Keinginan-Keinginan dan Pandangan Kakek Tua

Keinginan-Keinginan dan Pandangan Kakek Tua

Keinginan-Keinginan dan Pandangan Kakek Tua
Oleh: Ning Kurniati

Tidak ingin ada komunikasi dengan siapa pun, aku menahan diri agar tidak menyapa seseorang. Kugigit bibirku. Jadi, bayangkanlah ketika seorang perempuan keluar dari rumahnya, bertemu tetangga kanan-kirinya di jalan, seorang ibu paruh baya, seorang kakek, dua orang bocah, dan perempuan ini cuma tunduk berjalan seolah menganggap hanya dirinyalah sendiri manusia di planet bumi ini.

Aku yakin tetangga-tetangga itu terheran-heran. Bila biasanya mereka akan mendapat sapaan, senyuman riang, basa-basi kadang-kadang, kali ini yang didapatkan adalah kemurungan. Dan, terus kulanjutkan langkahku, tanpa sekali pun berpaling, meski rasanya asing dan menyakitkan. Yang mulanya hanya seperti dengung lebah, kasak-kusuk itu mulai jelas di telingaku. Gosip-gosip itu akan terbang diliputi spekulasi a, b, d, z, mendatangi rumah satu, rumah sebelahnya, dan di sebelahnya lagi. Aku seperti dikhianati. Akan tetapi, tak mungkin kumungkiri aku juga memiliki kesalahan di sini. Membiarkan gosip itu terjadi.

***

Mel tadi subuh mengirim pesan, memberi saran agar aku datang ke rumahnya. Rasanya tidak nyaman mendapatkan hal itu. Soalnya selama ini tidak pernah aku merepotkan orang lain, meski itu Mel, satu-satunya makhluk perempuan yang bersedia jadi teman dekatku, yang selalu sedikit-sedikit menanyakan pendapatku, dan selalu minta ditemani ke sana-ke sini. Selainnya, selalu ada balasan, berupa uang dan terima kasih. Namun, kali ini akulah di posisi Mel, meski bukan yang meminta, tapi ia yang menawarkan, dan meski malu, ujung-ujungnya aku mengiyakan.

Mel duduk di kursinya yang menghadap ke pintu ketika aku menerobos masuk sambil memberi salam. Ia terperangah dan kue gulung yang tersisa di tangannya hampir-hampir jatuh. Di meja di hadapannya ada sepiring kue dan semug kopi. Dia tersenyum dengan mimik sedih melihatku. Bertolak belakang sekali, harusnya dia kesal. Aku segera beralih pada gambar mug. Tanaman Calathea makoyana. Mug itu selalu kugunakan ketika aku mampir ke rumah ini.

“Apa itu untukku?”

“Iya. Punyaku baru saja habis.”

“Maniak kopi!”

“Jangan mengataiku, kau juga sama.”

Aku langsung menuju dapur untuk mencuci tangan. Mug yang sering dipakai Mel masih menetes-neteskan air. Ia selalu lupa atau lebih disebut malas mengelap. Katanya, toh, pada akhirnya, benda itu akan kering, buat apa repot-repot mengelap segala.

“Sama seperti mug itu, yang terjadi padamu sekarang akan kering seiring waktu.” Mel dari belakangku membawa piring dan mug tadi, dan menaruhnya di meja.

“Sok filosofis, tapi … terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Untuk segalanya.”

“Kau sungkan, Re?”

Aku berbalik, tersenyum kaku dan menjawab, “Kenapa aku sungkan pada temanku sendiri?”

“Kau akan baik-baik saja. Percayalah! Semua ini cuma soal waktu. Kau yang selalu bilang begitu, kan?”

***

Hari ini setelah tiga malam di rumah Mel, aku kembali ke rumah. Kukatakan padanya, ini memang akan berlalu, terlepas aku menghadapinya atau justru lari dan lepas tangan dari akibat. Akan tetapi, aku bukan orang seperti itu, aku bertanggung jawab dan akan selalu begitu.

Mel yang tidak setuju makin menampakkan mimik sedih dan lagi-lagi tampak berusaha tersenyum. Senyumannya itu makin membuatku getir seolah seluruh kesedihan di dunia ini bercokol kepada temannya ini. Untunglah hanya ada kami, sehingga aku tidak perlu terlalu malu. Ada orang yang melihat sisi terendahku.

“Bu gempal, Kakek tua pirang merah, dan si bocah kembar sudah lama tidak melihatku. Mereka pasti rindu,” kataku.

“Mereka tidak akan merindukanmu. Kau tahu itu.”

“Paling tidak di kepalanya pasti pernah ada aku.”

“Hmm, kemungkinannya besar, tapi kemungkinan dalam hal buruk juga besar.”

Kami sama-sama ngakak.

Mel yang baik.

Aku tiba di rumah tepat setelah azan Zuhur selesai dikumandangkan muadzin. Suara itu kukenali. Ialah suara kakek tua yang rumahnya sepuluh meter dari rumahku. Tetangga yang hidupnya seorang diri sepertiku. Bedanya ia begitu ramah, begitu tahu urusan setiap orang di sini dan merasa begitu paham tentang dunia dan karena itu, menurutnya sebaiknya aku mendengar saran-sarannya dan sering-sering bercengkerama dengannya. Suatu kali ketika aku pulang menjelang malam dan kami berpapasan ia memberikan pesan begini, “Kau perempuan masih muda. Jangan menyia-nyiakan diri. Kehormatan itu harus dijaga.”

Karena kaget, aku tidak menanggapi pernyataannya itu sampai ia berlalu. Bahkan, sampai beberapa lamanya aku memikirkan, aku tetap tidak mengerti. Sungguh, aku bingung hal apa yang ada di kepalanya, sehingga ketika berpapasan tanpa ada apa-apa, langsung saja ia nyerocos. Kalaupun di pikirannya tentang keperawananku, sungguh itu konyol. Aku hampir-hampir ngangkang jalannya karena pembalut yang kupakai itu begitu mengganggu. Dan, memang saat itu aku belum pernah membuatnya diterobos oleh manusia mana pun.

Setelah menunaikan kewajibanku sebagai orang beragama Islam, aku kepikiran mendatangi beliau—kakek tua. Namun, waktu sekarang tidak baik. Bila panjang-lebar ia bercerita, bukannya aku tercerahkan atau terhibur, nantinya aku malah terkantuk-kantuk. Sehingga kuputuskan sore saja, bakda Ashar. Waktu yang tepat bercengkerama, di bawah langit yang berkamuflase dalam sepoi angin yang merambat.

***

“Kau habis dari mana saja? Orang-orang pada cerita kau itu tidak di rumah.”

“Aku ke rumah teman.”

“Ooh. Ada yang mau kau bicarakan? Ini pertama kalinya kau ke rumahku … setelah kematian istriku.” Ia terlihat menerawang.

“Kau melihatku datang?”

“Meski tidak lihat, aku yakin kau datang. Semua orang tahu kau mendatangi rumah tetanggamu hanya pada hari-hari tertentu. Kami semua hafal. Kematian, pesta, terkena musibah.”

“Kalian perhatian sekali.”

“Jadi, kenapa kau ke sini?”

“Aku hanya mau membawakanmu kue saja. Sekarang, aku akan berjualan kue. Kau bisa pesan langsung atau secara online. Boleh dianggap ini cara-cara marketing untuk bikin laris.”

Kakek tua tertawa. Gigi palsunya menampakkan diri memamerkan kekuningannya lantaran jarang bertemu sikat.

“Kau keluar dari pekerjaanmu?”

Kami membicarakan banyak hal sore itu. Tepatnya, ia mengorek segala hal tentangku dan hampir tidak ada hal tentangnya. Kejadian kali ini, mungkin dianggapnya hal langka, momen keajaiban yang tak boleh terlewati begitu saja. Dan, yah, harus diakui ia pengorek yang andal. Mungkin pekerjaan sebelum ia berdiam diri di rumah adalah penyidik. Sampai aku kembali ke rumah waktu Maghrib hampir lewat. Lantas, aku kepikiran, mungkin itu pertama kalinya di umurnya yang berjumlah banyak, kakek tua tidak di masjid.

Sebelum tidur malam itu—kuusahakan tidur cepat, masih terngiang-ngiang ucapannya di benakku. “Kau sudah salah, jelas-jelas salah, tapi jangan lagi menambahinya dengan menyia-nyiakan yang di perutmu itu. Sebelum menyayangi orang, sayangi dirimu sendiri. Selama ini mungkin kau lupa, setelah Tuhan, manusia harus mencintai dirinya, lalu orang lain. Itu hakikat cinta yang tidak banyak orang menyadarinya meski ia mengaku seorang pecinta.”(*)

 

20.02, 25-5-2020.

Ning Kurniati, penulis pemula.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply