Tetangga CCTV

Tetangga CCTV

Tetangga CCTV

Oleh : Ade Umamah

 

“Kamu, kan, pendatang, Sar. Enggak punya saudara di sini, jadi anggap saja saya ini ibu kamu, ya,” ucap Bu Siti tetangga depan rumah.

Namaku Sari, aku baru saja resmi menjadi seorang istri dari laki-laki pendiam bernama Mas Hasan. Aku dan Mas Hasan sama-sama pendatang di kota ini. Demi mengubah nasib, kami hijrah ke Kota Baja, Cilegon.

Mas Hasan diajak kerja sama oleh temannya untuk mengelola usaha jual beli alat-alat elektronik.

***

“Sar, kamu enggak pernah nyuci, ya? Kalau punya cucian kotor jangan ditumpuk-tumpuk. Jangan malas. Nanti kalau kamu sudah punya anak pasti tambah kerepotan.”

Aku diam seribu bahasa mendengar celotehan Bu Siti. Bisa-bisanya beliau bilang seperti itu. Apa karena Bu Siti tidak pernah melihatku menjemur pakaian di halaman depan rumah? Padahal setiap dua hari sekali aku mencuci baju, meski memang aku tidak pernah menjemurnya di depan rumah apalagi di pagar. Tidak elok dilihat menurutku. Aku biasa menjemur pakaian di halaman belakang rumah. Karena memang luas dan cukup untuk menjemur baju kami yang memang tidak banyak.

***

“Eh Sari, kenapa enggak pernah keluar rumah? Sering-sering mainlah ke rumah tetangga. Kamu, kan, warga baru, harus berbaur.” Lagi-lagi Bu Siti berkomentar. Bukannya aku tidak mau berbaur dengan tetangga, apalagi main ke rumah Bu Siti. Tapi aku takut karena sudah tahu watak dan karakternya yang suka kepo dengan kehidupan orang lain lantas menceritakan keburukan orang tersebut pada siapa pun yang ia ajak ngobrol.

Kalau hanya kebaikan yang diceritakan, sih, tidak masalah. Sayangnya Bu Siti tidak menyaring dulu apa yang perlu dan tidak perlu diceritakan pada orang lain, karena itu termasuk aib. Bu Siti bablas blas saja cerita dan mengoceh ke sana kemari.
Makanya aku berusaha menjaga jarak dengannya. Daripada ikut mendapat dosa karena mendengarkan ia menceritakan kejelekan orang lain.

***

“Mas, aku kok kayak enggak nyaman ya tinggal di sini,” ucapku suatu hari pada Mas Hasan.

“Kenapa, Dek? Kamu diganggu mahluk halus?” balas Mas Hasan.

“Ih, bukan. Itu, loh, Bu Siti. Tetangga depan rumah. Aku enggak nyaman banget sama dia, Mas. Kayak suka merhatiin kehidupan kita gitu, loh.”

“Ahahaha … maksudnya gimana, sih, Dek? Kamu ada-ada aja. Kayak Bu Siti, enggak ada kerjaan aja.”

“Ya gitu, Mas. Apa-apa semua serba dikomentari. Aku, kan, malu. Apalagi kalau Bu Siti negurnya pas lagi belanja di warung.”

“Cuek aja, Dek. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin niat beliau baik, mau kasih perhatian ke kita.”

Terngiang kembali ucapan Bu Siti beberapa pekan silam yang menyuruhku menganggapnya sebagai orang tua sendiri. Duh, maaf saja Bu Siti. Ibu kandungku tidak suka kepo sama urusan orang lain. Tidak pernah pula menceritakan kejelekan orang dan tidak pernah mengatur-atur hidup orang. Bagaimana mungkin aku menjadikan Bu Siti sebagai pengganti ibuku di sini?

***

“Astaga Sari, itu bed cover sudah berbulan-bulan baru kamu cuci?!” seloroh Bu Siti sambil menyapu halaman rumahnya. Ini memang pertama kalinya selama tinggal di sini aku mencuci bed cover sendiri. Dan apesnya tanpa diduga, Bu Siti sedang berada di depan rumahnya. 

Duh kenapa harus ada Bu Siti sih pas lagi jemur begini? gerutuku dalam hati.

“Tiap minggu juga dicuci, kok, Bu. Tapi kalau bed cover saya laundry karena berat.”

“Baju-baju kamu juga di-laundry? Wah, banyak uang, ya, kamu,” ucapnya sambil memiringkan bibir.

“Ya enggaklah, Bu. Kalau baju, kan, di rumah ada mesin cuci, ngapain di-laundry?” balasku mulai terpancing emosi.

Bu Siti ini sebenarnya bukan orang kaya, tapi entah kenapa terlihat sombong dan tidak senang kalau ada orang lain terlihat lebih dari dia.

“Oh iya. Saya perhatikan, sering sekali ada ojek online bawa makanan. Emang kamu enggak pernah masak, ya? Mending kamu masak, Sar. Lebih hemat. Terus uangnya mending ditabung, jangan boros-boros. Kamu, kan, perantau, kumpulin uang buat ongkos nanti pulang kampung.”

Duh. Ampun, deh, punya tetangga macam Bu Siti ini. Mungkin mulutnya gatal kalau sehari saja tidak mencampuri urusan orang lain. Suka-suka sayalah! Mau masak sendiri kek, mau catering, mau beli online, toh uang saya sendiri yang dipakai, bukan uang dia.

“Suka-suka sayalah, Bu! Kenapa Bu Siti yang repot, sih?!” Emosiku sudah berasa naik di ubun-ubun.

“Dikasih tahu, kok, malah ngeyel!” ketus Bu Siti sambil ngeloyor pergi.

Ya Allah, jauhkan hamba dari orang-orang macam Bu Siti, doaku dalam hati.

***

“Dek, nanti bantu Mas kemas semua barang-barang, ya. Pekan depan insya Allah kita pindah.”

Bagaikan kejatuhan durian runtuh, tiba-tiba saja Mas Hasan mengajakku pindah rumah.

“Ih, Mas, serius? Jangan becanda, ah,” balasku sambil membuntutinya masuk ke kamar. 

“Iya serius, Doni buka cabang lagi di dekat pasar. Nah, Mas diminta untuk mengelola toko baru yang di pasar. Itu, kan, bentuknya ruko gitu, Dek, jadi atasnya rumah. Nah nanti kita tinggal di situ.”

Aku langsung memeluk pinggang Mas Hasan, bahagia sekali rasanya mendengar kabar baik ini. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku. Semoga nanti di tempat yang baru, aku tidak lagi menemukan tetangga CCTV macam Bu Siti.

***

Sudah enam bulan aku tinggal di tempat baru. Lebih ramai, karena ruko tempat kami tinggal sekarang dekat sekali dengan pasar sentral di Kota Cilegon. Selama itu pula aku tidak lagi mendengar kabar tentang Bu Siti. Ah, lagi pula untuk apa aku mencari tahu kabar tentang dia? Tidak penting! Aku tersenyum sendiri karenanya.

Hari ini jadwal cek kandungan di puskesmas. Alhamdulillah, aku sedang mengandung 4 bulan, anak kami yang pertama. Ketika akan memasuki ruang tunggu khusus ibu hamil, aku melihat Rina, anak Bu Siti sedang mengantri di bagian pengambilan obat. Kusapa ia sebentar.

“Rin, siapa yang sakit?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Eh, Kak Sari. Udah lama enggak ketemu, ya, Kak. Ini loh, Kak, Ibu sudah hampir dua bulan sakit. Enggak bisa jalan dan enggak bisa ngomong.”

Aku tertegun mendengar penuturan Rini anak sulung Bu Siti. Apa ini teguran karena beliau kurang bisa menjaga lisan? Ah, entahlah. Yang pasti aku mendoakan Bu Siti agar cepat sembuh seperti sedia kala. Dan semoga ia juga berubah, tidak lagi suka mencampuri urusan orang lain. (*)

 

Ade Umamah, lahir 32 tahun yang lalu di Kota Cilegon, Banten, anak kedua dari lima bersaudara. IRT dengan dua anak: Abdullah (3 tahun) dan Razan (2 tahun). Hobi menulis dan membaca. Sekarang menetap di Sidenreng Rappang, Sulsel, ikut dengan suami yang bersuku Bugis.

 

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply