Kita yang Pernah Kian Dekat

Kita yang Pernah Kian Dekat

Kita yang Pernah Kian Dekat

Oleh : Imas Hanifah N

Aku tak pernah berniat memberi sekat, kepada kita yang pernah kian dekat. Harum kerah bajumu, yang tersisa dari pelicin pakaian nomor satu, mana mungkin aku melupakan itu.

Seseorang menyuruhku menggambarkan seperti apa dirimu, tapi kupikir aku akan kehabisan banyak waktu.

Begini, langkah kakimu cepat dan selalu seperti itu. Katamu, itu karena lelaki adalah seorang pemimpin. Perempuan akan selalu dibimbing. Katamu lagi, langkahmu akan mengiring ke mana pun aku ingin.

Tanganmu itu besar dan tanganku kecil. Kita pernah saling menggenggam begitu erat dan aku sempat merasa begitu kerdil.

Tidakkah kita memang pasangan serasi, atau justru kita pasangan penuh misteri? Apa-apa sering tidak nyambung, apa-apa sering tidak sehati.

Kamu dan aku adalah dua orang yang berbeda. Namun karena itulah, kata kita pernah tercipta.

Kemudian kita pernah menyukai satu lagu. Lagu yang selalu diputar berulang-ulang tanpa ragu. Kamu menyebutnya sebagai lagu kebangsaan untuk sepasang kekasih yang abu-abu. Betul-betul menggambarkan aku dan kamu.

Seseorang memintaku untuk menggambarkan dirimu. Aku telah kehilangan banyak waktu. Kita memang pernah, tapi sekarang sudah.

Tidak bisa aku menjelaskan lagi. Tidak bisa aku menuliskan lagi. Tidak bisa aku menggambarkan lagi.

Masalah besarnya adalah, sehelai kanvas, sebuah buku, tidak akan pernah bisa menuliskan, tidak akan pernah bisa menggambarkan dalamnya tatapan matamu, luasnya dada yang pernah mendekapku, rasanya tidak akan bisa.

Lagipula, apakah aku sanggup?

***

“Apakah kamu tidak bisa memberitahu seperti apa kekasihmu yang dahulu itu?”

Aku menggeleng. “Kenapa kamu sangat ingin tahu?”

“Ya, mungkin aku bisa memperbaiki diri. Kadang-kadang, aku berpikir bahwa sepertinya kita tidak berada di dalam hubungan yang baik. Kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.”

Seseorang itu mulai menyadarinya. Aku tidak mengerti kenapa ini seperti sebuah kutukan. Mungkin, sebentar lagi ia akan tahu semuanya, bahkan mulutku sendiri yang mungkin akan memberitahunya.

“Apa sebaiknya kita berpisah?” tanyanya lagi. Aku sudah menduga pertanyaan ini akan tercetus.

“Kenapa?”

“Iya, karena itu. Karena kita terlalu sibuk.”

“Apa sebaiknya kita meluangkan waktu?”

“Sekarang? Sudah terlambat. Hubungan ini tidak bisa diselamatkan lagi.”

“Aku pikir belum, ini belum terlambat.”

Entah mengapa aku meyakinkannya. Padahal aku tahu itu semua percuma. Aku tahu aku dan seseorang itu akan berakhir. Sama seperti aku dan kamu.

Ini hanya soal waktu untuk kembali kepada kehilangan. Untuk kembali ke kesendirian.

Aku sering bertanya kenapa, ada apa, apa yang salah, siapa yang salah, tapi tidak ada jawaban yang pasti.

“Ceritakan saja, katakan apa saja tentang kekasihmu yang dahulu itu. Maka hubungan kita akan baik-baik saja. Aku tidak akan berusaha menjadi sepertinya. Aku hanya ingin melakukan hal terbaik untuk mencintaimu. Aku tidak ingin menyakitimu. Tidak seperti dirinya.”

“Tapi dia tidak menyakitiku,” sanggahku dengan suara yang pelan.

“Lalu? Kenapa kalian berpisah? Apa penyebabnya?”

“Tidak ada. Tidak tahu.”

Ia mendengus kesal. Melihatku dengan tatapan yang bingung. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana, selain menangis.

Apa ia sanggup? Melihatku seperti ini?

“Aku tidak bisa melanjutkan, cukup sudah.”

“Kenapa?” tanyaku di sela isak tangis.

“Tidak ada.”

Aku menahan diri untuk tidak mengucapkan apapun tentang dirimu. Itu tidak benar. Itu tidak akan pernah benar.

“Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja, kan? Aku tidak bermaksud menyakitimu. Hanya saja, sekali lagi, aku sedang mencari tahu. Aku ingin melakukan yang terbaik demi mencintaimu.”

Ia membereskan peralatan gambar, buku diari, pulpen dan cat, semua yang berserakan di meja. Aku berusaha untuk tidak menangis lagi.

“Aku tidak tahu lagi, sungguh. Aku ingin dirimu yang seperti dulu. Akan tetapi, itu tidak mungkin, bukan? Andai saja aku tahu siapa laki-laki itu, bagaimana dia memperlakukan dirimu saat itu, aku akan berusaha lebih baik lagi.”

“Tidak perlu. Untuk apa ada masa lalu? Kita tidak hidup di sana. Aku mohon, berhenti bertanya.”

Aku mengatakan kalimat itu dan segera pergi ke kamar. Di lantai kamar, tablet antidepresan berserakan.

Aku tahu, aku akan kembali lagi kepada kehilangan. Aku tahu, aku akan kembali lagi ke kesendirian. (*)

Tasik, 2020

Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply