Wanita yang Suka Memintal
Oleh: Dyah Diputri
Dahulu kala, ada seorang wanita yang suka memintal. Dari gulungan benang nilon warna merah jambu, dia membuat beberapa pasang kaus kaki bayi dan baju hangat. Sambil mengelus-elus perut yang membuncit, disenandungkannya lagu cinta, dan satu tangan menggenggam hasil prakarya. Dia sungguh berharap memiliki anak perempuan nantinya.
Namun, mimpinya terpenggal oleh kehadiran bayi laki-laki. Dia senang, tapi tidak teramat. Jauh dalam lubuk hati, masih ada asa kelak anak keduanya berjenis kelamin perempuan. Maka, di tengah-tengah fase pertumbuhan anak pertama kebanggaan sang suami, wanita itu kembali memintal benang. Kaus kaki dan baju hangat merah jambu yang terlantar dulu, sudah diberikan kepada tetangga yang memiliki bayi perempuan. Kali ini dia memintal benang warna putih, agar tetap bisa dipakai anak kedua–tak peduli jenis kelaminnya.
Hari berganti hari wanita itu menanti, tapi Tuhan berkehendak lain. Lagi-lagi dia dapatkan seorang jagoan. Dengan senyum tertahan, dipakaikan baju hangat pada si bayi tampan. Jika tetangga menanyakan apa dia akan memintal benang lagi, dijawabnya ‘iya’. Itu dikarenakan jiwanya tetap menuntut kehadiran seorang putri.
“Usia Febri dan Bayu sudah tujuh dan empat tahun. Mereka cukup bisa membantu jika nanti kita punya anak perempuan.” Wanita itu mengungkapkan keinginan pada sang suami.
Akhirnya, pria yang hampir sembilan tahun menikah dengan wanita itu mengiyakan permintaan sang istri. Ditabur lagi benih di rahim wanita pemintal itu dengan mengikuti beberapa nasihat tetangga, demi mendapat keturunan perempuan. Kembali wanita itu menciptakan baju hangat, kaus kaki, dan topi rajut lucu berwarna merah hati.
Tuhan pun mengabulkan keinginan pasangan suami-istri tersebut. Pada Januari yang menitikkan gerimis pekat, bayi perempuan itu melengkingkan tangisan pertamanya. Bayi jelita berkulit seputih salju begitu memikat pandangan mata orang-orang. Dalam sekejap dia menjadi kebanggaan orangtua, juga kakak-kakak gantengnya.
Memiliki tiga orang anak, tentu saja menambah beban hidup sang ayah. Tersebab melonjaknya kebutuhan dari hari ke hari, apalagi anak-anak lelaki mulai bersekolah, keuangan menjadi krisis. Pria yang kepayahan bekerja tunggal itu mulai sering emosi. Melihat tumbuh kembang anak-anak yang pandai dan lucu bukannya menumbuhkan kebanggaan, melainkan kesengsaraan dalam batinnya. Dia memutar otak sendirian di warung kopi hingga tengah malam, tapi tidak juga menemukan solusi atas kebangkrutan yang mulai dirasanya. Jangankan uang bertambah, yang ada dia dipecat sebab sering terlambat datang di pabrik pada esok harinya.
Ketiga anak semakin tumbuh, seiring melompongnya isi dompet sang ayah. Pada akhirnya, si wanita keluar rumah demi receh-receh yang bisa ditukar dengan seliter beras. Menjadi buruh cuci, menjajakan gorengan, hingga jadi rewang rumah produksi kue basah di daerahnya. Siang dan malam dia mengais rupiah, sementara sang suami terkena virus santai-santai di rumah.
Siapa bilang uang bisa membungkam segalanya? Semakin banyak uang dibawa pulang wanita itu, semakin besar kecurigaan suaminya. Entah setan apa yang merasuki pikiran si pria, hingga puncaknya dia melukis memar dan lebam di sekujur tubuh wanita, lengkap dengan jerit tangis yang mengundang tanya tetangga. Pun setelah itu, dia tetap makan hasil jerih payah si wanita.
Masa berlalu begitu cepat. Selanjutnya, si wanita masih memintal benang untuk anak keempat dan kelimanya. Tidak penting warna apa, yang utama adalah bayinya merasakan kasih sayangnya. Di tengah kepelikan dan tetes keringat lelahnya, bayi keempat–dan selanjutnya–bayi kelima lahir dengan jarak tiga tahun. Perempuan, lalu laki-laki lagi. Dunia berubah, tapi tidak dengan nasibnya.
“Izinkan aku jadi TKW saja, biar nasib kita bisa berubah,” pinta si wanita suatu ketika.
Sang suami geram bukan kepalang. Jiwa lelakinya bagai diinjak-injak oleh uang yang dibicarakan si wanita. Bekerja di sini saja sudah mendatangkan kecurigaan, apalagi jauh dari negeri ini? Pria itu kalap, dengan beberapa pukulan saja, istrinya dibuat menjerit dan terluka.
Kejadian berulang cukup intens, hingga wanita itu berani mengambil keputusan. “Aku harus pergi,” katanya. Lalu, dia pun pergi. Meninggalkan jarum dan benang yang tersisa beberapa meter di ayunan bayinya. Benang boleh habis, tetapi tidak kasih sayangnya. Dia berharap, suatu saat nanti dia bisa memintal lagi yang lebih layak untuk anak-anaknya.
***
“Bagus, Ma.” Suamiku memuji setelah tuntas membaca kisah yang kutulis di atas.
“Apanya yang bagus?” tanyaku.
“Mmm … aku akan rajin kerja, biar Mama enggak jadi TKW,” ledeknya.
Sontoloyo! Memang siapa yang mau jadi TKW? batinku.
“Menurut Ayah, siapa yang salah dalam cerita di atas? Suami, atau istrinya?”
Suamiku terdiam sejenak, kemudian dia menggigit bibir bawahnya. Masih berpikir.
“Kesalahan itu milik manusia. Jadi, semuanya salah.”
“Si istri juga?” Aku mengulik lebih dalam alasan dari jawaban yang dia beri.
“Mereka kurang bersyukur. Itu aja. Saat mereka meminta, Allah memberi. Dan saat mereka diberi, mereka hanya perlu bersyukur. Kalaupun mereka punya, mereka tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa syukur itu.”
Aku tersenyum, membenarkan pendapatnya. Entahlah, kenapa manusia begitu susah menekankan rasa syukur itu dalam kehidupannya? Sedang yang aku tahu … bersyukur itu membawa kebaikan dalam setiap langkah kita. Pasti. (*)
Malang, 2 Februari 2020.
Dyah Diputri, Pecinta diksi yang tak sempurna.
FB: Dyah Maya Diputri
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan contributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata