Anakku Bukan Anakmu

Anakku Bukan Anakmu

Anakku Bukan Anakmu

Oleh : Rizqa A.

 

Yanti menatap arah jarum jam yang setia berdetak, berpacu dengan waktu. Lima purnama terlewatkan begitu saja tanpa kehadiran sang suami di sisinya. Tugas kuliah dari instansi tempat suaminya bekerja, membuat mereka terpisah sementara waktu.

Gadis kecil dalam pangkuannya menggeliat, kemudian kembali tidur dengan napas yang teratur. Tampak begitu lelap. Yanti mengecup kening sang buah hati begitu lama. Merapalkan doa-doa kebaikan untuk putrinya. Ia menekan gemuruh di dalam dada. Menyiram kesabaran pada hati yang terbakar amarah. Satu per satu ia kumpulkan kepingan durjana yang membuatnya gundah, bermandikan air mata. Bila mengingat semua itu, ia merasa seakan-akan menjadi ibu terburuk di dunia.

“Yan, anak kamu kurusan, ya. Padahal, kamu agak gemukan. Anaknya dibanyakin makan, dong. Biar lebih berisi seperti kamu,” kata Yana, teman arisan Yanti, saat mereka bertemu di swalayan.

“Iya, nih. Aqila ngikut aku waktu kecil. Dulu aku ceking, loh,” balas Yanti sambil memegang tangan anaknya erat.

“Aqila gak banget, deh, kalau umuran segini kurusan. Gak sehat.”

Yanti hanya menelan ludah dan segera berlalu dari hadapan Yana. Ia melupakan kata-kata Yana. Yang penting Aqila putrinya selalu sehat.

Ia teringat saat berkunjung ke rumah mama mertuanya.

“Yan, Mama perhatikan Aqila, kok, letoy gitu, ya? Gak semangat. Kamu pasti kurang perhatian ke dia, kan?” tanya Mama tanpa perasaan.

“Aqila emang seperti itu anaknya, Ma. Suka diam kalau lihat orang ramai. Sebenarnya dia sedang belajar adaptasi.” Yanti memberi penjelasan.

Mama mertuanya menatap Yanti ragu. Kemudian pandangannya beralih kepada Aqila sang cucu.

“Yan, coba, deh, lihat Qila. Kurus banget. Qila diberi makan apa, sih? Jadi kerempeng begitu, atau kiriman suami kamu kurang buat beli makanan bergizi untuk Qila?”

“Aqila banyak makan, kok, Ma. Malah lahap. Terkadang minta tambah. Emang bawaan badan Qila seperi itu, Ma.”

“Pasti kamu kurang kreatif mengolah makanan semenarik mungkin biar Qila selera makan.”

Yanti hanya mengangguk. Sebelum ia membalas, si mama mertua melanjutkan lagi.

“Kasihan Aqila. Dia beda sendiri dari cucu-cucu Mama yang lain. Mereka padat berisi, doyan makan, lincah, pintar lagi. Mama gak mau tau, Qila harus sama seperti cucu-cucu Mama yang lain! Dan itu tugas kamu sebagai seorang ibu.”

Yanti hanya terdiam. Percuma menjelaskan sampai mulut berbusa, karena Mama selalu merasa yang paling benar.

Ketika arisan keluarga berlangsung, kakak ipar Yanti yang pertama juga berkomentar.

“Yan, Aqila pake baju merek apa, sih? Kelihatannya murah, deh. Gak cocok, tuh, ia kenakan.”

“Aqila pakai merek Libby dan Velvet, Kak. Kadang juga aku beli yang merek Fluffy kalau ada uang belanja yang lebih.”

“Wow, itu semua merek yang berkualitas! Tapi, kenapa Qila kelihatan dekil, ya?”

Deg, jantung Yanti seakan berhenti berdetak. Merek pakaian pun dipermasalahkan. Kenapa harus Aqila yang selalu di-bully?

Yanti menarik napas panjang. Mengatur gemuruh yang menguasai hatinya. Ia sangat mencintai Aqila. Dan ia tahu betul apa yang terbaik buat Aqila. Saran dari orang lain pun ia dengarkan. Tetapi kenapa mereka masih juga mengatur dan mem-bully, membuatnya merasa tak nyaman? Bukankah seorang ibu selalu memberikan yang terbaik buat anaknya?

Ah, orang-orang hanya sibuk mengurus kehidupan orang lain tanpa mau memperbaiki kehidupan mereka sendiri.

Yanti mengelus rambut hitam Aqila dengan penuh cinta. Putrinya masih saja tertidur, terbuai di alam mimpi.

Ia masih saja memutar slide demi slide kejadian yang membuatnya harus banyak menyediakan stok kesabaran.

“Yan, Aqila kamu susui sampe enam bulan, ya?” tanya Mbak Susi, tetangga Yanti.

“Bukan hanya enam bulan, Mbak. Sampai Aqila usia dua tahun saya susui,” jawab Yanti bangga.

“Wah, bagus itu. Pantes Aqila anaknya pintar dan bijak.”

“Terima kasih, Mbak.”

Mbak Susi duduk di samping Yanti, dan dengan memasang wajah serius dan suara hampir berbisik, perempuan itu bertanya lagi, “Yan, kamu sapih Aqila dengan minum susu formula?”

Yanti mengangguk. “Memangnya kenapa, Mbak?”

“Saya perhatikan Aqila hiperaktif. Takutnya ada kelainan. Jangan-jangan Aqila salah minum susu. Maaf ya, Yan, ini hanya perasaan saya saja. Kamu harus lebih memperhatikan Aqila, sebelum terlambat dan membuat kamu menyesal.”

Kata-kata itu masih membekas di hati Yanti sampai sekarang. Aqila memang anak yang aktif. Tidak pernah diam. Ia hanya akan tenang bila sudah capek dan tertidur. Bila berada di lingkungan yang baru, ia akan diam dan hanya memperhatikan. Tetapi setelah itu ia akan aktif dan mulai berteman dengan siapa saja. Demikian juga ketika ia bertemu dengan orang yang baru dikenal. Ia tidak langsung bersahabat. Ia akan menghafal wajah orang tersebut, dan bila mereka suatu saat bertemu, ia akan memanggil dan menyalaminya.

Semua hal ia lakukan. Berlari, memanjat, mencoret-coret, berceloteh sendiri, berkreasi dengan alat make up yang ia punya. Bahkan, ia pernah mendapati Aqila sedang membersihkan kamar mandi. Pernah saat ia sedang tidak enak badan, Aqila membawakan segelas air dan memijat-mijat kaki ibunya. Aqila anak yang manis dan penuh perhatian.

Yanti kembali mengelus kepala Aqila, kemudian membawanya ke atas pembaringan. Ia ciumi kening sang buah hati. Dirapalkannya doa-doa terbaik.

Masih banyak kata tak berkenan yang selalu mengarah kepadanya maupun kepada putrinya. Ia hanya berharap, semoga Tuhan memberi ia kekuatan dan hati yang lapang dalam menjalani hari-hari tanpa sang suami di sisinya. (*)

 

Rizqa A, seorang ibu pencinta literasi. Mengais ilmu walaupun usia semakin bertambah. Mengarungi lautan literasi untuk berkarya dan menyampaikan kebaikan melalui tulisan.

 

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply