Malam Bersama Rindu
Oleh : Titik Koma
Ada ingatan yang tak pernah mati, meskipun telah dikubur rapat dalam peti. Ingatan itu bangkit dari liang-liang pikiran, seperti zombie yang akan memakan habis semua keberanian.
Seorang pria duduk di bibir sungai, pandangan matanya melayap di atas permukaan air yang kelam. Sebungkus rokok dan bir menemaninya sepanjang malam itu.
Beberapa kaleng bir kosong telah berserak di bawah kakinya, sementara rokok di sela jarinya merupakan batang terakhir. Ingatan-ingatan di kepala pria itu mengudara bersama asap yang keluar dari mulut dan hidungnya.
“Kau membenciku, iya, kan?” Suara seorang anak perempuan berdenging di telinganya.
Pria berwajah dingin itu semakin kuat mengisap batang nikotinnya.
“Padahal aku sangat menyayangimu. Sangat, sangat sayang, hahaha ….” Suara tawa anak perempuan itu merambat pada udara yang berdesir di permukaan air yang mulai beriak kecil.
Pria bertubuh kurus itu sontak berdiri. Kakinya yang bergetar tampak kesulitan menopang bobot tubuhnya.
Permukaan air di depannya bergolak memutar, seolah akan ada monster buruk rupa yang tiba-tiba keluar. Lama sekali dia memandangi sungai itu dengan sisa-sisa kesadarannya yang semakin menipis. Tak ada apa pun yang keluar, permukaan air pun kembali tenang. Pria itu mengusap wajahnya, lalu memutuskan untuk pulang.
Suara-suara tawa di masa lalu kembali meributi pikirannya. Bayangan lincah seorang anak perempuan melintas di belakang punggungnya. Pada tepian yang baru saja ditinggalkan, terlihat bayangan dua sosok anak berbeda gender, mereka sedang bermain kejar-kejaran.
“Tangkap aku!” tantang si anak perempuan. “Ayo, tangkap kalau bisa!”
Seorang anak lelaki mengejar dengan tangan menggapai-gapai.
Suara tawa keduanya makin berisik mengetuk-ngetuk kepala si pria, mendadak pandangannya kini terasa memutar. Sampai-sampai isi dalam lambungnya ikut bergejolak naik, lalu menyemburkan semua cairan di dalamnya. Dia harus membungkuk-bungkuk untuk menghindari muntahannya sendiri.
“Nah, kan!” Seseorang menepuk punggungnya.
Ketika dia menoleh, tak ada siapa pun bersamanya. Mulutnya termegap-megap sambil pandangannya terus waspada memperhatikan sekeliling tempatnya berdiri. Dia harus segera pergi dari tempat yang membuatnya gila. Pria bertungkai panjang itu berjalan terseok-seok, kedua bahunya tampak lemas.
Desa tempatnya tinggal memang semakin maju, tapi kebiasaan orang-orang yang tak berkeliaran pada malam hari masih tetap sama. Jarak rumah dengan sungai tempatnya menyendiri tidak sampai dua kilometer, mungkin hanya tiga puluh menit berjalan kaki. Melewati beberapa tikungan dan gang sepi yang di sebelahnya ada tanah pemakaman.
Tepat di tengah gang sepi itu, ketika bulan condong di sebelah barat, ia akan—bahkan belakangan ini selalu—berpapasan dengan wanita berbaju merah. Usianya sekitar dua puluh lima tahun, mungkin lebih sedikit.
Betis wanita itu kurus dan putih sekali. Rambutnya panjang sepinggang dan terlihat menjuntai-juntai dibelai angin yang bertiup perlahan. Tubuhnya menggigil dan napasnya terdengar seperti gemuruh.
Seharusnya dia tak menghiraukan kehadiran wanita aneh itu, sama seperti malam-malam yang telah berlalu. Namun, tatapan intens si wanita membuat langkahnya berhenti. Dia menatap mata sebiru samudra itu. Mata yang mirip dengannya.
Kini dia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Bibir berwarna merah delima itu tersenyum cantik sekali. Wajahnya bulat dengan hidung bangir memikat, dagu dan dahinya memiliki volume yang sangat pas. Siapa pun akan tersihir dengan wajah wanita itu, termasuk si pria yang kini mencoba menyentuhnya.
Sebelum jemarinya berhasil menyentuh pipi gembilnya, mendadak angin bertiup kencang sekali. Suara anjing melolong di kejauhan. Kepala pria itu bergerak mencari-cari asal suara. Anjing itu melolong semakin keras dan terdengar mendekat. Tiba-tiba, wanita di depannya tertawa geli sekali. Suara tawanya membuat bulu tengkuk merinding.
“Kau ini siapa?”
Wanita itu terdiam, lalu menyebutkan satu nama yang selama ini tidak pernah disebut lagi oleh siapa pun. Satu nama yang kerap mengusik mimpi-mimpi si pria.
“Apa kau membenciku, Hansel?”
Pria yang dipanggil Hansel itu bergerak mundur dengan tatapan masih melekat menatap sosok wanita di hadapannya. Tubuhnya lunglai dan jatuh terduduk. Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, dia masih dengan jelas melihat cairan kental berwarna merah mengalir pada betis wanita itu.
***
Yohanes Hansel pernah memiliki adik perempuan yang cantik sekali. Namanya Margaret Grettel. Mereka suka sekali bermain-main di tepi sungai yang sunyi. Kedua orangtua mereka selalu berpesan untuk berhati-hati dan jangan bermain terlalu jauh. Namun, tepat pada hari ulang tahun Grettel yang ke delapan Hansel mengajaknya mendayung menyusuri sungai.
Mereka menggunakan perahu yang berhasil dipinjam Hansel pada seorang lelaki tua tetangga sebelah.
Hansel sudah lama berencana ingin melihat vila mewah yang baru tiga tahun dibangun di desanya. Bangunan bak kastil itu berdiri kokoh di dekat sungai, sementara di belakangnya pohon-pohon cemara yang rimbun berhasil membangkitkan jiwa petualangannya. Hansel juga mengajak sang adik untuk ikut melihat-lihat.
Sekuat tenaga tangan Hansel mengayuh sampan ke arah selatan, mengikuti aliran sungai. Mereka melewati jembatan raksasa setinggi sepuluh meter yang menghubungkan kotanya dengan kota di seberang.
Saat mereka sampai, vila itu tampak sepi, memang selalu sepi dari kejauhan. Sepertinya benar tebakan mereka, tidak ada yang tinggal di sini.
Pintu dan jendela terkunci rapat dengan gorden-gorden tebal yang tak bisa ditembus mata. Keduanya mengelilingi bangunan itu. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, mereka pun asyik bermain-main di taman samping vila.
Tak satu pun dari kedua anak itu yang melihat kedatangan seorang pria berjaket hitam yang panjangnya sampai ke lutut, menggunakan celana bahan warna khaki dipadu sepatu pantofel, serta kepalanya ditutupi topi koboi. Penampilan yang sangat asing bagi anak-anak desa seperti mereka.
“Hallo, Child! You’re look so happy.”
Pria itu berusia sekitar empat puluh tahun. Dia memiliki postur tinggi besar. Awalnya terlihat cukup sangar, tetapi sapaannya terdengar sangat sopan.
Grettel yang pertama kali menyadari kehadiran pria asing itu. “H-hallo, Sir,” jawabnya terbata-bata.
Gadis itu merasa tak nyaman dengan tatapan pria yang ternyata memiliki rambut panjang sebahu. Wajah dewasanya lumayan tampan. Namun, matanya yang tajam terasa mengerikan. Grettel menggeser tubuhnya untuk berdiri di belakang tubuh kakaknya. Hansel meminta maaf karena telah menerobos masuk ke halaman vila milik lelaki di hadapannya.
“It’s ok! Aku justru senang sekali ada tamu yang mau mengunjungiku. Kalian mau masuk?” tawarnya dengan tetap mempertahankan senyuman menawan. “Aku punya banyak kue dan permen di dapur.”
Hansel tentu senang sekali ditawari kue dan permen yang sangat jarang mereka nikmati. Dia membujuk Grettel untuk ikut dan tak perlu takut. Bersamanya, semua akan baik-baik saja dan tentu akan menyenangkan.
Kesenangan itu hanya fatamorgana karena setelah benar-benar dekat, terbukalah realita yang sesungguhnya.
Kedua bersaudara itu disekap selama empat hari. Segalanya tak pernah menjadi baik-baik saja. Hanya ada rasa takut yang mencekam dan tangis yang tak kunjung usai. Bahkan bagi Grettel, empat hari itu terasa seperti dalam neraka.
Gadis malang itu diperkosa berkali-kali. Dua lubang intimnya rusak parah, rahimnya pun luka. Tubuh kecil itu seperti habis dihantam tanduk dari seekor banteng yang sedang mengamuk.
Setiap inci kulitnya terasa pedih sekali. Bertambah pedih saat gadis itu melihat kakaknya, Hansel, tak bisa berbuat apa-apa. Dia berharap Hansel bisa menyelamatkannya, bukan hanya menangis dan melipat lututnya setiap kali dirinya diperkosa di hadapan sang kakak. Hari itu, seakan tak pernah ada lagi harapan.
Pada akhirnya, kedua anak itu ditemukan. Namun, si pemerkosa kabur dan tak pernah tertangkap. Hari-hari berat tak lantas mudah diusir. Bagi Grettel, waktu bahkan tak bisa mengobati lukanya. Setelah dua musim berlalu, sang kakak masih tak mau bicara dengannya, menatap pun dia tak berani.
Satu tahun kemudian, pada musim dingin di bulan Desember, saat air sungai beku menjadi es. Hansel melihat adiknya berdiri di atas jembatan, memakai gaun putih yang baru saja dibeli sebagai hadiah ulang tahun.
Hansel berdiri kaku menatap tubuh adiknya melayang-layang, lalu membentur permukaan sungai yang telah mengkristal tebal.
Kraks!
Kepala adiknya pecah membentur es. Darahnya muncrat dan menyebar di atas salju yang beku, meleleh seperti sirup kental berbau amis. Kaki Grettel menekuk sedemikian rupa, mengikuti bengkokan pada panggulnya yang patah.
Bagi Hansel musim dingin tahun itu benar-benar membekukan segala yang ada pada dirinya, baik hati maupun pikirannya.
***
Malam kembali hadir bersama rindu yang kian mengalir. Pria berekspresi dingin itu kembali duduk di tepian sungai, mengenang seluruh kehidupannya.
Hansel tidak akan pernah melupakan semua masa lalunya. Dia akan terus mengingat adik perempuannya. Grettel yang berwajah cantik dan berkulit seputih lobak. Grettel yang malang.
Angin bertiup kencang. Daun-daun bergemerisik. Hansel menatap permukaan air sungai yang bergolak.
“Kau membenciku, kan?”
Di tengah pusaran air ada kepala yang menyembul. Makhluk itu keluar perlahan, sangat lamban seakan bumi berhenti berputar. Mula-mula ia menampakkan wajah, leher, lalu tubuhnya yang berbalut gaun merah, hingga kaki dengan betis putih pucat.
Perempuan itu kini berdiri di atas air sungai berwarna hitam. Rambut panjangnya mengalirkan air, mata birunya menatap sendu.
“Padahal aku sangat menyayangimu.”
Hansel tersenyum.
“Kau tahu? Mana mungkin aku membencimu, Grettel. Aku juga sangat menyayangimu.”(*)
Titik Koma, sangat suka membaca dan menonton anime.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata