Tujuh Purnama dan Kehilangan
Oleh : Siti Nuraliah
Akhir bulan Desember kami menikah. Beberapa orang menyebutnya “Bulan Basah”, sebab itulah kami memilih Desember sebagai bulan pernikahan agar berkesan dan mudah diingat. Suamiku begitu mencintaiku, ia lucu dan suka sekali menghibur. Aku mencintainya sama seperti beberapa tahun lalu, saat kami masih menjadi sepasang kekasih. Bertahun-tahun sempat berpisah dan tak lagi berhubungan, hingga akhirnya disatukan kembali oleh sebuah ikatan yang tak mudah dilepaskan. Rupanya pepatah jodoh pasti bertemu berperan untuk takdir kami.
Aku berdiri di depan cermin, memiringkan badan dan meletakkan sebelah tangan di pinggang. Perutku mulai buncit, di dalamnya ada gerakan-gerakan yang mulai membuatku semakin bahagia. Suamiku sebentar lagi pulang dari kantor, ia pasti lapar dan akan segera mengajakku makan. Dress selutut berwarna biru pupus yang sekarang aku pakai adalah kesukaannya. Bila aku mengenakan dress ini, ia bisa berlama-lama memandangku, menyuruhku menari-nari sebelum akhirnya kami menikmati malam dengan bercinta lalu terlelap.
Paginya, ia selalu membangunku dengan sarapan yang sudah tersaji di atas meja makan. Segelas susu dengan roti yang di atasnya diberi selai dan potongan buah, rutin ia buatkan beberapa pagi setelah tahu di rahimku telah tumbuh benih darinya.
Hari itu pun aku menunggunya tidak sabar. Lima hari ditinggalkan mengurus proyek di luar kota, rasanya seperti berabad-abad. Setiap hari aku menangis, karena tubuh terasa lemas dan pusing. Aku menjadi semakin manja. Meski begitu, aku memaksakan diri untuk memasak demi menyambut kedatangannya.
“Wah, lima hari ditinggalin Abang ke luar kota udah bisa masak tempe balado, nih?” Sambil menjawil pipiku ia menarik kursi dan langsung duduk. Aku mengulum senyum, rasanya selalu seperti ini, berdebar dan jatuh cinta setiap hari.
“Kayanya kalo ditinggalin lima bulan, udah bisa masak rendang daging, ya?” sambungnya lagi. Ia tersenyum dan satu suapan meluncur.
“Enak!” ia mengacungkan jempol.
“Abisnya aku gak ada kegiatan, masak ini karena tahu Abang bakal pulang aja. Ya… walaupun sambil mual-mual!” Aku pura-pura memanyunkan bibir.
“Loh, kan Abang udah bilang, kalo capek tinggal minta tolong Mak Uun!” Ia menghentikan kunyahannya.
“Iya, gak apa-apa. Lagian cuma masak tempe mah, kecil ….”
“Halaah!” potongnya.
Aku meninggalkannya di meja makan, lalu kembali dengan dua gelas jus jeruk di tangan.
“Gak makan?” Ia menyadariku yang hanya memperhatikan tiap suapannya.
“Masih mual,” jawabku seraya menggelengkan kepala.
“Mau disuapin?” tanyanya, sambil mengacungkan sendok berisi nasi dan tempe ke arahku.
“Enggak mau, ini aja.” Aku menyeruput jus jeruk hangat.
“Kalo gak makan, Abang cium, nih!” Ia membulatkan bibirnya. Aku tertawa, akhirnya luluh demi si buah hati.
***
Suamiku cukup romantis, ia pandai menggoda. Kata-katanya selalu memabukkan. Namun tiba-tiba aku menjadi khawatir dan takut kehilangan. Aku seketika menjadi lebih posesif dan mudah curiga. Entahlah, apa memang aku saja yang seorang pencemburu akut, aku tidak tahu.
Malam itu, kugeser tangannya yang melingkar di perutku. Ia tidur begitu lelap. Dengan hati-hati kuraih ponsel miliknya yang diletakkan di bawah bantal. “Kebiasaan!” gumamku. Aku diam sebentar, lalu tergesa mengecek ponselnya.
Lega. Aku tidak menemukan apa-apa yang membuat curiga di dalam ponselnya. Kupandangi wajah suamiku yang matanya terkatup, bibirnya menyungging. Aku heran, mimpi apa dia? Satu nama disebut olehnya. Aku semakin penasaran, lebih tepatnya kepanasan. Mataku terjaga sampai pagi.
“Abang mimpi apa semalam?” Aku jadi tidak semangat mengawali hari.
“Mimpi apaan? Abang gak inget.” Tanpa memedulikanku yang tengah memasang wajah ditekuk, ia sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Iiih … mimpi apa? Abang ada menyebut satu nama perempuan …,” jawabku dengan nada sengaja dimanjakan.
Ia menghentikan gerakan tangannya, kemudian memalingkan wajah kepadaku. Matanya menyipit, aku membalas tatapannya.
“Nama siapa?” Ia menyeringai. “Jangan ngada-ngada,” ucapnya lagi.
“Tau ah!” Aku mengentakkan kaki, kemudian berlalu ke luar kamar.
“Ngambeeek …!” teriaknya dari dalam, sedetik setelah aku membanting pintu.
Akhir-akhir itu aku memang merasa lebih sensitif, terkadang juga susah mengendalikan emosi. Dari pemeriksaan dokter, ibu hamil seringnya mengalami fase-fase itu. Hanya kadarnya beda-beda. Aku disarankan agar tidak terlalu banyak tekanan, dan oleh karena aku mudah sekali depresi, dokter memintaku untuk istirahat total di rumah. Aku tahu suamiku pun mendengar penjelasan dokter tersebut. Bahkan ia sendiri yang berinisiatif meminta seorang janda tetangga kami, agar bersedia membantu saat-saat dibutuhkan.
Aku masih enggan bicara kepadanya. Pikiranku kacau. Aku yakin setiap perempuan pasti merasakan hal yang sama denganku. Memilih tidak mengeluarkan kata-kata sebagai protes besarnya.
***
Malam-malam berikutnya, aku merasa semakin ada yang beda. Suamiku yang sering ke luar kota dan aku yang semakin mudah curiga padanya. Ada satu nama di kontak teleponnya yang kucurigai, tapi aku belum mau mengambil kesimpulan. Sebab di sana tertulis nama bukan nama perempuan.
“Sayang, hari Senin depan Abang jadi ke Singapura. Kerja sama dengan proyeknya Pak Gilang disetujui. Cita-cita kita buat buka restoran di sana akhirnya tercapai juga.”
“Mendadak banget, Bang?”
“Iya, baru tadi malem dia ngabarinnya. Tapi mungkin nanti agak lama. Kamu di rumah ibu dulu, gak apa-apa, kan?” Dia menatap mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Satu bulan?” tanyaku.
“Mmm … kurang lebih segitulah!” Jarinya mengusap mataku yang basah, lalu membawaku ke dalam pelukannya.
Itu percakapan terakhir yang kami lakukan menjelang tidur. Sebelum dia benar-benar pergi dan tidak ada kabar. Saat itu usia kandunganku menuju dua puluh minggu. Setelah kepergian Bang Arya ke Singapura, aku hanya beberapa kali bisa menghubunginya lewat WhatsApp, selebihnya hanya centang dua yang tidak pernah menjadi biru, hingga kemudian berubah menjadi hanya centang satu.
Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain bertanya kepada beberapa rekan kerjanya. Jawabannya sama, mereka tidak ada yang tahu keberadaan Bang Arya. Aku menjadi semakin kalut. Ibu beberapa kali menenangkanku saat berteriak-teriak di tengah malam. Atau memaksaku masuk saat aku betah berlama-lama di luar memandangi cahaya bulan.
Ketika bayi dalam kandunganku lahir, aku mencuri dengar percakapan ibu dengan Dokter. Kondisi kejiwaanku memburuk.
“Nin, masuk yuk!” ajakan ibu tidak berhasil membuatku tidak bergeming. Aku tetap menatap kelip bintang di langit yang pekat. Hanya satu yang membuatku sedikit sadar dari perasaan yang mengambang. Suara tangisan bayi.
Tiba-tiba aku ingin meraung-raung. Mata bening polos itu masih teringat jelas. Saat suara tangisannya membuatku semakin stres, aku menutup wajahnya dengan bantal sampai tangisnya reda dan tak terdengar lagi sampai sekarang. (*)
Banjarsari, 21 Juni 2020.
Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis kadang suka membaca. Penulis amatir yang berusaha memperbaiki tulisannya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata