Halusinasi
Oleh: Aisyahir
Satu jam yang lalu kamu menghubungiku dengan mengirimkan pesan, menanyakan kabar untuk sekadar basa-basi, dan malah berujung dengan serbuan gombalan receh, yang membuatku tersipu-sipu sampai berguling-guling sembari mengigit kuku sendiri. Aih, bukankah kamu memang ahlinya dalam hal begini? Jadi, tak perlu heran. Dan, ketika kukatakan hanya seorang diri di rumah, kamu terdengar khawatir, mungkin agak berlebihan.
“Aku akan ke sana, tunggulah dan tak usah keluar,” katamu dan itulah pesan terakhir yang kuterima darimu.
Hingga pada akhirnya kamu benar-benar memutuskan untuk pergi menemuiku dan aku pun menyetujuinya. Meski sudah kucegah sebisa mungkin karena hujan sedang datang melanda, kamu tetap bersikeras untuk datang.
Akhirnya, aku mulai menunggu sejak pesan terakhirmu lima menit berselang, aku sudah menduga jika kamu telah selesai bersiap dan sudah berangkat.
Di menit ke-15, aku mulai berjalan menuju pintu depan, menunggumu yang barangkali sudah hampir sampai. Hujan masih tak berhenti, bahkan makin bertambah deras. Maka dari itu kuputuskan untuk masuk kembali untuk sekadar membuat teh untuk menghangatkan badan. Tentu aku akan menyiapkan dua cangkir teh, satu untukku dan satu lagi untukmu.
Di menit ke-45, rasa khawatir sudah sepenuhnya merasuki hati dan pikiranku. Aku mulai tak tenang, berjalan mondar-mandir di teras depan. Sesekali menengok ke arah jalan, barangkali kamu sudah muncul dari sana. Namun, hasilnya tetap sama, nihil. Padahal, jarak antara rumahku dan tempat tinggalmu hanya berselang lima belas menit saja untuk ditempuh, tapi ini sudah melewati batas. Aku tetap berpikiran positif, barangkali kamu sedang dilanda macet. Bahkan, sekarang isi cangkirku sudah hampir tandas semua.
Satu jam kini berlalu, tapi tak ada tanda-tanda kedatanganmu juga. Aku mulai mencoba menghubungimu. Satu-dua panggilan tak ada yang terjawab, hanya ada suara operator cerewet itu yang terdengar dan kemudian tak bisa lagi dihubungi. Aku semakin khawatir, bahkan keringat dingin mulai membasahi dahi serta bagian tubuhku yang lain.
Hingga sesaat kemudian ponselku kembali berdering, secepat kilat aku menjawabnya tanpa tahu nama siapa yang tertera di layar ponselku.
“Hallo, Dan? Kamu di mana sekarang? Katanya mau ke sini? Jalanan macet, ya? Atau gak jadi? Jawab dong, jangan cuma diem aja, jangan buat aku khawatir, Dan.” Aku mulai menyerangmu dengan banyak pertanyaan. Namun, kamu masih terdiam.
“Dan? Ini kamu, ‘kan? Kenapa gak bicara?”
“Syana. Berhentilah berhalusinasi, Dani sudah meninggal dua hari yang lalu. Jangan terlalu memikirkannya. Kamu harus menjaga kesehatanmu dan lupakan dia. Ini bukan kali pertama kamu kaya gini. Jadi, aku harap kamu tak mengulanginya lagi, kamu hanya membodohi dirimu sendiri.”
Aku terdiam. Halusinasi? Dan itu lagi? Telepon itu terputus begitu saja dan itu karena aku. Kucoba membuka kembali pesanmu, di sana tertera: 28 April 2020 dan itu sudah dua hari yang lalu.
Makassar, 1 Mei 2020.
Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang gemar berkhayal dan menulis. Ig: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.