Kapan Aku Mati?
Oleh: Titik Koma
Suatu hari, kalian akan mendengar kabar, aku telah hilang.
Namun, aku yakin kalian tidak akan pernah bisa melupakanku.
***
Aku lahir dari rahim seorang buruh kasar, hidup miskin merupakan keniscayaan, ibuku hanya seorang buruh tani yang bekerja dalam gelimangan lumpur dan tai orang kampung yang gemar buang hajat di pelataran sawah, dan sejak keluar dari liang ibuku yang berbau amis darah campur ikan asin, aku sudah bisa mencium aroma kemiskinan yang pekat, sepertinya terlahir di antara kemiskinan membuatku berpeluang besar mati dalam kemiskinan juga. Dulu kupikir mati dalam kemiskinan merupakan penderitaan, tetapi sekarang aku sadar ada yang lebih terkutuk dari kemiskinan, yakni mati dalam penyiksaan, mati dalam tuduhan tak masuk akal, dan mati tanpa kau mengerti kenapa kau harus mati, aaah … sungguh berat membayangkan kematian, dan entah mengapa saat ini aku begitu menikmati bayangan hari kelahiranku yang membuat semua orang bersorak dan memekik kegirangan. Sebuah kelahiran merupakan berkah, bukan?
Kini aku seolah-olah bisa melihat kembali hari itu. Ketika sanak saudara dan tetanggaku yang miskin mengerubungiku seperti lalat mencium aroma kopi tubruk di warung-warung desa kami, atau seperti lalat mengerubungi koreng-koreng berbau manis darah bocah-bocah yang gemar main di selokan berbau bangkai dan sampah bekas popok bayi. Yang sampai kini masih kuherankan, mengapa ada orang-orang yang suka menggerutu ketika tanah disapa banjir saat musim penghujan tiba? Sebagai penyumbang sampah seharusnya mereka seperti kami, bisa asyik main dan mandi bersama bangkai dan sampah yang mengambang, kalau perlu minum dengan air itu. Menurutku sama saja seperti minum dengan air septic tank yang sudah disterilisasi. Katanya ada sebagian orang yang suka meminum air jamban yang sudah dikelola oleh teknologi supercanggih, jadi seharusnya mereka tak perlu takut lagi dengan air-air kotor berwarna keruh, atau hitam pekat, karena begitulah kami hidup selama ini, meminum air kotor yang disaring oleh lumpur dan sampah. Dan tiba-tiba aku jadi ingat kembali, saat hari kelahiranku di musim penghujan dua puluh tiga tahun yang lalu, beberapa kerabat datang silih berganti, berduyun-duyun serupa semut hitam sambil membawa sebutir gula, ketika itu katanya suara tangisku begitu lantang dan terdengar memekik, dengan bola mataku yang bening, besar dan memancarkan sorot perlawanan akan hidup. Dan masih kata mereka, kelak mungkin aku akan menjadi seorang pejuang yang tak gentar meski dalam mulutku ada moncong senjata, padahal bisa saja sebenarnya tak ada keberanian dalam jiwaku saat itu, hanya ada rasa takut yang tak terkatakan saat menatap takdir yang berwajah garang seperti tentara yang dilengkapi senjata, yang membuat mereka berjalan dengan pongah, seakan Tuhan dan malaikat menjelma menjadi pistol-pistol yang dikempit dalam ketiak.
Ah! Ngomong-ngomong soal tentara, sebenarnya aku adalah tahanan mereka sejak waktu yang begitu lama, sangat lama, sampai-sampai kupikir sudah selama ribuan tahun.
Dulu sekali, ketika baru pertama kali bertemu dengan mereka, aku sempat menghitung waktu yang terus berlalu, satu detik, dua detik, detik-detik yang teramat pedih dan melelahkan, ketika itu aku merasa masih memiliki kesempatan, dan harapanku pun masih sebesar semesta, tetapi kini rasa itu telah lenyap, dan juga aku tak perlu lagi semua itu: kesempatan dan harapan sudah kukantongi ke dalam saku bajuku yang sebelah kanan, karena di sebelah kirinya sudah kupenuhi dengan darah dan air mata, jadi sudah tak ada lagi ruang untuk kujejalkan apa-apa yang membuatku ingin hidup selamanya, karena kendati pun hidup selamanya, yang kudapati tak lebih seperti neraka dunia yang menjilat-jilat tubuh kurusku dengan rotan dan kaki tentara—aku tak lagi melihat matahari terbit dan tenggelam selayaknya dulu ketika masih menjadi manusia bebas. Karena memang beginilah nasib orang miskin yang ingin mewujudkan cita-citanya yang tak masuk akal. Seumpama ulat-ulat kecil, tubuh kami dengan mudah tergilas sepatu-sepatu bergerigi mereka. Dan benar saja, kini aku hancur, tubuhku koyak dengan darah yang tak henti meleleh, dari kepalaku yang retak oleh sebab dibentur-benturkan ke lantai, dari hidungku yang patah, dan dari bibirku yang bengkak akibat gigi-gigiku yang serentak copot oleh sebab pukulan bertubi-tubi, dan bahkan gigi-gigi itu kini masih berserak di lantai berbau pesing dan kotoranku sendiri. Tak sampai di situ, berkali-kali mereka menginjak perutku, rahimku sepertinya telah copot di dalam sana, dan terkahir yang kuingat saat pandanganku buram oleh darah, moncong senjata itu terarah pada mulut vaginaku. Mungkin benar aku tak takut jika ada senjata dalam mulutku, tapi senjata dalam vaginaku? Aah, aku sudah sangat lelah, tubuhku semakin menggigil entah karena sakit atau merasa takut hingga tak terkatakan, lalu kurasakan panasnya sebuah peluru melesat menembus daging dan tulang-tulang, kupikir aku bisa segera mati, tapi mengapa masih terasa begitu lama, seakan-akan waktu telah lupa caranya merangkak.
“Aah … kapan aku mati?”
Karawang, 8 Maret 2020
Gadis dengan nama pena Titik Koma sangat menyukai baca dan menulis. Pemilihan nama Titik Koma tidak ada hubungan dengan dunia PUEBI, karena Titik Koma adalah seorang yang perlu banyak belajar menulis. Titik Koma adalah simbol perjuangan hidup.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata