Tanah Asing

Tanah Asing

Tanah Asing

Oleh    : Ning Kurniati

Tera memasuki wilayah itu dengan penuh tanya. Orang-orang di sana berjalan serba terburu-buru dengan menunduk. Tak ada yang menyadari kehadirannya, padahal ia amat berbeda dengan mereka. Pakaian orang-orang itu serba tertutup, berwarna hitam, panjangnya sampai menyapu tanah dengan tudung yang menenggelamkan wajah. Seperti hantu.

Tidak tahu mesti melakukan apa, ia pun melangkah sama seperti mereka, meski dirinya tidak tahu akan ke mana. Ia hanya mengikuti ke mana kakinya membawanya. Tera ikut menunduk seperti mereka dan takut mengangkat kepala. Ia takut matanya memandang hal-hal yang mengerikan.

Tetapi kemudian, yang mengerikan itu menimpanya. Tera menubruk salah satu dari mereka sampai dirinya terpental. Sebentar lagi, sebentar lagi ia akan ditangkap, dikerumuni, lalu mungkin dibunuh.

Namun, anehnya tak ada respon apa-apa. Ia terkulai di sana, di tengah-tengah orang berlalu-lalang tanpa atensi sedikitpun. Ada yang salah dengan mereka, pikirnya.

Tera kemudian bangkit berdiri. Punggungnya begitu sakit, tetapi lebih sakit bahunya yang menubruk orang itu. Ia seperti tidak habis menubruk manusia, melainkan batu. Ia menangis karena takut.

*

Rumah-rumah mereka terbuat dari batu-batu bulat yang disusun rapi, tidak ada celah kosong, dengan atap dari daun rumbia. Satu-satunya bahan kayu hanya pada pintu. Benar-benar aneh, pikir Tera. Ia merasa sedang berlibur ke sebuah pedalaman. Batu-batu yang bulat sempurna itu mengingatkannya pada batu kerikil di depan rumah nenek, di mana ia sering bermain dengan tetangganya.

Sekarang, ia teringat, kenapa dirinya bisa berada di sana. Ia sedang naik perahu di sungai di belakang rumah nenek menjelang maghrib. Ingatan terakhirnya, ia mendayung di sungai itu. Lalu, tiba-tiba saja ia tersadar dan sedang berdiri di tempat yang asing.

*

Lelah berjalan, Tera merasa kehausan dan kelaparan. Bibirnya kering dan keringat membasahi pakaiannya. Ia merasa kematian begitu dekat. 

Maka, ia memberanikan diri memasuki salah satu rumah itu. Ia tidak dianggap ada sejak tadi, maka bila ia masuk pasti tidak terjadi apa-apa. Dengan berpikir begitu, perempuan muda itu melenggang masuk ke salah satu rumah yang ia pilih begitu saja. Tidak ada kekhususan karena semua rumah yang ada, tampak sama, sedikitpun tidak ada perbedaan.

Pintunya dipenuhi ukiran yang berkelok-kelok. Sejenak, ia diselubungi ketakutan. Namun, rasa lapar itu membuatnya harus berani dan dengan sekali sentakan dorongan, pintu itu terbuka. Kosong. Tak ada perabotan apa-apa di dalam sana. Hanya tikar yang terhampar menutupi seluruh permukaan tanah, terbuat dari daun rumbia lagi. Tera semakin kalut tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, ia menangis.

*

Setelah tangisnya reda, ia sadar tujuannya ke sana adalah untuk  mengisi perut. Ia kemudian bangkit keluar dan memasuki rumah yang di sebelahnya. Pintu ia dorong seperti tadi dengan mudah.

“Dari mana?” Tera terhenyak mendapati pertanyaan itu. Bahasa mereka sama dengan dirinya.

“Dari rumah sebelah.”

“Saya tahu kamu dari sebelah. Yang saya maksud adalah asalmu. Kamu bukan bagian dari kami.”

“Saya bingung harus menjawab seperti apa. Saya dari rumah Nenek.”

“Nenek.” Yang bertudung itu membeo. “Nama nenekmu?”

“Aila.”

“Ah, kamu pasti masuk ke sini lewat pintunya.”

“Pintu?”

“Yah, pintu. Kamu sekarang di alam kami.”

“Alam gaib?”

“Bukan. Alam kami bukanlah alam gaib melainkan alam batu. Kamu tadi menubrukku.” Yang bertudung membuka tudungnya dan tampaklah lelaki muda dengan tubuh yang kaku. Ekspresinya datar.

“Bagaimana saya bisa kembali ke alam saya.”

“Apa kamu mau kembali? Tidak, maksudku, kenapa kamu mau kembali? Bukankah kamu ingin pergi ke sebuah tempat yang baru dan sekarang kamu mendapatkannya.”

“Saya menyesal.”

“Penyesalan selalu datang belakangan.”

“Tolong bantu saya kembali.”

“Tidak ada yang bisa membantumu. Kalau kamu mau kembali, lihat ke dalam dirimu, dan semuanya akan seperti semula. Kita adalah bayi-bayi suci yang melakukan kesalahan, berdosa karena selalu melihat ke luar dari diri-diri kita, lalu menyesal.” Yang bertudung menghilang.

(*)

19 Januari 2020

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

 

 

Leave a Reply