Merah
Oleh : Ning Kurniati
Bukan pertama kalinya perempuan itu mendatangi sungai di kampung sebelah. Sudah ribuan malam berlalu, meski begitu tak satu orang pun yang tahu akan kebiasaan anehnya itu. Tidak orang di kampung sebelah, tidak orang di kampungnya sendiri. Pada saat malam tengah larut dengan kekelamannya, saat orang-orang benar-benar terlelap, saat mata enggan membuka, meski suara anjing yang menyalak memenuhi indra pendengaran, dia melangkah ke luar dari kampungnya dengan sandal jepit yang berwarna merah.
Di suatu malam ketika purnama mencerahi kampungnya, tepat ketika kakinya menjejak di perbatasan kampung, dia berguman pada dirinya sendiri.
“Kenapa merah?”
“Karena merah itu cantik.”
“Kenapa sandal jepit?”
“Karena murah dan enak untuk dipakai.”
Perempuan itu dengan rambut yang berkibas-kibas mengangguk, tanda paham akan kalimatnya barusan. Dia pun kembali melanjutkan langkah. Senyum tersungging dari wajahnya yang bulat dan lebar, dengan lesung pipit yang timbul begitu dalam seolah habis tertusuk paku. Bila saja seseorang melihat, bisa dipastikan akan serta-merta menaruh hati. Dengan wajah yang rupawan itu dan umur yang mencapai angka dua lima, seharusnya dia sudah menikah. Namun, dia terlihat masih menikmati kesendiriaanya, seolah tak hendak memiliki pasangan.
Tujuannya sudah di depan mata. Sebuah sungai yang luas dan panjang mengitari semua kampung di kecamatan. Walaupun mengalir di kampungnya, dia tetap memilih kampung sebelah. Sebab istimewa menjadikan kehususan itu melekat di sanubari, sehingga dia enggan meninggalkan kebiasaanya untuk datang ke tempat yang sama. Semuanya masih sama dengan dahulu. Masih melekat karena lem pengkhianatan yang terlalu kuat.
Perempuan itu melepaskan sandal, lalu kemudian menjadikannya alas untuk diduduki. Dia duduk dengan menempelkan dagu pada kedua lututnya dan ketika fajar kizib telah muncul, dia kembali melintas di jalanan yang dilewati sebelumnya, kembali pada kampung yang beberapa jam lalu ditinggalkan, mengendap-endap masuk ke rumah, sehingga ketika sang ibu bangun, maka dia pun ikut bangun, duduk di belakang ibunya yang sembahyang.
“Mau makan apa hari ini?”
“Nasi merah.”
“Tidak bosan?”
“Tidak.”
“Sayur?”
“Kacang merah.”
“Kacangnya habis, ibu tidak sempat beli di pasar.”
“Kalau begitu ikan mas saja, merah ‘kan, Bu?”
“Ya, itu juga merah. Kamu semakin suka segala hal yang berwarna merah, Nak. Kenapa?”
“Merah itu cantik. Merah itu menarik, Bu.” Jawaban yang sama terulang terucap.
Ketika pagi menjelang, perempuan itu mandi cepat-cepat, berpakaian cepat-cepat, makan cepat-cepat, dan ke kantor desa tempatnya bekerja secepat mungkin. Dia mencium tangan ibunya, tersenyum seperti biasa, lalu segera melesat ke jalanan dengan sepeda motor yang berwarna merah. Motor itu baru berganti warna sejak enam bulan yang lalu, bersamaan dengan awal mula dia menyukai warna merah dalam segala hal.
Tetes embun belum luruh dari dedaunan dan bunga-bungaan ketika perempuan itu turun dari motor. Dia menjadi orang pertama yang datang ke kantor, selalu setiap hari, tanpa alpa sehari pun. Dan karena itu, kepala desa menyerahkan kunci kantor pada dirinya. Dia bekerja sebagai sekretaris desa sekaligus tukang kunci kantor.
Perempuan itu betul-betul menjaga kesehatannya dengan baik, jangankan deman, flu saja hampir tidak pernah menyambangi hidungnya. Para tetangga berspekulasi dengan mempertahankan opini masing-masing. Itu lantaran dia bangun pagi-pagi, makan yang teratur, atau karena dia makan makanan yang berwarna merah, menyukai segala yang merah, sehingga tubuhnya mungkin menjadi merah, dan jadi berani, dan jadi kebal terhadap penyakit.
Di kantor desa sebelum mengerjakan perkerjaanya sebagai sekretaris, dia akan menjadi tukang kebun terlebih dahulu. Taman kecil yang ada di depan kantor akan basah bermandikan kucuran air berkat tangannya, dan tanaman-tanaman yang di sana akan tumbuh subur. Tetapi, bukan itu tujuannya, semua yang dilakukan hanya kamuflase saja, termasuk apa yang dilakukannya pada orang-orang. Seperti, setiap yang melintas akan disapa oleh perempuan itu dan pada jam tujuh, dia akan lebih semringah seolah dialah orang paling bahagia di dunia ini, tetapi pada kenyataannya, semua yang terlihat berbanding terbalik. Dia melakukan hal itu untuk sebuah tujuan yang tak tertebak. Setelah hal yang dinanti-nantinya berlalu: melihat sepasang manusia melintas, sekali lagi untuk hari ini, dia bersyukur dan berjanji pada dirinya. “Sebentar lagi, suatu hari itu, akan ada waktunya.” Maka, dia pun kembali masuk ke kantor.
***
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini perempuan itu tidak mendatangi pingggir sungai pada malam hari. Tetapi, itu tak masalah baginya karena seseorang, setelah perjuangan yang melelahkan selama ini, akhirnya mau berbicara lagi dengannya di tempat yang sama dia ditinggalkan. Tidak benar-benar ditinggalkan, lebih pantas disebut tidak didatangi. Karena kejadiannya adalah dia menunggu untuk didatangi setelah berjanji bertemu dan kabur bersama, tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Barulah keesokan harinya, laki-laki itu mendatangi dirinya, tidak di pinggir sungai, melainkan di rumah orangtuanya. Laki-laki itu dengan lancar berterus terang, akan menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Perempuan itu tak berucap apa-apa, hanya diam menatap, sampai laki-laki itu menghilang dari pandangan. Saat itulah, diam-diam dia memiliki tekad yang lebih kuat dari apa pun. “Suatu hari nanti, akan ada saatnya.”
Di bawah pohon yang berdiri sendiri, tertanam terpisah dari pohon yang lainnya, dia duduk. Berlatarkan langit merah, perempuan itu menunggu. Senyumnya merekah seperti setangkai mawar yang dibawanya. Dia indah menandingi bunga itu, dia harum mengalahkan harumnya bunga itu, dan dia pun memerah semerah bunga itu, tanpa disadari oleh laki-laki yang berada di sampingnya.
“Istrimu tidak marah?”
“Tidak. Aku sudah izin.”
“….”
“Maaf, aku tidak pernah mengucapkan kata itu. Seharusnya aku ….”
“Aku membawakanmu kopi. Kopi kesukaanmu. Kopi yang dimasak dengan gula merah sebagai pemanis.”
“Terima kasih.”
Perempuan itu seperti yang dipikirkan orang-orang, dia bahagia. Bahagia, setelah menanti-nanti dia pun bisa menyuguhkan minuman kesukaan lelaki yang tak pernah menjadi lelakinya. Dia pergi tepat setelah memastikan kopi buatannya disesap habis untuk yang terakhir kali.
“Aku memaafkanmu, tetapi kau juga harus memaafkanku,” ucapnya sambil berbalik menatap mantan kekasihnya. Laki-laki itu menoleh, menatap wajah perempuan itu.
“Tentu, aku memaafkanmu.”
“Kenapa istrimu mengizinkan kamu untuk menemuiku?”
Laki-laki itu berdiri, sehingga mereka berhadap-hadapan. “Suatu malam, aku lupa kapan. Tiba-tiba saja dia berkata, aku sebaiknya menemuimu. Setelah berbulan-bulan melihatmu ketika kami melewati kantor desamu, dia merasa ada hal yang belum selesai di antara kita. Dan, karena itu kami bermalam-malam berdiskusi. Lalu, pada suatu malam, dia berkata, apa aku pernah minta maaf secara pribadi? Jadi, aku menghubungimu untuk bertemu hari ini.”
“Di sini di tempat yang sama awal kita bertemu.”
“Yah, kami berpikir di mana kisah itu bermula. Maka di situ kisah itu harus diakhiri.”
“Aku juga berpikir seperti itu.”
Mereka berdua masing-masing berbalik, saling memunggungi layaknya orang yang berpisah. Namun, seperti sebelumnya, tidak ada kata perpisahan, semacam ucapan selamat tinggal dari mulut keduanya. Tak jadi masalah, pikir perempuan itu. Perpisahan tak melulu diakhiri dengan ucapan pisah karena bisa jadi, itulah awal dari sebuah kisah yang baru. Senyumnya kembali merekah seiring dengan jatuhnya helai bunga mawar yang dipegangnya menyisakan kelopak yang menghitam.
“Yang hidup bisa mati seketika, awal hidup yang baru bukan?”
20.01
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link: bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata