Rumah Kembali
Oleh : Marissa Saud
Ketika aku kecil, Ibu selalu mengajarku bercocok tanam dengan menanam tanaman hias di halaman rumah, beliau mengajarkanku dengan teliti. Meskipun pekerjaan rumah Ibu segunung, halamannya tetap elok. Ibu menjadi ibu sekaligus guru terbaikku.
Ibuku seorang buta huruf, namun cerdas dengan berbagai keterampilan, ia bukan wanita karier, tapi aku bersyukur, semua anak-anaknya terawat baik hingga dewasa, tidak ada campur tangan orang lain, murni buaian Ibu. Bukan hanya itu saja, setiap hari Ibu selalu memberikan nasihat kepada kami, lima orang bersaudara, agar menjaga akhlak di mana pun kami berada. Berkat didikan Ibu dan Ayah, kami semua dapat belajar dan bekerja di tempat yang kami inginkan. Tidak jarang aku melihat teman-temanku yang tidak bisa mendapat didikan seperti ini, sehingga menghambat psikologis mereka. Kami bersyukur mempunyai ibu yang sangat peduli terhadap anak-anaknya.
Untuk itu, aku dan kedua kakakku berencana mengunjungi Ibu hari ini, setelah berbulan dan bertahun tak melihatnya, kami memutuskan untuk mengambil cuti di kantor masing-masing.
Handphone-ku berdering.
“Waalaikumsalam. Ya, kak? Gimana izin cutinya?”
“Alhamdulillah aku diberi tiga hari, Fa. Aku mau izin sama Mas Faiz dulu.”
“Sekalian ajak Mas Faiz aja, Kak,” pintaku
Kak Indah mengiyakan. Rencananya sore ini kami akan berkunjung ke rumah Ibu. Rumah sejuta kenangan.
***
Aku tiba di stasiun tempat kami lahir, sedangkan Mas Faiz dan Kak Indah masih di perjalanan, begitu juga Kak Wildan, mungkin ia sedikit terlambat, kerena berangkat dari luar kota menggunakan pesawat dan harus melalui beberapa perjalanan lagi. Kunjungan kali ini akan menjadi kejutan spesial bagi Ibu, karena kami akan berkumpul lagi, semuanya. Untuk itu kami membuat janji bertemu di stasiun ini dan berangkat bersama ke rumah Ibu.
Tiga puluh menit aku menunggu, seseorang menepuk pundakku keras. Aku ingat sekali tepukan keras ini. Siapa lagi jika bukan Kak Indah?
“Syafaaa! Kamu tambah cantik aja, Dek! Gimana kabarmu? Sehat, kan? Kamu udah ada calon, belum?” Kak Indah memberondong pertanyaan sambil memelukku, erat.
“Alhamdulillah aku selalu sehat, Kak. Calon apaan? Kak Wildan aja belum, malah lompat ke aku.” Aku menghela napas, wajahku langsung kutekuk. Sementara Mas Faiz terkekeh.
“Oh iya, aku tadi nelepon Wildan, katanya pesawatnya baru aja mendarat, mungkin sejam lagi dia sampai stasiun,” kata Kak Indah.
Sementara kami menunggu Kak Wildan, Kak Indah bercerita kesehariannya di kantor dan di rumah, tentang bosnya yang selalu lupa ingatan tiba-tiba dan Mas Faiz yang berteriak karena kecoak. Aku tak henti-hentinya tertawa. Kak Indah selalu berhasil membuat kami sekeluarga tertawa terpingkal-pingkal dengan berbagai cerita dan leluconnya. Aku merindukannya.
“Pekan lalu juga, aku mendapati Mas Faiz sudah mengurung diri di kamar, tidak ingin keluar, katanya di ruang tamu ada kecoak, aduuuh.” Kak Indah melanjutkan ceritanya.
“Wah, sama, dong, aku sampai berjam-jam di kamar karena kecoak.”
Kami tertawa terbahak-bahak sekaligus terkejut dengan kehadiran Kak Wildan yang tiba-tiba menyambung cerita, sama sekali tidak sadar akan kedatangannya, karena terbawa cerita Kak Indah sehingga lupa apa yang kami tunggu.
Kulihat handphoneku, sepuluh panggilan tak terjawab.
Kami langsung saja memesan taksi dan menuju kediaman lama kami, tak sabar bertemu malaikat kami.
***
Mobil tepat berhenti di depan pagar. Kami telah tiba, kulihat mata Kak Indah berkaca, dan Kak Wildan memegang tanganku erat. Setiap kali menginjakkan kaki di rumah Ibu, hatiku bergetar, melihat halaman yang tertata rapi dengan berbagai macam bunga dan juga empon-empon yang ditanam di ujung halaman, teras rumah yang bersih dari debu, terasa tenteram; memanjakan mata dan menenangkan batin. Kami tersenyum, melihat seseorang yang tengah menyapu dari pintu rumah, ia berlari tanpa alas, air matanya berjatuhan, menuju kami. Diikuti kedua adikku yang meneriaki semua nama kakaknya.
Kami mendekapnya erat, mengeluarkan seluruh rindu yang tertanam lama. Kembali merasakan pelukan hangat kerinduan, tangan lembutnya menghapus air mata kami satu per satu
“Selamat datang kembali, buah-buah hatiku,” ucap Ibu lirih.
Marissa Saud, akrabnya dipanggil Mars. Lahir 11 September 2001. Gadis yang memiliki hobi menggambar dan menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata