjing. Puspa dan Sagara tersudut, tak mampu lagi mengelak dosa. Sang raja murka. Kesetiaan adalah prinsip hidup sebagai buaya. Akan selalu setia dan mencintai pasangan sampai tua. Hingga nanti ajal tiba.

Beliau amat marah, melihat putri yang ia sayangi berbuat hina. Melakukan hal yang sangat memalukan. Terlebih lagi dengan suami saudaranya sendiri.

“Enyahlah kalian berdua dari sini! Aku tak sudi, istana ini dikotori oleh kalian. Pergi! tinggalkan istana ini. Mulai sekarang, kalian bukan lagi keturunanku!“ teriak sang raja sambil mengusir Puspa dan Sagara.

Puspa dan Sagara meninggalkan kerajaan. Mereka memulai kehidupan baru mereka. Meskipun tak lagi tinggal di kerajaan, keduanya merasa bahagia. Mereka dapat hidup bersama dan saling menyayangi.

Malam itu, bulan purnama memancarkan sinarnya. Terang menghiasi gelapnya dunia. Puspa dan Sagara tengah mengulang kesalahan indah mereka. Bersiap menyelami palung terdalam. Menelusuri tiap inci bumi. Hingga tiba di ujung gunung tertinggi. Menikmati tiap desir angin yang berembus. Hingga tiba di puncak kenikmatan.

Tiba-tiba angin bergemuruh. Suara petir bersautan. Kilat saling menyambar. Puspa dan Sagara yang tengah berada di palung surgawi tak menghiraukan datangnya badai. Mereka asyik dalam peraduannya.

Cahaya panas menyambar menyebabkan ukuran mereka mengecil. Mereka berubah menjadi seekor tokek. Kemudian, anak keturunan mereka lahir dalam rupa belang. Hasil campuran buaya putih dan buaya darat. Sampai kini, mereka ada dalam wujud tokek belang.(*)

 

Tiska Yuli Setiowati, ibu dua orang puteri yang sedang belajar menulis. Menulis adalah salah satu bentuk ‘me time’ di saat suntuk dengan pekerjaan rumah tangga

Editor: Respati

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply