Nantikan Aku di Surga

Nantikan Aku di Surga

Nantikan Aku di Surga

Oleh : Tiska Yuli Setiowati

 

“Kamu kenapa, Mas? Aku perhatikan dari tadi, kamu bengong aja. Ada apa?”

Puspita, istriku, tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. Dia berusaha memelukku, tetapi terhalang oleh perut yang buncit. Dia sedang hamil anak pertama kami. Sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang ayah.

“Gak kenapa-kenapa, kok. Mas cuma lagi mikirin kamu,” jawabku sambil mencubit hidungnya yang mancung.

“Ihh, apa-apaan, sih!” Dia bersungut pura-pura marah. Menyembunyikan pipinya yang memerah.

Melihat sikapnya yang masih malu-malu, membuatku semakin gemas. Kurengkuh tubuhnya dalam pelukan. Bibir mungilnya jadi sasaran. Kugigit perlahan. Matanya yang bulat mendelik, membuatnya terlihat semakin menarik. Hasrat dalam dada semakin bergejolak menuntut hak. Jadilah sore itu, aku mendapatkan bonus dari istri tercinta.

***

Kulihat dia berjalan ke arah kamar mandi. Aku memandangi tubuhnya yang terlihat semakin padat semenjak hamil. Kehamilan yang begitu kami tunggu-tunggu. Aku tak sabar, ingin segera bertemu dengan calon buah hati kami, yang perkiraan dua minggu lagi akan segera lahir ke dunia.

“Mas gak mandi? Udah sore.” Istriku baru saja selesai mandi. Wajahnya terlihat cerah. Dia mengeringkan rambutnya yang basah karena ulahku tadi.

“Gak mau mandi, ah, mau nambah lagi,” godaku. Wajahnya kembali bersemu merah jambu. Aku ingin menyerangnya lagi, tapi kasihan dengan kondisinya yang sedang hamil tua.

“Nakal, ih, sana buruan mandi!”

***

Selesai mandi, kulihat Puspita tak lagi di kamar. Suaranya terdengar dari arah dapur. Wangi kopi menyeruak saat aku keluar. Istriku memang sangat mengerti apa yang kumau. Dia selalu memberi tanpa harus kuminta. Dia wanita yang sangat luar biasa.

“Ih, bengong lagi. Mikirin apa, sih. Coba cerita.” Tiba-tiba dia datang mengagetkanku.

“Mas mikirin kamu, Dek. Sebentar lagi kamu lahiran. Tapi lusa Mas sudah harus berangkat tugas. Mas khawatir sama kamu.”

“Besok kan Bapak sama Ibu dateng. Udah, Mas tenang aja. Adek baik-baik kok di rumah.”

Entah kenapa, ada rasa yang mengganjal di pikiranku. Aku benar-benar tak tenang. Aku sangat ingin bisa menemaninya pada saat dia melahirkan. Melihat bagaimana dia mempertaruhkan nyawa untuk anak kami. Namun, kewajiban sebagai seorang abdi negara, membuatku tak bisa menolak tugas yang diembankan padaku.

***

Aku baru saja menjemput Ibu dan Bapak di terminal. Kulihat istriku kegirangan menyambut kedatangan orangtuanya.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun segera makan dengan hidangan yang telah disiapkan istriku.

“Pak, Bu, besok saya nitip Ita, ya. Saya ada tugas sekitar dua mingguan. Semoga bisa lebih cepat.” Aku tak begitu yakin dengan apa yang baru saja kukatakan. Kenyataannya memang jarang, bahkan hampir tidak pernah, ada tugas negara yang lebih cepat dari jadwal yang telah disiapkan. Sering kali tugas kami molor hingga waktu yang tak bisa dipastikan.

Sebagai seorang anggota TNI, tugas negara adalah prioritas utama. Keluarga selalu dinomorduakan demi kepentingan negara. Aku tak bisa menolak. Ini konsekuensi pekerjaan yang aku pilih.

“Iya, Le¹. Sudah, kamu yang tenang kerjanya. Ita biar Bapak sama Ibu yang nemenin.”

Ucapan Bapak Mertua, membuatku sedikit merasa lega. Aku tidak terlalu khawatir jika harus meninggalkannya bekerja. Meskipun di dalam hati, aku sangat ingin bisa menemani istriku saat proses persalinan tiba.

“Aduh ….” Tiba-tiba istriku meringis kesakitan.

“Perutku sakit, Mas. Bu …,” rintihnya kesakitan.

“Jangan-jangan istrimu mau melahirkan, Le. Ayo cepet bawa ke bidan,” perintah ibu mertuaku.

“Tapi, Bu. Kata bidan masih dua mingguan lagi,” ujarku sambil terus memegang tangan istriku.

“Itu kan kata bidan. Kalo anakmu udah pengen lihat dunia gimana. Dia mau ketemu bapaknya dulu sebelum ditinggal kerja. Udah, buruan ke bidan.”

Antara cemas dan bahagia. Khawatir melihat istriku yang terus merintih kesakitan. Namun, aku juga bahagia, karena aku bisa menemani istriku, menyaksikan anak kami lahir ke dunia.

Aku segera memapahnya masuk ke dalam mobil. Tak lupa membawa perlengkapan persalinan yang sudah disiapkan istriku jauh-jauh hari.

Seorang bidan memeriksa istriku.

“Sudah bukaan tiga, Pak. Insyaallah kalo cepet sore nanti udah lahir. Semoga bisa lebih cepat. Soalnya ini anak pertama.”

Hatiku berdebar tak karuan. Gembira karena akan segera melihat anakku lahir ke dunia. Kulihat istriku masih meringis kesakitan. Wajahnya berkeringat, tangannya terus meremas ujung bajunya.

“Sabar, ya Dek. Sebentar lagi kita akan segera bertemu anak kita,” ujarku menguatkannya.

Dia berusaha tersenyum, sambil meringis saat di dalam perutnya calon anak kami sedang berusaha untuk keluar.

Hampir lima jam, istriku belum juga melahirkan. Kondisinya semakin melemah. Beberapa kali bidan memeriksa keadaannya.

“Pak, sepertinya istri Bapak harus segera dirujuk ke rumah sakit. Belum juga ada pembukaan. Kondisi bayi di dalam semakin melemah.”

Aku tak lagi bisa mendengarkan penjelasan dari bidan. Fokus pikiranku hanya segera membawa istriku ke rumah sakit.

Istriku segera mendapatkan pertolongan. Operasi harus segera dilakukan. Mau tidak mau, semua demi keselamatan ibu dan bayi.

Dua jam istriku di ruang operasi. Seseorang dengan berpakaian hijau keluar.

“Maaf, Pak. Dengan berat hati harus kami sampaikan, anak Bapak tidak bisa kami selamatkan. Kondisinya sudah keracunan air ketuban.”

Aku tertunduk lemas. Menjerit dalam hati. Anak yang kunanti selama ini, dia harus kurelakan pergi.

***

Pemakaman telah selesai. Dengan tanganku sendiri, kuhantarkan jenazah putraku ke tempat peristirahatan terakhirnya. Semoga kelak dia akan menarik kami ke surga.

“Kondisi istri Bapak kritis.”

Sebuah telepon dari rumah sakit membuatku nyaris limbung. Dengan segera kupacu kendaraan ke sana. Sepanjang perjalanan air mata ini sudah tak lagi tahu tempatnya. Dia menetes begitu saja.

Aku terlambat. Istriku telah pergi menyusul anak kami.

Dek, tunggu Mas di pintu surga. (*)

 

Lampung, 26 Juni 2020

 

Catatan kaki :

1) Le, panggilan untuk anak lelaki dalam bahasa Jawa.

 

Tiska, seorang ibu rumah tangga yang hobi ngomel. Menulis adalah salah satu cara ngomel tanpa suara.

 

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply